Roy
Wednesday, 01 March 2017 - 00:00
Di samping sebuah pos keamanan, Roy, bukan nama sebenarnya, menjajakan kembang tahu. Sungguhlah bukan tugas yang ringan. Di tengah kencangnya arus persaingan ibu kota, ia mesti berkompetisi dengan penjual bakso di sebelahnya.
Sesekali, bocah sepulang sekolah menghampiri. Namun begitulah hidup: naas tak pernah bisa ditolak. Usai menengok isi gerobak bawaannya, para bocah lebih memilih bakso tusuk dibanding tahu dagangannya yang lembut.
Sembari melirik ibu-ibu pengantar sang anak yang menuruti keinginan buah hatinya, ia terlihat pasrah. Padahal saya yakin betul, dalam hatinya, sumpah serapah terhadap sang bocah diucapkan berkali-kali olehnya. Musabab itu, saya pun penasaran dengan dirinya.
“Dagangan laku bang?”
“Gini-gini aja dari tadi”
“Jualan kok kembang tahu”
“Abisan mau jual apa lagi”
“Jualan bakso aja”
“Ga mau ah"
“Napa emang?”
“Ntar ribut sama orang sebelah”
“Jualan udah lama?”
“Wih jangan salah, dari tahun 93”
“Emang sekarang umur berapa?”
“39”
“Lebih tua dari Agus Yudhoyono dong?”
“Hehe..” (tersipu malu)
“Kenapa ga jadi cagub aja?”
“Hehe..” (ketawa lagi)
“Punya istri berapa bang?”
“Satu aja, ngapain banyak-banyak.”
“Rumah?”
“Ini aja nebeng sama bos”
Merasa kecewa dan tak lagi penasaran. Saya pun loncat ke akar persoalan.
“Tinggal di mana bang?”
“Sono, di Pasar Minggu”
“Banyak maling ya?”
“Banyak banget, tuh di deket rumah saya ban mobil ilang,”
“Ban mobil?”
“Iye, malemnya mobil parkir depan rumah. Paginya semua ban wassalam,”
“Sering tuh?”
“Sering banget. Dua minggu, tiga mobil semua ban dicuri semua”
“Yang ilang ban doang kan?”
“Kaga, minggu depannya mobil yang ilang,”
“Terus malingnya ke mana?”
“Ga ketangkep, kabur”
“Kenapa ga jadi maling aja bang?”
“…….” (tidak menjawab)
Pembicaraan sesekali berhenti. Kunjungan segerombol Ibu-Ibu membuat wajahnya sumringah. Tiga porsi lebih kembang tahu dipesan oleh para merpati perumahan setempat. Dengan sigap, ia menyajikan pesanan kembang tahu ke dalam plastik bening. Di akhir, plastik bening dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam.
“Kaya bungkus anggur merah bang,”
“Hehe”
“Bikin kembang tahu, pake alkohol juga ga bang?”
“Ya kaga”
“Bedanya maling sama koruptor apa bang?”
“Ya sama-sama aja,”
“Maksudnya?”
“Ya sama-sama aja, sekarang siapa sih yang ga nyuri, semua juga pernah nyuri,”
“…..” (makin bingung)
“Pilkada kemaren, nyoblos siapa?”
“Ga nyoblos, bukan KTP sini”
“Kalo bisa nyoblos pilih siapa?”
“Ga tau”
“Judi aja bang, taruhan siapa yang menang”
“Siapa emang yang nanti menang?”
“Mana saya tau”
“Nah”
“Pilih yang ga korupsi aja bang”
“Ada emang?”
“Ga tau” (Ikutan bingung)
“Nah kan” (Merasa menang)
“Emang pada korupsi bang?”
“Semuanya pasti. Dikit-dikit. Pada ga ketauan aja. Ya kan?”
“Kaga tau bang”
“Enak kan jadi koruptor. Kalo jadi maling, ketauan, dipukulin.”
“Koruptor diapain?”
“Didiemin”
“Gitu ya?”
“Iya”
“Jadi mendingan jadi koruptor apa jadi maling?”
“Mendingan jadi orang bener”
Jawaban memukau itu menjadi pamungkas percakapan. Pada momen itu pula saya mendapat pemahaman, di balik rasa kembang tahu dagangannya yang tidak enak, hatinya lebih mulia dibanding Patrialis Akbar. Gerimis pun turun. Saya membayar, dia pergi.
Jakarta, 16 Februari 2017
Egi Primayogha
*Melawan Korupsi Melalui Tulisan*
Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Tanggal 8 sampai 9 Februari 2017 sepuluh (10) orang anggota Indonesia Corruption Watch (ICW) dan dua (2) orang Truth Banten mengikuti pelatihan menulis kreatif bersama Bang P Hasudungan Sirait. Dalam pelatihan ini banyak hal yang kami dapatkan. Bagaimana cara menulis dengan cepat, memaksimalkan otak kanan dan menggali sumur ingatan yang ada di kepala kita. Maka, salah satu tindak lanjut dari pelatihan menulis ini, kami membuat tulisan pendek seputar gerakan antikorupsi. Ada dua belas (12) tema yang diambil dan setiap orang akan mendapatkan satu (1) tema. Setiap tulisan akan posting di page ICW setiap minggunya. Semoga tulisan yang kami sajikan akan memberikan manfaat dan sedikit gambaran tentang gerakan antikorupsi. Salam antikorupsi!