RSBI Harus Dihapus Karena Ingkari Kesamaan Akses Terhadap Pendidikan

Pernyataan Pers
Jelang Putusan Permohonan Uji UU Sisdiknas [RSBI]

Jakarta – Mahkamah Konstitusi akan memutus Pengujian UU Sisdiknas [RSBI], Perkara Nomor 5/PUU-X/2012 pada Selasa, 8 Januari 2013, pukul 14.00 wib. Kami Para Pemohon mengharapkan Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional [Sisdiknas] yang menjadi dasar hukum RSBI, sehingga ini menjadi hadiah tahun baru terindah bagi masyarakat Indonesia.

Jika Pasal tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi, 1.300an sekolah RSBI kembali statusnya menjadi sekolah reguler, segala kebijakan yang melegalkan pungutan bagi RSBI dan pengkhususan pendanaan yang diberikan Kemendiknas terhadap sekolah-sekolah yang sebetulnya sudah “unggulan” tak lagi berlaku. Sehingga tak ada lagi privilege pada sekolah tertentu, di mana peserta didiknya pun terbatas.

Setelah 8 kali persidangan sepanjang Januari s.d Mei 2012, kami menyimpulkan bahwa keberadaan RSBI/SBI merupakan bentuk kesalahan dan kekeliruan Pemerintah dalam menjabarkan makna amanat Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara norma dan implementasi, kami berpendapat bahwa RSBI/SBI memang bermasalah dan harus dihapuskan karena telah mengakibatkan kerugian konstitusional bagi Para Pemohon dan banyak warga negara Indonesia.

Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas berbunyi “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.

Keberadaan RSBI/SBI yang mendasarkan seleksi pada intelektual dan keuangan calon peserta didik, adalah bentuk tindakan penggolongan atau pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara berdasarkan status sosial dan status ekonomi. Sehingga keberadaan RSBI/SBI merupakan bentuk kebijakan diskriminatif dari Negara yang dilegalkan melalui Undang-undang. Hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, UU HAM bahkan UU Sisdiknas sendiri. Selain itu juga bertentangan dengan Kovenan Internasional Hak Sipol, Kovenan Internasional Hak Ekosob serta Konvensi UNESCO menentang Diskriminasi dalam Pendidikan (1960).

Kebijakan diskriminatif tersebut selanjutnya dilakukan Kemendiknas dengan menggelontorkan dana dalam jumlah yang signifikan kepada sekolah-sekolah yang sesungguhnya sejak awal memang “sekolah unggulan”, ketimbang mengalokasikan dana secara khusus ke sekolah-sekolah terbelakang. Ini berarti semakin tinggi standar kualitas suatu sekolah, semakin besar pula peluang sekolah itu mendapatkan privilege dana khusus dari pemerintah, maupun dari masyarakat (melalui pungutan), serta semakin tinggi pula kesempatannya untuk menjadi sekolah yang lebih bermutu lagi. Sebaliknya bagi sekolah-sekolah non RSBI/SBI justru akan makin tertinggal, karena tidak mendapat dukungan dana yang signifikan dari pemerintah dan ada larangan melakukan pungutan. Bukankah justru sekolah-sekolah terbelakang-lah yang perlu mendapatkan dana khusus dalam jumlah lebih besar agar dapat mengejar ketertinggalannya? Ini artinya pendidikan bermutu, disadari atau tidak, hanya dapat dinikmati oleh sekelompok kecil warga negara tertentu, yang itu terpusat di kota-kota besar.

Pendidikan ditetapkan konstitusi dan konsensus nasional sebagai salah satu jalur pemerataan, peningkatan akal budi warga kita, jadi menerapkan asas egaliter dalam pelaksanaannya. Sedangkan melalui aneka keistimewaan yang ditopang oleh aneka jenis pendanaan (yang sudah mulai dipertanyakan efektivitas dan penggunaannya), RSBI/SBI dengan sengaja menimbulkan pengkastaan di kalangan warga yang justru mau dihapus oleh revolusi kemerdekaan nasional.

RSBI/SBI didasari oleh filosofi eksistensialisme dan esensialisme, yang berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin. Sementara filosofi esensialisme menekankan pada pendidikan yang berfungsi dan relevan dengan kebutuhan, baik individu, keluarga, masyarakat, baik lokal, nasional, dan internasional. Padahal, falsafah sistem pendidikan nasional Indonesia adalah Pancasila, dan pendidikan nasional ditujukan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab harus selalu berdasarkan pada pandangan hidup bangsa Indonesia.

Oleh karenanya, kami berharap Mahkamah Konstitusi dapat obyektif melihat persoalan RSBI/SBI, yang merupakan persoalan penting bagi masyarakat luas dalam mengakses pendidikan, karena Pendidikan merupakan prasyarat bagi pelaksanaan hak asasi manusia. Sehingga dengan alasan yang tak terbantahkan lagi, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas, karena nyata-nyata telah bertentangan dengan Pembukaan, Pasal 28C ayat (1); Pasal 28E ayat (1); Pasal 28I ayat (2); Pasal 31 ayat (1); Pasal 31 ayat (2); Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 36 UUD 1945.

Jakarta, 6 Januari 2013
Tim Advokasi “Anti Komersialisasi Pendidikan”
Kuasa Hukum Para Pemohon

Wahyu Wagiman, SH                                    Andi Muttaqien, SH

Kontak:
Kuasa Hukum Para Pemohon
Wahyu Wagiman:             085218664128
Andi Muttaqien:               08121996984

Perwakilan Para Pemohon
Milang Tauhida:               08128688015
Lody F. Pa’at:                    0818710505
Febri Hendri:                   087877681261

Ahli dari Pemohon
Itje Chodidjah:                 0816703879
Bagus Takwin:                  08176796452
Darmaningtyas:               081511633732

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan