RUU Pencucian Uang Dianggap Mandul

"Pemberian kewenangan kepada KPK sudah benar."

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Rancangan Undang-Undang Antipencucian Uang, yang telah selesai dibahas di Tim Perumus Dewan Perwakilan Rakyat, tak banyak memberi harapan alias mandul. Lembaga ini menyayangkan hilangnya 50 pasal yang tercantum dalam draf awal yang diserahkan pemerintah.

"Naskah awalnya cukup reformis," kata peneliti hukum ICW, Donal Fariz, kemarin. "Sayangnya, semangat ini hilang di tangan anggota Dewan."

Donal mengungkapkan, banyak kelemahan mendasar yang dapat menghambat penghapusan pidana pencucian uang. Kelemahan-kelemahan itu antara lain kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang hanya bersifat administratif. "Seharusnya wewenang PPATK tidak hanya melihat dan melaporkan transaksi yang mencurigakan," ujarnya.

Menurut dia, penambahan wewenang kepada PPATK untuk memblokir rekening mencurigakan tidak akan berarti banyak. Sebab, institusi di bawah presiden itu tak memiliki kewenangan penyelidikan dan membuat satuan tugas sendiri. "Semangat awal undang-undang ini seperti itu," ujar Donal.

Hal penting lain yang hilang dalam rancangan undang-undang ini adalah mengenai pihak pelapor. Dalam draf awal, kata Donal, notaris dan advokat diperbolehkan menjadi pihak pelapor. Tapi pasal ini hilang dalam pembahasan Tim Perumus DPR. "Pasal ini sangat penting, karena selama ini rekening para notaris dan advokat kerap dijadikan transit uang kliennya yang melakukan pencucian uang."

Satu hal yang dinilai menjadi sedikit kemajuan adalah dimungkinkannya Komisi Pemberantasan Korupsi terlibat dalam menyelidiki pencucian uang berkaitan dengan pidana asalnya. Namun ICW melihat sejak awal DPR memang berupaya secara sistematis untuk melemahkan undang-undang ini. Bahkan pasal yang memungkinkan Komisi Pemberantasan Korupsi serta beberapa lembaga di luar Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung mendapatkan laporan PPATK pun sempat dihilangkan.

Padahal, Donal menambahkan, selama ini Polri telah gagal dalam menangani kasus pencucian uang. "Data PPATK menyebutkan terdapat 2.442 transaksi keuangan yang mencurigakan, 98 persennya diserahkan ke kepolisian," kata Donal. "Kepolisian hanya mampu menangani 26 kasus, sedangkan sisanya hilang entah ke mana."

Anggota tim perumus revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Muzakir, menilai kewenangan yang diberikan kepada KPK dalam kaitan dengan pencucian uang sudah benar. "KPK bisa menindaklanjuti yang ada indikasi korupsinya. Jadi memang sudah sesuai dengan kewenangan mereka di undang-undang," ujarnya. "Meski hanya menerima tembusan laporan PPATK, itu sama saja dan tak akan jadi masalah." FEBRIYAN | RIRIN AGUSTIA
 
Sumber: Koran Tempo, 30 Agustus 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan