Rusli dan Oey Bersalah; Hakim "Ad Hoc" Pengadilan Tipikor Ajukan Beda Pendapat

Mantan Deputi Direktur Hukum Bank Indonesia Oey Hoey Tiong dan mantan Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simanjuntak divonis empat tahun penjara dan membayar denda Rp 200 juta. Hakim anggota Sofialdi, yang adalah hakim ad hoc, mengajukan dissenting opinion atau beda pendapat atas putusan terkait peran Oey Hoey Tiong.

Putusan itu dibacakan dalam sidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu (12/11). Majelis hakim yang dipimpin Moefri menyatakan Oey dan Rusli terbukti melanggar Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Keduanya dinilai bersalah terlibat dalam pemberian dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), yang didirikan BI, senilai Rp 100 miliar kepada sejumlah mantan pejabat BI dan anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004.

Menurut majelis hakim, Oey selaku Deputi Direktur Hukum BI seharusnya memberikan masukan kepada Dewan Gubernur BI untuk menunda dahulu pemberian dana bagi mantan pejabat BI yang tersandung perkara.

Apalagi, kata majelis hakim, saat itu Direktorat Hukum BI sedang tidak memiliki anggaran dan juga permohonan bantuan hukum itu hanya berupa penggantian sehingga tidak mendesak. Bahkan, dana itu ada yang digunakan untuk membeli properti dan disimpan dalam bentuk deposito oleh mantan pejabat penerimanya.

Hakim Anwar, yang membacakan putusan itu, mengatakan, Oey selaku Direktur Hukum BI mengetahui pendanaan semestinya menggunakan dana Direktorat Hukum sesuai dengan Pasal 20 Peraturan Dewan Gubernur BI Nomor 4/13/PDG/2002.

”Dalam Peraturan Dewan Gubernur BI itu diatur, apabila tidak ada anggaran, diajukan Tambahan Anggaran Pengeluaran sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Peraturan Dewan Gubernur BI Nomor 4/15/PDG/2002. Terlebih lagi permohonan bantuan hukum itu hanya berupa penggantian sehingga tidak mendesak. Jadi pendapat hukum terdakwa I (Oey) adalah perbuatan tak patut, apalagi peserta Rapat Dewan Gubernur sangat bergantung pada pendapat terdakwa I,” papar Anwar lagi.

Majelis hakim berpendapat, Oey seharusnya memberikan pendapat, pemberian dana ditangguhkan sampai ada dana di Direktorat Hukum. ”Terlebih lagi untuk amandemen I dan penyelesaian Bantuan Likuiditas BI (BLBI), terdakwa I menyarankan tak perlu menyediakan dana itu. Namun, terdakwa I malahan mengatakan dana itu bisa digunakan untuk kegiatan dimaksud,” kata Anwar.

Majelis hakim juga berpendapat, pada 25 Juni 2003 Oey dan Rusli mengadakan pertemuan dengan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan, Maman H Soemantri, Baridjussalam Hadi, dan Ratnawati Priono, membicarakan mekanisme penarikan dana yang disetujui 3 Juni 2003. Oey dan Rusli membuat catatan penarikan dana YPPI.

Khusus mengenai posisi YPPI, majelis hakim berpendapat, yayasan itu bukanlah badan hukum yang diatur dalam Pasal 1 Angka (1) UU No 16/2001 tentang Yayasan. Sebab, kata Anwar, YPPI baru diakui sebagai badan hukum pada 11 Desember 2003.

Posisi neraca keuangan YPPI pada 30 Desember 2003 Rp 170,377 miliar, atau menurun 33 persen dibandingkan dengan posisi 31 Maret 2003 sebesar Rp 266,160 miliar. Penurunan ini diakibatkan adanya penyisihan Rp 100 miliar dari saldo YPPI.

Berbeda pendapat

Hakim ad hoc Sofialdi berbeda pendapat. Ia mengatakan, penyisihan dana YPPI untuk kepentingan BI bukan perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Sebab, kekayaan YPPI telah terpisah dari pendirinya, BI.

Sofialdi juga menilai pemberian uang kepada mantan direksi BI sebesar Rp 68,5 miliar bukan tindakan pidana. Hal ini dibuktikan dengan adanya akta pengakuan utang.

”Perbuatan terdakwa I (Oey) bukan perbuatan pidana. Maka, hakim anggota keempat menyatakan terdakwa I harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan,” kata Sofialdi. (VIN)

Sumber: Kompas, 13 November 2008

------------

Tersangka Kasus BI Oey Hoey Tiong dan Rusli Simanjuntak Kena Bui Empat Tahun

Hakim Beda Pendapat

Satu per satu tersangka kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) dijatuhi vonis. Setelah mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, kemarin (12/11) giliran mantan Direktorat Hukum Oey Hoey Tiong dan mantan Kepala Biro Gubernur Bank Indonesia (BI) Rusli Simanjuntak harus berlama-lama hidup di balik terali besi.

