Ruang Gelap Pendanaan Partai
Nyanyian Nazarudin yang kemudian diamini oleh supir sekaligus asisten pribadinya tentang gelontoran uang bernilai puluhan miliar rupiah dalam Kongres Partai Demokrat untuk memenangkan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Demokrat terasa kian menyengat elit Demokrat, khususnya kelompok Anas cs yang baru seumur jagung berkuasa. Sebelumnya, Nazarudin juga menyerang beberapa politisi Demokrat telah terlibat dalam dugaan korupsi proyek pembangunan Wisma Atlet Sea Games, Palembang.
Apa yang melilit Nazarudin, sekaligus testimoninya atas berbagai macam skandal di tubuh partai Demokrat sebenarnya merupakan bentuk konfirmasi atas dugaan praktek kejahatan yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas partai politik, khususnya dalam konteks pendanaan politik. Artinya, kasus dugaan suap dalam kegiatan politik partai sekaligus bagaimana selama ini partai mengoleksi dana merupakan gejala umum yang terjadi di semua partai politik berkuasa.
Bisa dikatakan, korupsi di internal partai politik merupakan pendorong utama dari maraknya praktek kejahatan korupsi yang melibatkan kader partai yang duduk di jabatan politis. Hal ini memang tak bisa dihindari karena partai politik di Indonesia tidak memiliki tradisi menerima donasi dari konstituen, demikian pula konstituen tidak memiliki ikatan kuat dengan partainya sehingga tidak ada kebiasaan untuk menyumbang partai.
Mahalnya Biaya Politik
Sementara itu, struktur partai politik yang kompleks, bahkan hingga ke ranting membawa konsekuensi pada besarnya ongkos untuk menggerakkannya. Di sisi lain, kompetisi politik, baik di internal partai maupun dalam pemilu membutuhkan biaya politik yang semakin besar, ditengah iklim kompetisi politik yang sangat dipengaruhi oleh suap-menyuap.
Walhasil, posisi strategis di departemen maupun lembaga pemerintahan akan selalu menjadi perebutan sengit antar partai karena disana, sumber daya finansial menggunung. Bahkan sampai-sampai seorang Presiden sekalipun, meski memiliki hak prerogatif untuk memilih pembantunya di kabinet harus melakukan kompromi (baca: kalah) karena kuatnya tekanan dari partai politik, terutama yang menyokong kekuasaan Presiden.
Jika kemudian ada menteri yang terjerat kasus korupsi, atau anggota DPR yang terlibat permainan proyek, hal itu adalah bagian dari jalan (elit) partai untuk mendapatkan pendanaan utama, selain kucuran dana dari segelintir pengusaha, baik karena melekat jabatan didalamnya sebagai elit partai, maupun yang diperoleh melalui jalan memeras.
Buruk Akuntabilitas
Karena sumber pendanaan utama partai politik sebagian besar diperoleh dari jalur ilegal, maka sulit untuk meminta partai politik transparan dan akuntabel dalam administrasi pelaporan keuangannya. Uji coba permintaan informasi publik yang tengah dilakukan ICW terhadap 9 partai politik berkuasa hingga hari ini tidak mendapatkan respon sama sekali. Padahal, yang diminta oleh ICW hanyalah laporan keuangan partai politik atas penerimaan dan penggunaan dana APBN yang didapatnya dari perhitungan peroleh kursi di DPR RI.
Tentu pertanyaannya, bagaimana dengan penerimaan dan pengeluaran aktual partai politik selama satu tahun yang disokong dari sumber non-APBN? Sementara itu, merujuk pada UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, dalam pasal 39 ayat 1 dan 2 ditegaskan adanya kewajiban bagi partai untuk mengelola keuangannya secara akuntabel. Akuntabilitas itu ditunjukkan dengan adanya kewajiban audit yang dilakukan oleh kantor akuntan publik dan kewajiban untuk mengumumkan hasil audit itu kepada publik.
Buruknya administrasi keuangan partai politik juga disebabkan oleh tiadanya sumber daya manusia profesional yang memadai. Partai politik acapkali lebih memilih menempatkan seseorang sebagai bendahara umum dari latar belakang pengusaha maupun orang tertentu yang lihai dalam melobi proyek karena posisi bendahara umum juga adalah ex-officio sebagai kasir politik.
Jika kembali menengok kasus Nazarudin, seorang bendahara umum sekaligus pemilik ratusan perusahaan, dengan puluhan proyek yang dimainkannya di berbagai departemen, dan caranya membiayai kegiatan politik, begitulah bendahara umum mengemban misi rahasia partai. Tak heran jika Nazarudin juga memiliki begitu banyak informasi mengenai kebobrokan partai, yang sangat mungkin masih akan dilepaskan ke publik pada waktu mendatang.
Padahal logikanya, bendahara umum partai politik seharusnya adalah jabatan profesional yang memiliki keahlian khusus dalam bidang akuntansi, khususnya akuntansi lembaga publik seperti partai politik. Hal itu karena seorang bendahara partai harus melakukan setidaknya dua pencatatan dan pelaporan keuangan, yakni keuangan tahunan partai politik dan keuangan kampanye yang bersifat sementara (ad-hoc).
Mandat UU Partai Politik No 2 Tahun 2011, terutama pasal 39 ayat 3 mensyaratkan laporan keuangan partai terdiri atas laporan realisasi anggaran partai, laporan neraca dan laporan arus kas. Tentu saja mustahil seorang bendahara umum partai dapat menyajikan laporan keuangan yang baik sebagaimana tuntutan UU jika orang yang dipercaya menjadi bendahara umum tidak mengenal sama sekali seluk-beluk ilmu akuntansi.
Sayangnya, penyakit dari peraturan kita adalah selalu buruk dalam penegakannya. Lemahnya penegakan hukum peraturan telah melanggengkan ruang gelap praktek pendanaan partai politik. Orang-orang seperti Nazarudin ada di berbagai partai politik, mereka akan selalu dipelihara dan barangkali dengan cepat Demokrat akan menunjuk pengganti Nazarudin. Namun demikian, hal itu tidak menjamin bahwa perilaku seperti Nazarudin akan berhenti. Selama ada tuntutan dari partai politik untuk menciptakan kasir politik, maka reformasi pendanaan partai sulit untuk diwujudkan.
Oleh: Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator ICW
Tulisan ini disalin dari Kompas, 6 Agustus 2011