Romli: Putusan MK mengenai UU KPK Cacat Hukum
Koordinator Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi (Forum 2004), Prof Dr Romli Atmasasmita, menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materil UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cacat hukum. Sebab, kata Romli, MK hanya memahami undang-undang itu pasal per pasal, bukan menyeluruh dari pembukaan sampai penjelasan.
Oleh karena itu, lanjutnya, ketika Pembaruan temui sebelum mengikuti HUT I Forum 2004 di Jakarta, Kamis (17/2), KPK tidak perlu menghiraukan putusan MK itu. Dan lagi, jelas dia, putusan MK tersebut itu tidak berlaku surut.
Dalam sidang MK, Selasa (15/2) lalu, MK memutuskan menolak permohonan judicial review (uji materil) terhadap UU KPK. Namun di dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan bahwa KPK tidak berwenang mengambil alih perkara-perkara sebelum UU KPK diundangkan pada 27 Desember 2002.
Lebih lanjut komentar Romli, penilaian MK yang menyatakan bahwa pasal 68 ada kaitannya dengan pasal 70 dan 72 UU KPK, sehingga UU KPK tidak berlaku surut, merupakan pendapat yang salah. Menurut Romli, pasal 68 UU tersebut hanya mengatur soal peralihan perkara dari jaksa dan polisi ke KPK, karena polisi dan jaksa dianggap tidak efektif, bukan tidak berlaku surut.
Selain itu, kata Romli, putusan MK kelihatan tidak konsisten (kontraproduktif). Di satu sisi MK mengenyampingkan keterangan Prof Dr Indriyanto Seno Adji SH, yang dihadirkan sebagai saksi ahli, karena Indrianyo sebagai kuasa hukum Abdullah Puteh, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, terdakwa perkara korupsi. Namun di sisi lain MK mengambil pendapat Indriyanto untuk menjadi pertimbangan MK dalam menilai UU KPK. Menurut Indiryanto, UU KPK tidak berlaku surut.
Menurut Romli, implikasi penilaian MK terhadap UU KPK itu adalah, pertama, KPK dibatasi untuk tidak bisa menangani perkara-perkara sebelum undang-undang KPK diundangkan yakni 27 Desember 2002. Namun, saya tegaskan KPK tidak perlu mengindahkannya, kata dia. Kedua, penilaian MK bisa melemahkan semangat masyarakat untuk bersama-sama aparat pemerintah dalam memberantas korupsi. Ketiga, penilaian MK itu justru melindungi koruptor.
Hal senada dikatakan salah satu anggota Forum 2004, Adnan Buyung Nasution. Ia menandaskan, sembilan orang hakim di MK itu tidak mempunyai kemampuan untuk memahami UU KPK. Saya sesalkan putusan MK. Putusan itu menunjukan kemampuan mereka payah. Mereka juga tidak memahami filosofi lahirnya UU itu, kata dia.
Romli melanjutkan, dalam waktu dekat, Forum 2004 mendesak DPR dan pemerintah agar mengamendemen putusan MK itu.
Tetap Berwenang
KPK tetap berwenang menangani perkara korupsi masa lalu sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Sebab Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan sidangnya sama sekali tidak mengeluarkan putusan yang melarang KPK menangani kasus sebelum 27 Desember 2002.
Hal itu disampaikan Wakil Koordinator Indonesia Corruption watch (ICW), Danang Widmoko, dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Tumpak Hatorangan Panggabean, secara terpisah di Jakarta, Kamis (17/2).
Tumpak menjelaskan, dalam putusannya MK hanya menolak permohonan tersangka dugaan korupsi pembelian helikopter, Bram Manoppo, atas Pasal 68 UU KPK. Sebab KPK melakukan penyidikan terhadap Bram bukan berkaitan dengan Pasal 68, tetapi Pasal 59 UU KPK.
Sementara itu, Danang mengatakan, dalam salah satu pertimbangannya MK berpendapat Pasal 68 dalam UU KPK tidak mengandung asas retroaktif. (Pasal 68 menyatakan, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya KPK, dapat diambil alih oleh KPK berdasarkan ketentuan Pasal 9).
Dengan demikian, MK menilai kewenangan yang dimiliki oleh KPK berdasarkan Pasal 68 UU KPK adalah untuk kewenangan untuk meneruskan proses yang sebelumnya telah ada untuk melanjutkan proses tersebut. (Y-4/E-8)
Sumber: Suara Pembaruan, 18 Februari 2005