Majelis hakim Pengadilan Tipikor memvonis masing-masing empat tahun penjara. Dasarnya, mereka terbukti bersama-sama melakukan korupsi dana bank sentral Rp 100 miliar atas dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI).

Hakim juga mendenda dua pejabat bank sentral itu masing-masing Rp 200 juta. Kalau mereka tidak mampu membayar, gantinya hukuman badan selama enam bulan.

Khusus untuk Rusli, hakim juga membebankan uang pengganti Rp 3 miliar. Uang itu bisa dikompensasikan dengan uang yang telah diserahkan kepada penyidik KPK saat menjalani penyidikan. Duit Rp 3 miliar itu merupakan uang yang diambil Rusli saat menyerahkan uang Rp 31,5 miliar kepada anggota DPR. Dengan begitu, uang yang mengalir ke anggota dewan Rp 28,5 miliar.

Putusan yang dibaca oleh Ketua Majelis Hakim Moefri itu lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut enam tahun penjara. Hakim juga membeberkan hal-hal yang meringankan terhadap dua terdakwa tersebut. Dinyatakan, Oey tidak menikmati sepeser pun hasil korupsi itu.

Hakim Moefri menyatakan bahwa yang bersangkutan telah terbukti bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi. Hakim juga menolak pembelaan yang membeberkan pasal 45 UU BI bahwa anggota dewan gubernur dan deputi tidak bisa dipidana karena mengambil kebijakan. "Tapi, haruslah diketahui kebijakan dalam rapat dewan gubernur 3 Juni dan 22 Juni 2003 tersebut bukan terkait kebijakan moneter," ungkap hakim I Made Hendra.

I Made Hendra juga mengungkapkan bahwa sebagai pejabat BI, sejatinya Oey dan Rusli mengetahui bahwa rapat dewan gubernur tersebut tidak bisa memutuskan alternatif pendanaan BI dengan menggunakan duit YPPI. Sebab, selama ini, menurut Peraturan Dewan Gubernur, pendanaan untuk kegiatan tambahan yang tidak dianggarkan seperti bantuan hukum dan penyelesaian politis BLBI harus melalui tambahan anggaran pengeluaran (TAP).

"Yang bersangkutan masing-masing deputi direktorat hukum dan kepala biro gubernur, bukan staf biasa. Jadi, seharusnya mengetahui aturan itu," ujarnya.

Oey dan Rusli terbukti melakukan korupsi Rp 100 miliar dana YPPI. Itu bermula dari Rapat Dewan Gubernur (RDG) 3 Juni 2003 yang salah satu keputusannya menyisihkan dana Rp 100 miliar untuk dua kegiatan BI. Yakni, pemberian bantuan hukum kepada lima pejabat BI yang tersangkut kasus hukum, Iwan R Prawiranata, Paul Sutopo, Heru Supraptomo, Hendro Budiyanto dan Soedrajad Djiwandono. Total dana yang mengalir adalah Rp 68,5 miliar. Pemberian dana itu kemudian menyeret Oey Hoey Tiong ke dalam pusaran kasus hukum. Sementara Rusli, terjerat karena terlibat dalam pembagian dana BI ke DPR, senilai Rp 28,5 miliar.

Namun soal putusan itu tak semua majelis kompak. Hakim anggota keempat, Sofialdi, mengungkapkan beda pendapat (dissenting opinion). Sofiladi justru berani mengungkapkan bahwa Oey Hoey Tiong seharusnya dibebaskan dari segala dakwaan dalam kasus itu. Terdakwa juga harus segera dipulihkan nama baiknya.

Perbedaan pendapat yang paling mendasar adalah soal status keuangan YPPI. Sofialdi menilai bahwa keuangan yayasan bukanlah termasuk keuangan negara. "Karena kekayaan YPPI terpisah dengan kekayaan BI," jelasnya.

Bahkan, kata Sofialdi, bahwa uang yang diberikan Oey kepada lima pejabat BI yang tersangkut kasus hukum tidak tergolong perbuatan pidana. Sebab, mereka yang mendapatkan dana sama sekali tidak melakukan sesuatu yang terkait dengan jabatannya.

Sementara terhadap Rusli, hakim Sofialdi berkeyakinan bahwa pria yang pernah menjabat kepala BI Surabaya itu memang bersalah. Sebab, saat memberikan dana secara langsung kepada para wakil rakyat itu, yang bersangkutan mengetahui bahwa wakil rakyat tersebut merupakan penyelenggara negara.

Menanggapi putusan itu, Oey dan Rusli masih menyatakan pikir-pikir untuk melakukan upaya hukum. "Saya pikir-pikir dulu yang mulia," ujarnya. Soal beda pendapat hakim, Rusli hanya mengomentari singkat. "Innalillahi wa innailaihi roji'un," kata Rusli seusai sidang. Saat ditanya apa maksud perkataannya, dia hanya berkata, "Artikan saja sendiri," sambil berlalu menuju ruang tunggu terdakwa. (git/kim)

 

Sumber: Jawa Pos, 13 November 2008

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan