R/SBI Keliru Secara Konseptual

Pendirian sekolah-sekolah R/SBI yang merupakan implementasi pasal 50 ayat 3 UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dinilai salah sejak dalam konsep. Diperlukan peninjauan aplikasi dan secara komprehensif dan menyeluruh.

Konselor R/SBI yang juga aktivis Ikatan Guru Indonesia (IGI) Itje Chodijah mengatakan, proses dari implementasi UU Sisdiknas pasal 50 ayat 3 adalah proses panjang berliku dan menanjak. Namun yang terjadi kemudian adalah, pemerintah sebagai pihak yang diamanati untuk menyelenggarakan fasilitas pendidikan cenderung mensimplifikasi implementasinya dengan mendirikan sekolah-sekolah berlabel internasional.

Konsep implementasi itu dinilai tidak tepat. Sebab, kondisi saat ini pendidikan belum menjangkau seluruh warga Indonesia.

"Faktanya, lebih banyak mana anak-anak cerdas yang akan lebih cerdas dengan fasilitas memadai dibandingkan mereka yang cerdas tapi terbunuh kecerdasannya karena berbagai alasan, geografis, ekonomi, akses, dan lainnya," tutur Itje kepada Majelis Konstitusi dalam sidang lanjutan judicial review pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas di ruang pleno Mahkamah Konstitusi, Rabu (2/4/2012).

Itje menambahkan, saat ini belum seluruh anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) mendapatkan akses untuk mendapat pendidikan dasar. Kualitas pendidikan ppun masih belum merata. Pemerintah semestinya tidak semakin memperlebar jurang itu dengan mengistimewakan sejumlah sekolah tertentu dengan mengabaikan sekolah lainnya.

Pengklasifikasian sekolah khusus untuk anak berprestasi dinilai telah melanggar hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.

Sekolah R/SBI yang hanya menampung siswa berprestasi tanpa mengakomodasi siswa berkemampuan rendah dinilai tidak sesuai dengan psikologi pendidikan. Pengajar teori psikologi pendidikan Universitas Indonesia, Bagus Takwin, mengatakan, siswa justru akan lebih mendapat manfaat ketika belajar dalam kelompok yang heterogen.

"Dalam literatur psikologi pendidikan kontemporer, meningkatkan kemampuan siswa dapat dilakukan dari interaksi sosial antara kelompok yang lebih pintar dan yang siswa dengan kemampuan lebih rendah. Para siswa belajar dari interaksi sosial itu. Yg pintar mengajarkan, sehingga lebih banyak berlatih, dan kelompok yang lebih rendah kemampuannya akan mendapat manfaat dari pengajaran oleh rekan-rekannya," terang Bagus.

"Jadi, secara konsep bermasalah, apalagi implementasinya," tegas Itje. Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan