Rombak Total Draf RUU Tipikor

Draf revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu dirombak secara mendasar agar sejalan dengan semangat penguatan pemberantasan korupsi. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia diminta, antara lain, memasukkan norma pemiskinan koruptor dan pembuktian terbalik.

Pemerintah pun diminta mengerti betul bahwa RUU ini merupakan salah satu tulang punggung pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, rumusannya pun harus mencerminkan penguatan pemberantasan korupsi.

Demikian benang merah wawancara dengan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Saldi Isra dan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, secara terpisah pada Jumat (1/4).

Seperti diberitakan, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar meminta kembali draf RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang sebelumnya telah diserahkan kepada Sekretariat Negara. RUU itu belum akan segera diserahkan ke parlemen. Kemhuk dan HAM akan selesai menyempurnakan draf pada April ini untuk kemudian diserahkan kembali ke Sekretariat Negara.

Saldi mengaku sangat mengapresiasi langkah Patrialis Akbar yang menarik kembali draf RUU untuk dikaji kembali. Menurut Saldi, Patrialis harus memastikan bahwa hasil kajian terhadap draf tersebut mencerminkan semangat penguatan terhadap pemberantasan korupsi dan tidak menghilangkan sifat korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Artinya, pasal-pasal yang melemahkan, seperti adanya hukuman maksimal dan toleransi terhadap korupsi di bawah Rp 25 juta, harus dihilangkan.

Saldi menambahkan pemberantasan korupsi tidak bisa dipandang dari pendekatan matematis atau untung-rugi. Misalnya, dalam kasus korupsi di bawah Rp 25 juta, biaya untuk menyelesaikan kasus tersebut hingga ke pengadilan bisa jadi memang lebih besar daripada uang yang dikorupsi.

Tim baru
”Tidak diprosesnya orang yang korupsi di bawah Rp 25 juta membuat orang bisa coba-coba. Lalu bagaimana dengan orang yang korupsi di bawah Rp 25 juta, tetapi berulang-ulang,” ujar Saldi.

Sementara Febri menekankan, Kemhuk dan HAM perlu membentuk tim baru untuk memperbaiki draf revisi UU Pemberantasan Tipikor. Tim baru tersebut dimaksudkan agar evaluasi dan pengkajian bisa dilakukan secara lebih terbuka.

Pada dasarnya, menurut Febri, draf RUU itu tidak boleh mengurangi norma yang sudah berlaku efektif. RUU tersebut justru harus ditambah dengan mengakomodasi norma tentang pembuktian terbalik dan pemiskinan koruptor.

Norma-norma penting seperti illicit enrichment (peningkatan signifikan kekayaan pejabat publik tanpa yang bersangkutan mampu menjelaskan asal-usulnya), memperdagangkan pengaruh, perlindungan terhadap whistle blower, suap terhadap pejabat publik asing, dan juga perampasan aset.

Febri mengakui bahwa revisi ini memang membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Oleh karena tersebut, Febri berharap pemerintah tak perlu terburu-buru dalam melakukan revisi. Apalagi Ketua KPK Busyro Muqoddas pun menyatakan, revisi UU Pemberantasan Tipikor tidak terlalu mendesak.

Hukuman mati
Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa tidak bersedia berkomentar mengenai rencana pemerintah merevisi UU Pemberantasan Tipikor. Harifin mengaku belum membaca draf revisi itu.

Terkait dengan hilangnya hukuman mati dalam draf RUU yang disiapkan pemerintah, Harifin mengungkapkan, hal tersebut bergantung pada pilihan politik hukum pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat selaku pembentuk undang-undang

Pada praktiknya, Harifin mengakui, hukuman mati untuk koruptor belum pernah dilakukan. Tidak mudah bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman tersebut. Hakim harus betul-betul yakin ketika menjatuhkan putusan yang mencabut nyawa seseorang. (ANA)
Sumber: Kompas, 2 April 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan