RUU Kesehatan Dinilai Tidak Prorakyat
RUU Kesehatan tidak mengatur secara eksplisit alokasi lima persen APBN dan APBD.
RANCANGAN Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang kini tengah dibahas oleh pemerintah bersama DPR dinilai rentan masalah dan tidak berpihak kepada rakyat. Pasalnya, dalam substansi draf perundangan yang mulai dirancang sejak tahun 2000 silam itu masih ditemukan pasal-pasal yang berpotensi mengamputasi hak masyarakat untuk memperoleh kesehatan.
Dalam sebuah diskusi di Kalibata Jakarta, Minggu (2/8), sejumlah gerakan masyarakat sipil melemparkan beberapa poin krusial sebagai masukan untuk pembahasan draf Amandemen UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Mereka terdiri atas Indonesian Corruption Watch (ICW), Jaringan Kerja Prolgenas Pro Perempuan (JKP3), CEDAW Working Group Initiative (CWGI) dan Kelompok Perempuan untuk Keadilan Buruh (KPKB).
ICW memandang jika isi RUU Kesehatan masih memberikan celah untuk penyelewengan dana. Dalam pasal 50 diatur bahwa pemerintah pusat dan daerah harus mengalokasikan lima persen dari APBN atau APBD untuk anggaran kesehatan. Namun, tata cara alokasi dana dan pembiayaan kesehatan tidak diatur secara eksplisit di dalamnya.
"Jika tidak jelas berpotensi terjadi korupsi," kata peneliti ICW Divisi Monitoring Pelayanan Publik, Ratna Kusumaningsih.
Alokasi dana, menurut Ratna, semestinya diutamakan untuk peningkatan akses maupun kualitas pelayanan kesehatan untuk masyarakat, khususnya kaum miskin. Bukan hanya menambah besaran anggaran tetapi juga meningkatkan program layanan dengan cara mengurangi birokrasi yang berbelit-belit dalam penanganan pelayanan kesehatan bagi warga miskin.
Ratna juga menilai jika draf RUU Kesehatan belum memfasilitasi hak pasien dalam memperoleh bantuan hukum."Draf RUU Kesehatan memang menyebutkan tentang ganti rugi tetapi tidak dijelaskan mengenai bantuan atau perlindungan hukum untuk pasien," kata Ratna.
Di sisi lain, UU tentang Tenaga Kesehatan secara jelas memfasilitasi bantuan hukum. Menurut Ratna, keadaan yang tidak seimbang ini dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik seperi Kasus Prita Mulyasari versus Rumah Sakit Omni Internasional.
Sementara itu, Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) mencermati RUU Kesehatan yang belum sepenuhnya menjamin hak asasi perempuan atas kesehatan reproduksi khususnya dalam menangani problem tingginya Angka Kematian Ibu di Indonesia.
Pemerintah RI sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi Konvensi CEDAW (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) melalui UU No 7/Tahun 1984, juga dianggap merancang undang-undang yang bertentangan dengan prinsip nondiskriminasi serta ketentuan dalam Konvensi CEDAW (Rekomendasi Umum Komite CEDAW No 24 tentang Perempuan dan Kesehatan).
RUU Kesehatan Pasal 81 huruf a menyebutkan bahwa setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangannya yang sah. Pasal ini, kata Ratna Munti, diskriminatif bagi perempuan dewasa lajang dan tidak memiliki pasangan yang sah di mata hukum.
"Lantas apakah seorang pekerja seks komersial tidak berhak mendapatkan kehidupan seksual yang sehat," tegas aktivis perempuan itu.
Pasal lain yakni Pasal 84 ayat 2 huruf b juga dianggap mempersulit proses aborsi bagi perempuan korban perkosaan. Dalam pasal diatur jika korban perkosaan diperbolehkan melakukan aborsi dengan rekomendasi dari lembaga agama. Syarat rekomendasi dari institusi agama ini dikhawatirkan akan menjadi birokrasi tambahan yang justru memperlama layanan kesehatan kepada pasien.
Kriminalisasi kesehatan juga terjadi dalam RUU Kesehatan. Dalam pasal 115 dikatakan bahwa seseorang yang sakit dan menularkan penyakitnya diancam dengan hukuman 5 tahun penjara. Sementara itu pasal 117 mengancam pelaku tindakan aborsi dengan hukuman 15 tahun penjara dan denda 10 miliar.
Padahal, menurut Ratna Munti, alasan melakukan aborsi bisa juga dikarenakan kegagalan KB dan faktor kemiskinan. Dua alasan tersebut sebenarnya juga menjadi tanggung jawab pemerintah dan tidak seharusnya pemerintah lepas tangan dan membebankan kepada rakyat. "Ini terlalu berlebihan dan tidak realistis," kata Ratna Munti.[by : Melati Hasanah Elandis]
Sumber: Jurnal Nasional, 3 Agustus 2009