Royalti Pertambangan Rendah dan Birokrasi yang Lemah

Dengan atau tanpa beroperasinya pertambangan, masyarakat Indonesia masih tetap hidup dalam kemiskinan. Lihat saja betapa warga pedesaan di Blora, Jawa Tengah, banyak yang hidup pas-pasan meski pertambangan minyak beroperasi sejak zaman Hindia-Belanda.

Daerah asal penulis Pramoedya Ananta Toer itu merupakan salah satu basis kemiskinan dan gerakan ”merah” pada masa Orde Lama. Berada di antara pusat perminyakan dan industri kayu jati, warga pedesaan Blora toh tetap hidup miskin.

Kondisi serupa terlihat di daerah Babelan, Bekasi, Jawa Barat. Masyarakat Tionghoa peranakan dan Betawi sama-sama hidup marjinal di daerah yang kini menjadi salah satu sentra produksi migas. ”Jalanan hancur di daerah Babelan. Masyarakat Tionghoa dan Betawi kebanyakan masih bertani dan jadi kuli meski sudah satu dasawarsa lebih perusahaan minyak beroperasi di sana,” kata Oei Cin Eng, seorang aktivis budaya China Benteng asal Tangerang.

Lebih miris lagi situasi di daerah Balongan, Indramayu, pendidikan generasi muda di sana tergolong rendah. Bahkan, banyak perempuan muda yang akhirnya terjerat ke dunia prostitusi di Jakarta.

Setali tiga uang adalah kondisi di sekitar Timika, Kabupaten Mimika. Bupati Mimika Klemen Tinal mengeluhkan minimnya kontribusi perusahaan pertambangan PT Freeport bagi kehidupan masyarakat.

”Masyarakat yang masih hidup tradisional dan menggunakan Sungai Aikwa sebagai sarana transportasi semakin dirugikan dengan pembuangan tailing ke sungai. Terjadi pendangkalan yang sering membuat masyarakat tidak bisa bepergian mengarungi sungai,” kata Klemen yang pernah berkuliah di Universitas Parahyangan, Bandung.

Pertambangan terus beroperasi. Hasil tambang yang melimpah tidak meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pada tahun 1970-an terjadi skandal besar kasus korupsi perusahaan pertambangan nasional yang disidangkan di Singapura. Mantan pejabat Republik Indonesia menikmati uang korupsi jutaan dollar AS yang disimpan di bank asing. Janda dari pejabat tersebut berusaha mengklaim uang jutaan dollar AS yang didapatkan dengan cara tidak pantas itu.

Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) mengkritik rendahnya bagi hasil pertambangan yang diterima Indonesia. Semisal dalam kasus PT Freeport, IHCS mencatat, pemerintah hanya menerima 1 persen royalti. Padahal, setiap hari ditambang 300 kilogram emas dari 238.000 ton material yang digali dari tambang Grasberg.

Solusi sementara
Terhadap ketimpangan atas perikehidupan rakyat di sekitar daerah pertambangan, PT Freeport yang kerap menjadi sasaran kritik tajam mengaku terus melakukan perbaikan untuk membantu taraf hidup rakyat setempat.

”Saat ini sudah ada 30 persen tenaga kerja lokal asli Papua. Pekerja asing kurang dari 2 persen. Selebihnya pekerja asal Indonesia dari luar Papua,” kata Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Armando Mahler.

Beberapa putra asli Papua kini tercatat menduduki jabatan manajerial, bahkan mencapai tingkat direksi di PT Freeport Indonesia.

Juru Bicara PT Freeport Indonesia Ramdani Sirait menjelaskan, pihaknya membangun akademi pertambangan untuk menampung putra-putri Papua.

Persiapan sumber daya manusia dimulai sejak dini. Disiapkan pula asrama bagi pelajar asli suku Kamoro dan Amungme. Beasiswa disediakan agar mereka dapat menuntaskan pendidikan dasar dan tentu saja melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

”Kami juga bersama masyarakat mengembangkan perkebunan kopi. Perusahaan waralaba minuman kopi seperti Starbucks sudah berminat membeli kopi Amungme. Mereka meminta kepastian jumlah pasokan dan kualitas,” ujar Sirait.

Upaya perbaikan lain adalah memberdayakan lahan bekas tailing sebagai kebun. Penghijauan itu dilakukan di Kilometer 21. Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri pernah menanam pohon di lokasi itu dan kini mulai tumbuh besar.

Patut disayangkan, sebagian besar upaya perbaikan di sekitar pertambangan lebih mengandalkan bantuan perusahaan belaka. Pemerintah pusat dan daerah yang mengelola bagi hasil pertambangan terlihat kurang berinisiatif membangun daerahnya.

Sebagai contoh adalah kota Timika yang minim fasilitas dasar, seperti penerangan jalan dan taman kota. Anggota Komisi VII DPR, Halim Kalla, mengakui, penerimaan pajak dan nonpajak dari pertambangan harus jelas jumlahnya dan penggunaannya.

”Kalau di luar negeri, kita tahu berapa pajak dibayar dan untuk apa alokasinya,” kata Halim Kalla. (Iwan Santosa)
Sumber: Kompas, 16 November 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan