Romli Dihukum Dua Tahun Penjara

Romli Nilai Putusan Tidak Adil dan Dipaksakan

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Romli Atmasasmita dengan hukuman dua tahun penjara.

Guru besar hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, itu terbukti korupsi biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana yang ada sehingga merugikan keuangan negara.

Putusan dibacakan bergantian oleh majelis hakim yang diketuai Ahmad Yusak dengan anggota Haswandi dan Albertina Ho, Senin (7/9). Sepanjang pembacaan putusan, Romli yang mengenakan kemeja putih bergaris merah muda menyimak dengan tenang.

”Hukuman sebagai pembinaan, bukan balas dendam,” kata majelis hakim.

Romli juga dihukum membayar denda Rp 100 juta subsider dua bulan penjara. Ia dijatuhi hukuman tambahan membayar uang pengganti 2.000 dollar Amerika Serikat dan Rp 5 juta. Jumlah itu sesuai dengan biaya akses yang dinikmati Romli.

Hukuman itu lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan jaksa, yakni lima tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan penjara. Romli terbukti melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Romli adalah anggota tim penyusun UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Romli langsung menyatakan banding. Jaksa penuntut umum Fadil menyatakan pikir-pikir. Karena banding, Romli—yang kini menjalani tahanan kota—tidak dimasukkan ke dalam penjara.

Soal Menteri Kehakiman

Febri Diansyah, peneliti hukum Indonesia Corruption Watch, berpendapat, kasus ini tidak boleh berhenti hanya pada vonis Romli. Kejaksaan Agung harus meneruskan perkara ini dengan memerhatikan fakta persidangan. Perkara ini harus diungkap hingga level pembuat kebijakan.

”Kami minta kejaksaan tidak melindungi pihak mana pun, termasuk mantan Menteri Kehakiman. Kasus ini perlu diselesaikan dengan tuntas dan tidak diskriminatif!” tegas Febri.

Soal pengembangan perkara pada penunjukan PT Sarana Rekatama Dinamika yang melibatkan Yusril Ihza Mahendra dan Hartono Tanoesoedibjo, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy hanya menyatakan, ”Putusan kami pelajari dulu.”

Seusai sidang, Romli menyatakan, putusan itu tidak adil dan dipaksakan. Ia merasa menjadi korban. Menurut Romli, banyak fakta yang keliru dan tidak bersesuaian yang digunakan hakim sebagai pertimbangan putusan.

”Kejaksaan Agung sudah salah. Yang paling bertanggung jawab harus dimintai tanggung jawab, termasuk semua menteri kehakiman. Yusril, Hartono, Marsilam, Hamid Awaludin,” katanya.

Sisminbakum dilaksanakan PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) dan dikelola Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman (KPPDK). Pemberlakuan Sisminbakum serta penunjukan PT SRD sebagai pelaksana ditetapkan melalui keputusan Menteri Kehakiman yang ditandatangani Yusril Ihza Mahendra.

Majelis hakim tidak mempertimbangkan proses penunjukan PT SRD sebagai pelaksana serta pembagian biaya akses sebesar 90 persen untuk PT SRD dan 4 persen untuk KPPDK.

Majelis hanya mempersoalkan bagian untuk Direktorat Jenderal AHU sebesar 6 persen dari keseluruhan biaya akses Sisminbakum. Saat Romli menjadi Dirjen AHU pada kurun waktu Juli 2001-Februari 2002, biaya akses Sisminbakum yang diterima Ditjen AHU sebesar Rp 1,316 miliar. Majelis berpendapat, uang itu harusnya masuk ke kas negara.

”Uang itu uang negara, bukan untuk dibagi-bagikan. Tetapi, terdakwa memerintahkan untuk membagi-bagi uang itu kepada pegawai di Ditjen AHU,” kata hakim.

Majelis hakim juga berkeyakinan Romli menikmati uang Rp 5 juta dan 2.000 dollar AS. Keyakinan itu berdasarkan keterangan sejumlah saksi yang bersesuaian.

”Terdakwa menyangkal. Menurut majelis, penyangkalan tidak berdasar,” ujar hakim.

Pengacara Romli, Juniver Girsang dan Denny Kailimang, mempersoalkan pertimbangan hakim yang menyatakan bisa menentukan kerugian negara. Padahal, ahli dari pihak Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan tidak menyebutkan kerugian negara. ”Dalam sejarah, baru kali ini hakim bilang bisa menentukan kerugian negara,” kata Juniver. (idr)

Sumber: Kompas, 8 September 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan