RPP Penyadapan; Hakim Konstitusi Minta Permohonan Dipertajam

Kewenangan pemerintah membuat Peraturan Pemerintah tentang Penyadapan dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi. Dua advokat dan seorang peneliti meminta MK membatalkan Pasal 31 Ayat (4) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Namun, dalam sidang perdananya, Selasa (9/2), majelis panel MK yang dipimpin Arsyad Sanusi meminta para pemohon memperjelas konstruksi permohonan dan mempertajam kerugian konstitusional yang berpotensi dialami jika PP tersebut benar-benar diberlakukan.

Permohonan itu diajukan oleh Anggara dan Supriyadi Widodo (keduanya advokat), serta Wahyudi Djafar (peneliti Demos). Mereka mendalilkan Pasal 31 Ayat (4) UU Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan konstitusi. Alasannya, pengaturan tentang tata cara intersepsi dalam bentuk PP tidak sesuai dengan perlindungan hak asasi pemohon.

Penyadapan oleh aparat hukum atau institusi resmi negara tetap merupakan praktik invasi atas hak-hak privasi warga negaranya. Penyadapan juga memiliki kecenderungan berbahaya bagi HAM jika pengaturannya lemah. Oleh karena itu, sangat wajar dan patut jika negara ingin melakukan penyadapan, harus dilakukan atas dasar UU, bukan PP, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945.

Terkait permohonan itu, hakim konstitusi Achmad Sodiki mempertanyakan bentuk pengujian yang dimintakan pemohon. Menurut dia, keberatan para pemohon sebenarnya bukan pada substansi UU terkait pengurangan kebebasan warga negara, tetapi dalam bentuk pengaturannya. Pemohon mendalilkan seharusnya bukan PP, tetapi UU.

”Ini, kan, pengujian formil karena melihat dari sisi bentuknya. Memang isi Pasal 31 Ayat (4) adalah PP. Bagaimana Anda memformulasikan ini? Kalau dalam bentuk UU, Anda sebagai warga negara masih diberikan kesempatan untuk berpartisipasi, tetapi jikalau dalam bentuk PP itu dinilai sepihak karena hanya dari pemerintah saja. Anda harus lebih tajam melihatnya,” ujar Sodiki.

Sementara itu, Arsyad Sanusi meminta pemohon untuk mempertajam kerugian konstitusional yang diderita jika pengaturan intersepsi penyadapan dilakukan dengan PP. ”Kerugian spesifiknya apa?” kata Arsyad.

Terkait hal itu, salah satu kuasa hukum pemohon, Totok Yuli Yanto, mengatakan, kerugian itu jelas dirasakan pemohon ketika menjalankan profesinya. Misalnya, pemohon yang merupakan advokat berkepentingan dalam hubungannya dengan klien dan peneliti dalam rangka mencari sumber data. (ANA)

Sumber: Kompas, 10 Februari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan