RUU Perlindungan Saksi

Seseorang mengadukan suatu tindakan kejahatan kepada aparat yang berwenang. Petaka bagi pelapor itu, ia malah balik diadukan, dengan tuduhan pencemaran nama baik. Pada kasus lain, seorang saksi yang melaporkan suatu perbuatan pidana, diteror oleh pelaku dan menjadi korban kebiadaban pelaku kejahatan.

Hal seperti itu sering terjadi di negeri ini, karena lemahnya perlindungan terhadap saksi. Untuk itu, negara ini memerlukan UU Perlindungan Saksi. Tuntutan perlunya Indonesia mempunyai UU Perlindungan saksi sudah ada sejak dahulu, namun belum terealisasi.

Kini desakan makin menguat, apalagi dengan disetujuinya RUU Perlindungan Saksi sebagai salah satu dari 55 RUU prioritas yang segera dibahas. Dan itu sudah diputuskan dalam Rapat Paripurna ke-13 DPR, 1 Februari lalu. Ketika itu DPR menyetujui Program Legislasi Nasional, di mana 284 RUU akan dibahas selama periode 2005-2009. Dari 284 RUU itu disebutkan 55 menjadi prioritas, di antaranya RUU Perlindungan Saksi.

Perlindungan Saksi memang wajib dilaksanakan DPR dan Pemerintah, mengingat Ketetapan MPR Nomor VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN menyatakan, perlu adanya suatu undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban.

Untuk mengulas RUU Perlindungan Saksi, wartawan Pembaruan Yuliantino Situmorang menuliskannya dalam dua tulisan.

Mendesak, UU Perlindungan Saksi
SELAMA tiga pekan belakangan ini, 22 organisasi nonpemerintahan (ornop) yang tergabung dalam Koalisi Perlindungan Saksi (KPS), gencar mendesak berbagai fraksi di DPR. Bukan hanya mendesak, KPS juga mengadakan rapat khusus dengan Komisi III DPR.

KPS tidak lain hanya ingin menagih janji DPR untuk segera membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Saksi bersama pemerintah. Memang harus terus didesak. Sebab, sebenarnya sudah sejak lima tahun lalu kalangan ornop mendesak pemerintah dan DPR membentuk UU Perlindungan Saksi. Namun, itu tak pernah terealisasi. Ganti pemerintahan, UU itu pun tak kunjung keluar.

Kini desakan makin kuat, apalagi dengan disetujuinya RUU Perlindungan Saksi sebagai salah satu dari 55 RUU prioritas yang segera dibahas. Dan itu sudah diputuskan dalam Rapat Paripurna ke-13 DPR, 1 Februari lalu. Ketika itu DPR menyetujui Program Legislasi Nasional (Prolegnas), di mana 284 RUU akan dibahas selama periode 2005-2009. Dari 284 RUU itu memang disebutkan ada 55 yang menjadi prioritas, salah satunya RUU Perlindungan Saksi.

Perlindungan Saksi memang wajib dilaksanakan DPR dan pemerintah. Hal itu disebabkan, Ketetapan MPR Nomor VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN menyatakan, perlu ada suatu undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban. Undang-undang itu merupakan bagian dari beberapa undang-undang lainnya untuk membantu percepatan dan keefektifan pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi, ujar Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), yang juga salah satu pimpinan Koalisi LSM, Danang Widoyoko, kepada Pembaruan, Rabu (2/3).

Memang, selain ICW, 21 LSM lain yang juga mendesak ialah Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Komnas Perempuan, Komisi Hukum Nasional (KHN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), JARI Indonesia (Jaringan Masyarakat Sipil untuk Transparansi dan Akuntabilitas Pembangunan/Gerakan Pengawasan Pembangunan Berbasis Komunitas), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), MAPPI, Konsorsium Pembela Buruh Migran (Kopbumi), Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Bakubae, LBH Jakarta, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), LBH Pers, Mitra Perempuan, Solidaritas Perempuan, Tapal, dan P3I.

UU Perlindungan Saksi akan sangat berarti bagi penegakan hukum di negeri ini. Terutama, bagi kemerdekaan saksi-saksi untuk bersuara. Selama ini mereka bungkam, karena takut, karena memang tidak adanya jaminan yang memadai. Bahkan sudah bukan hal aneh, jika saksi malah menjadi korban dan diintimidasi. Bahkan menjadi terpidana. Sementara pelakunya bisa tertawa puas tanpa terjerat hukum!

Belajar dari Endin
Banyak contoh kasus, di antaranya yang menimpa Endin Wahyudin. Ia sudah rela membongkar kasus suap di lingkungan Mahkamah Agung (MA), ternyata malah menjadi korban. Endin dipenjarakan. Kasus yang menjadi bukti bobroknya hukum kita, dan juga memperjelas begitu kuatnya mafia peradilan.

Kasus yang menimpa Endin menjadi contoh menarik betapa parahnya peradilan kita tanpa UU Perlindungan Saksi. Kasus Endin, bermula ketika ia dipercaya Hj Aminah Hirdja mengurus perkara perdata di MA soal sengketa tanah di Bandung seluas 17.140 m2 melawan Soenanta Soemali.

Pada, 28 Desember 1998, MA memenangkan Hj Aminah. Tapi, belum sempat putusan MA itu dieksekusi, Soenanta yang sudah kalah, malah menggugat kembali kasus yang sama ke Pengadilan Negeri Bandung. Ternyata, 6 Juli 1999, PN Bandung memenangkan Soenanta.

Endin kelabakan. Padahal ia telah memberi uang kepada tiga hakim agung agar kasusnya dimenangkan, ternyata sudah menang, malah tidak bisa dieksekusi. Hal itulah yang membuat ia mengungkap semua penyuapan yang dilakukannya ke tiga hakim agung di MA kepada Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tentunya setelah mendapat jaminan perlindungan saksi dari TGPTPK. Laporan itu kemudian terungkap di media massa.

Kepada beberapa pihak Endin mengakui telah menyuap Hakim Agung M Yahya Harahap sebesar Rp 96 juta dan Rp 100 juta untuk Hakim Agung Ny Marnis Kahar dan Ny Supraptini Sutarto.

Ternyata, Endin mendapat serangan balik. Dua dari ketiga Hakim Agung, yakni Ny Marnis dan Ny Supraptini, malah melaporkan Endin ke Mabes Polri. Endin dituduh memfitnah dan mencemarkan nama baik. Kasus itu kemudian masuk ke PN Jakarta Pusat. Ternyata pada 24 Oktober 2001, PN Jakarta Pusat memutuskan Endin bersalah melakukan kejahatan memfitnah. Endin dihukum penjara tiga bulan dan masa percobaan enam bulan.

Sebenarnya pada saat bersamaan persidangan kasus perkara fitnah dan pencemaran nama baik, Endin sudah melaporkan tiga Hakim Agung ke polisi atas kasus dugaan suap. Laporan Endin kepada dua Hakim Agung Ny Marnis dan Ny Supraptini dilimpahkan ke PN Jakarta Pusat dan terhadap Hakim Agung M Yahya Harahap dilimpahkan ke PN Jakarta Barat. Namun, baik PN Jakarta Pusat maupun Jakarta Barat menolak dakwaan terhadap tiga hakim tersebut. Makanya tiga Hakim Agung itu tidak bisa diadili.

Serangan balik terhadap Endin, sebenarnya tidak cuma melalui pengadilan. Dua Hakim Agung itu mengajukan judicial review terhadap PP 19 tahun 2000 tentang Pembentukan TGPTPK. Ternyata judicial review dikabulkan MA. MA menyatakan PP 19 Tahun 2000 itu tidak sah dan harus dibatalkan. Artinya, keberadaan TGPTPK diberangus.

Direktur LBH Jakarta, Uli Parulian Sihombing dalam catatan khusus mengenai kasus Endin Wahyudin (November 2004) menilai, kasus tersebut menunjukkan belum adanya upaya perlindungan hukum untuk saksi pelapor kasus korupsi. Niat baik untuk melaporkan kasus korupsi justru dijawab dengan upaya-upaya pidana seperti pelaporan ke kepolisian karena melakukan pencemaran nama baik.

Apabila kondisi itu dibiarkan, hal tersebut akan memicu keengganan dan ketakutan masyarakat melaporkan kasus-kasus korupsi, ujar Uli.

Lembaga peradilan sebagai rumah keadilan, ternyata sudah ikut tercemar tangan-tangan kotor pelaku praktik-praktik korupsi. Sangat tidak dimengerti, keadilan dan hukum diperjualbelikan para penegak hukum, baik advokat, hakim, polisi, jaksa. Bahkan yang lebih parah, dengan contoh kasus Endin itu, MA yang diharapkan sebagai benteng terakhir keadilan juga ikut terkena imbas korupsi peradilan.

Tidak adanya perlindungan saksi juga terjadi pada kasus laporan dugaan korupsi penggunaan dana Pemilu 2004 sebesar Rp 301 miliar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dugaan korupsi itu dilaporkan Koalisi LSM untuk Pemilu Bersih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ternyata Pimpinan KPU menyerang balik. Mereka melaporkan Koalisi LSM untuk Pemilu Bersih ke Mabes Polri atas tuduhan pencemaran nama baik. Dalam laporannya, KPU langsung menunjuk nama, yakni Hermawanto, advokat publik LBH Jakarta yang juga anggota Koalisi LSM untuk Pemilu Bersih. Tragedi Endin Wahyudin terulang kembali.

Supriyadi Widodo Eddyono dari Elsam menilai, keberhasilan penyelesaian suatu perkara sangat bergantung pada keterangan saksi yang berhasil diungkap atau dimunculkan. Tak sedikit perkara kandas di tengah jalan karena tidak ada saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum.

Peran saksi dalam proses penyelesaian perkara selama ini sangat jauh dari perhatian masyarakat dan penegak hukum. Adanya perkara-perkara yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan disebabkan karena keengganan saksi, terutama saksi korban untuk memberikan keterangan saksi kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak tertentu.

Terpisah-pisah
Memang, saat ini belum ada UU yang secara khusus mengatur soal perlindungan saksi. Pengaturan tentang perlindungan saksi masih terpisah-pisah dalam beberapa peraturan perundang-undangan sesuai dengan masalahnya masing-masing. Contohnya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang juga mengatur tentang saksi (termasuk saksi korban), tidak cukup memberi perlindungan jika dibandingkan dengan perlindungan terhadap hak-hak tersangka ataupun terdakwa.

Menurut Supriyadi, KUHAP lebih melihat saksi hanya sebagai bagian dari alat bukti dan kurang mengatur tentang saksi sebagai pihak yang perlu dilindungi. Makanya banyak pihak yang enggan bersaksi.

Persoalan yang utama adalah banyak saksi tidak bersedia menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya, karena tak ada jaminan yang memadai, terutama jaminan atas perlindungan tertentu ataupun mekanisme tertentu untuk bersaksi. Sering kali mereka malah terintimidasi. Koalisi Perlindungan Saksi mencatat, keengganan saksi memberi keterangan di sidang pengadilan terutama untuk kasus-kasus seperti kekerasan terhadap perempuan, kasus kekerasan dalam rumah tangga, korupsi, kejahatan terorganisir dan pelanggaran HAM berat.

Tanpa adanya perlindungan hukum bagi saksi, sejumlah kasus besar dapat diprediksi akan sangat sulit diungkap. Mereka mencatat, muatan utama ketentuan perlindungan saksi, pada prinsipnya mengandung beberapa hal pokok, yakni definisi saksi, kemudian perlindungan dan hak-hak saksi. Selain itu soal tanggung jawab pemerintah dalam perlindungan saksi, lembaga apa yang menangani, lalu bagaimana tata cara pemberian perlindungan dan bantuan bagi saksi. Hal-hal lainnya, bagaimana peran serta masyarakat dalam perlindungan saksi, kemudian sanksi bagi pejabat yang tidak memberikan perlindungan, termasuk sanksi bagi pihak yang menghalang-halangi perlindungan saksi.

Jadi, memang sudah saatnya pembahasan RUU Perlindungan Saksi segera dilakukan. Pemerintah harus segera mengeluarkan Amanat Presiden untuk pembahasan itu. Tanpa UU Perlindungan Saksi, negeri kita akan terus menjadi sarang koruptor, sarang penjahat. Saksi yang melaporkan tindak pidana korupsi atau pelanggaran HAM dan lainnya, akan terus terintimidasi. Jika dibiarkan, jelas tak akan ada kasus yang terungkap!

Sumber: Suara Pembaruan, 3 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan