Runtuhnya Mitos The Untouchable
Penahanan 19 tersangka mantan dan anggota DPR penerima suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Gultom oleh KPK telah menciptakan kejutan hebat pada awal 2011. Setelah sempat ”puasa” dalam melakukan gebrakan, KPK dengan dikomandoi ketua barunya, Busyro Muqodas, langsung membuat partai politik meradang.
Bayangkan, anggota DPR yang ditahan KPK bukanlah politikus kacangan. Mereka punya posisi strategis di partainya masing-masing. Selain sebagai politisi senior, mereka memiliki kedekatan yang erat dengan pejabat teras partai politik. Tak heran jika partai politik yang kadernya ditahan KPK seperti kebakaran jenggot. Pada rapat dengar pendapat antara KPK dan Komisi III DPR yang dilakukan satu hari setelah penahanan, Bibit dan Chandra diusir oleh anggota komisi III dari Golkar, PDIP, PKS, PPP, dan Gerindra.
Selain respons dalam bentuk pengusiran dua pimpinan KPK, para tersangka dan kuasa hukumnya mencoba membangun opini bahwa manuver KPK adalah bagian dari upaya penzaliman politik. Pendek kata, menurut asumsi mereka, KPK telah melakukan politisasi dalam penanganan perkara cek pelawat. Terutama kepada PDIP yang telah mengambil sikap sebagai partai oposisi selama dua periode parlemen berturut-turut.
Patut disayangkan, sekaligus semakin menjelaskan posisi parlemen, anggota DPR dan partai politik yang berseberangan dalam agenda pemberantasan korupsi di Indonesia, PKS yang notabene selama ini berhasil menarik batas yang cukup jelas dengan partai politik lain yang sudah telanjur dianggap bermasalah, justru menjadi bagian dari partai politik yang melakukan perlawanan terhadap proses hukum yang dilakukan KPK. Hal ini tentu saja akan memberikan citra negatif terhadap PKS yang selama ini dicap sebagai partai yang relatif mendukung pemberantasan korupsi.
Politisasi Kasus?
Tidak dapat dihindari, setiap proses hukum yang mengarah pada anggota partai politik atau politikus, apalagi politikus senior, selalu akan membawa implikasi politis, meskipun tidak pernah ada muatan politiknya. Bukan hanya KPK yang mengalami stigmasisasi semacam itu, melainkan juga penegak hukum lain yang tengah memproses politikus yang terlibat tindak pidana. Pada akhirnya, apakah tudingan para pejabat partai politik itu benar atau tidak, akan sangat ditentukan oleh proses hukum lanjutan yang dilakukan KPK.
Dalam konteks kasus cek pelawat, memang harus diakui ada satu pekerjaan rumah dari KPK yang belum selesai, yakni menyeret pihak pemberi cek pelawat kepada anggota DPR. Jika saat penahanan itu dilakukan, KPK juga menetapkan pihak penyuap sebagai tersangka, barangkali efek politiknya tidak akan terlalu keras. Tetapi, KPK memang harus siap dengan berbagai risiko politik saat memberantas korupsi pada wilayah politik. Ini karena di sana berkumpul para pemegang kekuasaan yang dengannya, dapat digunakan untuk kepentingan membela para kader dengan memukul balik KPK.
Oleh karena itu, kita jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa KPK telah melakukan tebang pilih, atau dalam bahasa Priyo Budi Santoso, wakil ketua DPR, sebagai tindakan arogan karena proses hukumnya belum selesai sama sekali. Pihak pemberi suap, entah itu diduga Miranda Gultom, Nunun Nurbaeti, ataupun pihak lain yang menggunakan kedua orang itu sebagai perantara untuk melakukan praktik vote buying, memang harus segera ditangani KPK. Jika KPK berlarut-larut untuk menyeret pemberi suap, tekanan politik kepada KPK akan semakin kencang, terutama tuduhan bahwa KPK telah melakukan politisasi penanganan kasus korupsi.
Mitos yang Runtuh
Daripada menganalisis tuduhan partai politik dan anggota DPR jika KPK telah bersikap arogan dalam penanganan perkara, alangkah baiknya jika cara pandang terhadap kebijakan penahanan para tersangka penerima cek pelawat oleh KPK dalam perspektif yang lain, yakni KPK sebagai alat penyeimbang kekuasaan politik yang baru. Dengan posisinya yang independen, meski KPK adalah penegak hukum, gebrakan hukumnya dapat menjadi instrumen kontrol kekuasaan politik yang cukup efektif.
Apalagi di tengah situasi bahwa mekanisme checks and balances dalam sistem politik demokrasi liberal yang tradisional tidak bekerja sama sekali. Parlemen yang seharusnya menjadi pemain kunci untuk menjaga keseimbangan kekuasaan justru jatuh pada penyalahgunaan kekuasaan yang akut. Kehadiran KPK, selain untuk memberantas korupsi, ternyata sanggup melakukan koreksi atas penyimpangan kekuasaan politik yang dilakukan parlemen. Bukan koreksi politik sebagaimana kewenangan parlemen melalui mekanisme pansus atau hak menyampaikan pendapat yang kerap dianggap kental dengan muatan politisnya, koreksi KPK langsung pada jantung persoalan, yakni masalah hukum.
Dengan posisi KPK yang kian membawa implikasi politik luas, tak mengherankan jika penahanan para tersangka, baik mantan anggota DPR maupun anggota DPR yang masih aktif akan menjadi pemicu yang langsung bagi perlawanan politik terhadap KPK. Karena itu, perlu diwaspadai upaya-upaya yang lebih sistematis untuk mengerdilkan posisi KPK, terutama dengan memangkas wewenang hukum yang dimilikinya di masa depan.
Selain itu, apa yang dilakukan KPK telah meruntuhkan mitos-mitos lama yang sudah dipercaya masyarakat, bahwa para politikus Senayan, apalagi posisinya sebagai politikus senior, tidak dapat disentuh hukum. Penahanan Panda Nababan, politikus senior PDI Perjuangan, dan Paskah Suzetta, politikus berpengaruh di Golkar, kian memberikan bukti, sekaligus harapan baru bagi terbangunnya praktik rule of law yang hakiki. Artinya, siapa pun yang dianggap bersalah karena terlibat masalah pidana (korupsi), hukum harus ditegakkan kepada mereka tanpa pandang bulu. (*)
Adnan Topan Husodo, wakil Koordinator ICW.
Tulisan ini disalin dari Radar Yogya, 4 Februari 2011