Ruki Tolak Pimpin KPK Lagi; Seleksi Ketua Baru Dimulai Mei
Masa kepemimpinan lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berakhir Desember mendatang. Ketua KPK Taufiequrachman Ruki menyatakan menolak untuk dicalonkan kembali sebagai pimpinan KPK.
KPK butuh penyegaran, ujarnya dalam diskusi bertajuk Tegakkan Hukum dan Pemberantasan Korupsi di Hotel Sultan kemarin. Pria kelahiran Rangkasbitung, Banten, itu mengungkapkan, pimpinan KPK yang saat ini dipegangnya bersama empat wakil ketua, Tumpak Hatorangan Panggabean, Sjahruddin Rasul, Erry Riyana Hardjapamekas, dan Amin Sunaryadi, cukup berkerja bersama satu periode saja. Soal nanti ada pimpinan KPK lain yang kembali dicalonkan, itu masalah lain.
Ruki menegaskan, yang paling penting dalam kepemimpinan KPK bukanlah figur, tapi sistem. Siapa pun figur yang memimpin tidak masalah, yang penting sistemnya kuat, tambahnya.
Untuk itulah, sejak awal KPK berdiri dirancang bahwa kepemimpinan lembaga antikorupsi itu bersifat kolektif. Meski ada jabatan ketua dan wakil ketua, kedudukan lima pimpinan KPK setara.
Kalau saya tanda tangan suatu dokumen, di bawah tanda tangan saya ada tanda tangan empat orang pimpinan lainnya. Jadi, semua keputusan bersifat kolektif, tambah Ruki.
Ruki, mantan polisi/anggota DPR, terpilih menjadi ketua KPK pada 17 Desember 2003. Dia terpilih melalui mekanisme pemungutan suara usai uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan Komisi II DPR.
Saat itu, Ruki menyisihkan Amien Sunaryadi, mantan BPKP/Masyarakat Transparansi Indonesia; Sjahruddin Rasul, mantan Deputi BPKP; Tumpak Hatorangan Panggabean, mantan jaksa; dan Erry Riyana Hardjapamekas, mantan Dirut PT Timah.
Soal pengganti, tambah Ruki, paling tidak ada dua kriteria yang harus dimiliki. Yaitu, punya kemampuan untuk bekerja sama serta punya integritas dan komitmen kuat terhadap pemberantasan korupsi. Selain itu, pimpinan KPK harus diduduki orang-orang yang berani dan terbuka untuk mengkritisi sistem pemberantasan korupsi yang telah ada.
Untuk memilih jajaran pimpinan KPK yang baik, mantan Kapolwil Malang itu berpendapat bahwa itu bergantung kepada kerja tim seleksi. Karena perannya yang signifikan dalam memilih calon pimpinan KPK, panitia seleksi harus bekerja dengan benar. Kalau panitianya lembek seperti rempeyek, hasilnya paling kedelai, ujarnya, lantas tertawa.
Senada dengan Ruki, anggota Dewan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua mengatakan, profesionalitas dan integritas calon pimpinan KPK adalah poin yang paling penting dalam rekrutmen. Selain itu, pimpinan yang baru harus membuat terobosan baru dan belajar dari kerja KPK sebelumnya. Orientasinya tetap sistemik, bukan figur, ujarnya kepada Jawa Pos kemarin.
Proses rekrutmen pimpinan KPK bakal dimulai Mei 2007 dengan pembentukan panitia seleksi. Berbeda dengan pemilihan pimpinan KPK sebelumnya yang dikoordinasikan Depkum HAM, proses seleksi tahun ini bakal dikoordinasi Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Hal tersebut dibenarkan juru bicara Kementerian PAN Bambang Anom. Ya, tapi soal teknisnya belum bisa saya beberkan, ujarnya.
Soal seleksi pimpinan KPK sempat menjadi polemik. Menurut Abdullah Hehamahua, meski hal itu merupakan hak prerogratif presiden, keputusan untuk mengganti koordinator seleksi dari DepkumHAM adalah langkah tepat. Dikhawatirkan ada conflict of interest jika Depkum HAM yang melaksanakan seleksi, ujarnya.
Sebab, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin sempat dikaitkan dengan kasus yang ditangani KPK, yakni kasus dugaan korupsi pengadaan segel sampul surat suara Komisi Pemilihan Umum (KPU). Apalagi, seleksi Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) juga dilakukan Kementerian PAN. (ein)
Sumber: Jawa Pos, 23 April 2007