Roy Suryo Ringankan Terdakwa

Keterangan meringankan kembali muncul dalam lanjutan sidang kasus korupsi biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) Depkum HAM. Kali ini, sidang menghadirkan saksi meringankan yang diajukan kuasa hukum terdakwa Romli Atmasasmita.Salah seorang saksi yang dihadirkan adalah pengamat telematika Roy Suryo. Menurut kuasa hukum terdakwa, Roy Suryo dihadirkan untuk menjelaskan penggunaan domain dotcom dalam layanan Sisminbakum. ''Jaksa me­nyebut penggunaan domain dotcom salah. Nah, nanti biar dijelaskan Pak Roy,'' kata Juniver Girsang di PN Jakarta Selatan kemarin (5/8).

Dalam keterangannya, Roy Suryo mengatakan, penggunaan domain dotcom dalam Sisminbakum dianggap sebagai sesuatu yang sah. Alasannya, sejak diberlakukan pada 2001, tidak ada peraturan yang mewajibkan adanya penggunaan domain tersebut. Menurut dia, penggunaan itu bisa terjadi karena kerja sama antara swasta dan negara.

Domain dotcom, lanjut dia, digunakan untuk mempermudah penggunaannya. Sebab, di kalangan pengguna internet, hal itu sudah cukup familier.

Keterangan Roy itu berbeda dengan Edmon Makarim, saksi ahli yang dihadirkan jaksa penuntut umum sebelumnya. Ahli hukum telematika UI itu mempersoalkan penggunaan domain dotcom dalam situs Sisminbakum. Sebagai layanan pemerintah, seharusnya alamat layanan itu adalah sisminbakum.go.id. ''Itu di luar etika. Saya belum menemukan (selain Sisminbakum),'' katanya.

Seperti diberitakan, layanan Sisminbakum merupakan layanan pemberian status badan hukum melalui situs www.sisminbakum.com. Layanan tersebut dinilai bermasalah karena adanya pungutan dengan dalih biaya akses terhadap notaris. Pungutannya mencapai Rp 1,3 juta, sementara yang termasuk PNBP hanya Rp 200 ribu. Sejak berlaku pada 2001 hingga November 2008, hasil pungutan mencapai Rp 410 miliar. (fal/iro)

Sumber: Jawa Pos, 6 Agustus 2009

--------------------

Saksi Ahli: Sisminbakum Tanggung Jawab Menteri

HUBUNGAN kewenangan antara seorang menteri dengan direktur jenderal (dirjen) yang menjadi bawahannya merupakan hubungan mandat, bukan delegasi. Dengan begitu, tanggung jawab berada di tangan menteri sebagai pemberi mandat.

Demikian disampaikan ahli hukum tata negara Universitas Airlangga, Surabaya, Philipus H John saat bersaksi pada sidang dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (sisminbakum) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (5/8). Philipus merupakan saksi ahli a de charge atau saksi meringankan yang dihadirkan penasihat hukum terdakwa Romli Atmasasmita, mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU).

"Hubungan kewenangan menteri dan dirjen adalah hubungan mandat. Bukan delegasi. Dengan begitu, mengenai tanggung jawab di tangan si pemberi mandat. Kalau delegasi tanggung jawab beralih (ke penerima delegasi)," ujar Philipus di hadapan majelis hakim yang diketuai Ahmad Yusak.

Berdasarkan fakta sidang sebelumnya, pemberlakuan Sisminbakum didasarkan pada beberapa surat yang dikeluarkan, diketahui, dan ditandatangani Yusril Ihza Mahendra. Yakni, Surat Keputusan (SK) Menkeh HAM tertanggal 4 Oktober 2000 tentang Pemberlakuan Sisminbakum di Ditjen AHU Depkeh HAM dan SK tanggal 10 Oktober 2000 tentang Penunjukan Pengelola dan Pelaksana Sisminbakum.

Menurut Romli dalam eksepsinya beberapa waktu lalu, isi dua surat tersebut antara lain menunjuk Koperasi Pegawai Pengayoman Departemen Kehakiman dan PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) sebagai pengelola Sisminbakum. Surat ini ditandatangani Yusril selaku Pembina Utama Koperasi.

Lainnya, Surat Perjanjian Kerja Sama Koperasi dengan PT SRD, 8 November 2000. Surat yang antara lain mengatur tentang tarif biaya akses Sisminbakum dan pembagian hak atas uang biaya akses yang diterima tersebut ditandatangani Ketua Koperasi Ali Amran Djanah, Direktur Utama PT SRD Yohanes Waworuntu, dan Yusril. Juga, SK Menkeh HAM 31 Januari 2001 yang juga ditandatangani Yusril.

Romli sebagai Dirjen AHU sempat mengeluarkan surat edaran 8 Februari 2001 tentang Pelaksanaan Teknis Sisminbakum Ditjen AHU. Isi surat itu antara lain, permohonan pengesahan melalui Sisminbakum diberlakukan tarif biaya akses sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian kerjasama antara Koperasi dan PT SRD.

"Hukum kita belum mengatur soal surat edaran. Kalau saya bandingkan dengan Belanda, itu termasuk aturan kebijakan. Artinya, bukan aturan yang mengikat umum. Hanya petunjuk teknis. Tapi surat edaran harus ada yang melandasi, baru bisa keluar," kata Philipus, saat dimintai pendapatnya soal status hukum sebuah surat edaran yang dikeluarkan seorang dirjen.[by : Abdul Razak]

Sumber: Jurnal Nasional,6 Agustus 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan