RUU Pengadilan Tipikor; Menanti Nasib dari Suara Terbanyak

Tidak hanya presiden dan wakil presiden periode 2009-2014 yang ditentukan tahun ini. Tahun 2009 menjadi tahun penentuan ”nasib” Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pula. Kian kuat atau malah hilang.

Tanggal 19 Desember 2009 adalah batas waktu tiga tahun yang diberikan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk pemerintah dan DPR membentuk undang-undang khusus mengenai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sekilas tampak lama dan memungkinkan pembahasan RUU itu. Namun, agenda politik tahun ini yang seharusnya sudah diperhitungkan membuat hal tersebut tampak tak mungkin.

Preseden itu terlihat awal Desember 2008 pada pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial (RUU KY). Rapat beberapa kali ditunda karena tidak mencapai kuorum. Pada 10 Desember 2008, misalnya, hanya delapan dari 25 anggota panitia khusus (Pansus) yang hadir di DPR.

Itu terjadi ketika MK belum menghilangkan sistem nomor urut untuk penentuan calon anggota legislatif (caleg) terpilih. Pada 23 Desember 2008 MK memutuskan penetapan caleg terpilih tidak boleh menggunakan standar ganda, yaitu nomor urut dan suara terbanyak. Penentuan caleg terpilih harus didasarkan pada suara terbanyak. Putusan itu dinilai menunjukkan penghargaan pada suara rakyat (Kompas, 24/12/2008).

Putusan ini mau tidak mau membuyarkan sejumlah rencana dan target yang ditetapkan anggota DPR. Setidaknya Pansus RUU Pengadilan Tipikor.

Anggota pansus, Nasir Jamil dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), menyatakan, sebelum keluarnya putusan MK, pansus menargetkan pembahasan RUU Pengadilan Tipikor selesai akhir Maret 2009 atau sebelum pemilu legislatif. Namun, pascaputusan MK, ia pesimistis target itu terpenuhi.

”Pascaputusan MK, anggota DPR yang dicalonkan kembali oleh partainya akan mengamankan posisi dan suaranya di daerah pemilihan masing-masing. Ini akan mengganggu ritme pembahasan RUU,” ujar Nasir.

Nasir menguraikan, sebelum putusan MK mengenai suara terbanyak muncul, anggota pansus yang memiliki nomor urut aman (satu atau dua) masih stand by di kantor. Anggota yang turun ke lapangan adalah yang mendapat nomor urut besar.

Namun, akibat putusan MK, anggota DPR yang mendapat nomor urut besar atau kecil harus terjun ke daerah. ”Januari hingga akhir Maret dapat dipastikan anggota DPR yang maju pada pemilu legislatif akan mengamankan posisi masing-masing di daerah pemilihan. Putusan MK menjadi alasan,” ujarnya.

Hal itu tidak menjadi masalah jika jumlah anggota pansus yang maju dalam Pemilu 2009 sedikit. Kenyataannya, menurut Nasir Jamil yang juga diamini anggota pansus lain, T Gayus Lumbuun dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), hampir semua anggota pansus mencalonkan diri lagi.

Gayus mempertegas persentasenya, ”Sekitar tiga per empat dari anggota pansus.”

Alhasil, kekhawatiran akan terlewatinya batas waktu itu kian nyata. Apalagi, ditambahkan adanya ketidaksukaan sejumlah anggota DPR terhadap Pengadilan Tipikor. Kinerja Pengadilan Tipikor mengusik DPR. ”Ada keinginan untuk mengubur Pengadilan Tipikor. Ada yang gerah dengan Pengadilan Tipikor yang terlalu leluasa dan melakukan sesuatu di luar kebiasaan, misalnya memutar rekaman,” kata Nasir.

Hal itu disetujui peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah. Fakta di atas sangat berpengaruh terhadap sikap DPR terhadap eksistensi Pengadilan Tipikor. Upaya penguburan Pengadilan Tipikor juga tampak dari minimnya waktu yang dialokasikan serta belum jelasnya agenda pembahasan RUU. ”Ini merupakan salah satu upaya delegitimasi gerakan pemberantasan korupsi,” ujarnya.

PN tak bisa diharapkan
Padahal, apabila RUU ini tak selesai tepat waktu, salah satu konsekuensi yang harus dibayar adalah dikembalikannya penanganan kasus korupsi ke pengadilan negeri (PN). Menurut Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Emerson Juntho, hal ini adalah kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi.

Pasalnya, jelas Emerson, institusi pengadilan umum secara keseluruhan memberikan kontribusi besar pada kian melemahkan gerakan pemberantasan korupsi yang didorong pemerintah. Hal ini terlihat dari data yang dikumpulkan ICW mengenai besarnya persentase vonis bebas yang diberikan PN kepada terdakwa korupsi.

Setidaknya 277 dari 444 terdakwa korupsi atau sekitar 62,38 persen divonis bebas oleh pengadilan negeri sepanjang 2008. Bagi pelaku yang dijatuhi hukuman, PN umumnya menjatuhkan hukuman yang relatif ringan. Sebanyak 17,57 persen dihukum kurang dari setahun, 12,39 persen divonis antara setahun hingga dua tahun, 4 persen divonis 2-5 tahun. Hanya 1,12 persen yang divonis 5-10 tahun dan 0,22 persen divonis di atas 10 tahun.

Yang lebih aneh, kata Emerson, PN juga menjatuhkan hukuman percobaan pada 10 terdakwa korupsi atau sekitar 2,25 persen. Umumnya dijatuhi hukuman satu tahun dengan masa percobaan dua tahun. Bahkan, hukuman percobaan itu dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung (MA) khususnya dalam perkara korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Tengah yang melibatkan Ketua DPRD Mardijo.

”Pada 2008 pengadilan umum menjelma menjadi kuburan bagi pemberantasan korupsi,” kata Emerson.

Ketua KY Busyro Muqoddas menilai kondisi itu mencerminkan tidak adanya semangat, komitmen, sekaligus metodologi yang mendukung pemberantasan korupsi. Hakim tidak memahami konsep hukum mengenai keadilan, khususnya keadilan sosial. Hakim tidak mampu melihat korban perbuatan korupsi, yaitu masyarakat miskin.

Busyro mempunyai logika yang agak berbeda dalam menilai banyaknya putusan bebas di pengadilan tingkat pertama. Menurut dia, dalam memutus, hakim PN sering kali melihat putusan MA. Faktor kuatnya feodalisme dan tidak adanya sistem yurisprudensi menjadi alasan. Padahal, di MA banyak terjadi inkonsistensi dalam memutus perkara korupsi.

”Putusan tergantung dari siapa majelis hakimnya. Sehingga putusan majelis yang satu berbeda dengan majelis yang lain,” ujarnya.

Wajar jika harapan suksesnya upaya pemberantasan korupsi juga tergantung di Pengadilan Tipikor. Berdasarkan rekapitulasi yang disusun ICW, tidak ada satu pun vonis bebas di Pengadilan Tipikor. Dari 31 terdakwa yang diajukan ke persidangan, 100 persen dihukum.

Terkait upaya mendesakkan penyelesaian RUU Pengadilan Tipikor, ada beberapa usulan yang memungkinkan. Gayus mengusulkan penyederhanaan pembahasan RUU. Artinya, pembahasan langsung pada persoalan yang substansial.

”Hal yang rigid ditinggalkan saja sehingga RUU dapat diselesaikan sebelum April 2009,” ujar dia.

Salah satu masalah yang diperkirakan dibahas alot adalah perlu-tidaknya dismisal di PN. ”Ada sebagian anggota pansus yang menginginkan ada pre-trial untuk memastikan apakah yang dimaksud termasuk pidana korupsi atau bukan. Ada yang menginginkan hal itu ditentukan PN,” ujarnya.

Febri mendesak anggota DPR lebih menunjukkan komitmen, dengan memanfaatkan waktu yang sedikit untuk membahas RUU. Jika diperlukan, DPR harus menggunakan masa resesnya untuk rapat pansus. DPR juga harus melakukan rapat konsinyering dalam waktu seminggu-dua minggu.

Menurut Nasir, saat ini teramat sulit berharap kepada anggota DPR. Ia justru melempar bola kepada pemerintah. ”Pemerintah harus melakukan sesuatu. Apa saja. Jangan membiarkan suasana seperti ini. Kalau dibiarkan, pemerintah juga turut memberikan andil jika batas waktu terlewati,” ujar dia.

Dalam hitungan Nasir, pembahasan sudah sulit dilakukan. Hingga Maret mendatang anggota DPR jelas berkonsentrasi mengamankan posisinya. Setelah pemilu legislatif lewat, anggota DPR biasanya diminta partai untuk menyukseskan calon presiden/wakil presidennya.

Gayus, yang juga Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR, akan mengambil langkah. BK akan meminta fraksi menjelaskan keberadaan anggotanya.[Susana Rita K]

Sumber: Kompas, 9 januari 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan