RUU Lemahkan Posisi KPK

Rancangan Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinilai berpotensi melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi. RUU tersebut tidak menyebut jelas kewenangan KPK di dalam penuntutan. Penyebutan jelas hanya dalam kewenangan penyidikan kasus korupsi.

Pakar hukum pidana Romli Atmasasmita mengungkapkan hal tersebut, Selasa (29/3), saat ditemui setelah acara Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) di Jakarta. ”Ada satu pasal yang menyebutkan bahwa kewenangan penuntutan itu ada pada jaksa. Tidak disebutkan KPK. KPK itu bukan jaksa,” kata Romli.

Hal senada diungkapkan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz. Pasal yang dimaksud berpotensi memangkas kewenangan penuntutan KPK adalah Pasal 32 RUU Pemberantaan Tipikor. Disebutkan, ”Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”.

Pasal 32 itu, menurut Donal, sangat berbeda dengan rumusan pasal sebelumnya, yakni Pasal 31 Ayat (2) yang menyebut dengan sangat jelas kewenangan KPK dalam penyidikan kasus korupsi. Menurut dia, rumusan Pasal 32 tersebut sangat sumir. Ketentuan mengenai penuntutan justru dikembalikan pada hukum acara (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Di dalam KUHAP kewenangan penuntutan hanya ada pada jaksa. ”Ini multitafsir. Dengan tidak menyebutkan kewenangan penuntutan secara jelas, kewenangan itu bisa hilang,” kata Donal.

Berbahaya

Donal mengingatkan bahaya Pasal 51 RUU Pemberantasan Tipikor yang mengatur boleh dihentikannya penyidikan kasus korupsi di bawah Rp 25 juta. Ketentuan tersebut dikhawatirkan akan membuat korupsi di tingkat akar rumput semakin meluas dan marak.

Selain itu, lanjutnya, potensi terjadinya mafia hukum dengan bekerja sama aparat polisi dan kejaksaan meningkat. Kerugian negara bisa saja dikompromikan antara tersangka, polisi, dan jaksa sehingga perkara tidak jadi diajukan ke pengadilan.

Romli menilai RUU Pemberantasan Tipikor disusun dengan mengadopsi Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC). Konvensi tersebut tidak lagi menyebutkan kerugian negara sebagai salah satu unsur, sehingga tidak diperlukan adanya akibat/kerugian atas perbuatan itu (delik material), tetapi cukup dengan delik formal.

”Tidak adanya unsur kerugian negara bukan berarti mundur. Ketentuan itu justru memperluas wilayah yang bisa dijerat, korupsi di sektor swasta pun bisa dijerat,” kata Romli.

Demikian pula ketika pasal mengenai hukuman mati dihapuskan dari RUU Pemberantasan Tipikor. Menurut Romli, hal itu sesuai pula dengan konvensi internasional bahwa hukuman mati secara bertahap memang harus dihilangkan. ”Itu bukan mengurangi hukuman untuk pelaku korupsi,” katanya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Ahmad Yani, berharap rencana pembahasan RUU Pemberantasan Tipikor itu tidak diartikan sebagai upaya untuk melemahkan pemberantasan korupsi, khususnya KPK.

”RUU itu harus dilihat secara obyektif karena ada beberapa hal yang harus dievaluasi dalam upaya pemberantasan korupsi saat ini,” kata Ahmad Yani, Selasa.

Evaluasi itu, antara lain, terkait mekanisme penyadapan yang selama ini dilakukan KPK. Untuk mencegah adanya penyalahgunaan wewenang, pelaksanaan penyadapan yang sekarang hanya diatur prosedur internal KPK, sebaiknya diatur undang-undang. Jadi penyadapan dapat dipastikan hanya untuk pemberantasan korupsi.

Evaluasi lainnya terkait dengan tata cara penyelidikan di KPK. ”Ketentuan bahwa saksi tidak dapat didampingi pengacara ketika ada di KPK harus dikoreksi,” ujar Ahmad Yani.

Martin Hutabarat, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, menambahkan, pengawasan terhadap KPK memang masih kurang, padahal wewenang komisi itu sangat besar. ”KPK harus lebih dapat diawasi, agar tidak muncul kecurigaan dan sinisme di masyarakat, seperti komisi itu melakukan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi,” kata Martin.

Namun, lanjut Martin, rencana pembahasan RUU Tipikor juga harus dimanfaatkan untuk memperkuat KPK, misalnya, dengan membuka peluang bagi lembaga itu untuk memiliki penyidik sendiri. (ANA/NWO)
Sumber: Kompas, 30 Maret 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan