Rokhmin sebagai
Vonis tujuh tahun penjara terhadap mantan Menteri Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Rokhmin Dahuri oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang diketuai Mansyurdin Chaniago SH pada 23 Juli 2007 itu tak diterima Rokhmin dan para pendukungnya, seperti nelayan dan mahasiswa IPB.
Maklumlah, para nelayan yang kebanyakan dari kawasan pantura itu menilai putusan tersebut sangat tidak adil. Karena, dana nonbujeter DKP yang dipungut dari direktur jenderal (Dirjen) dan para kepala Dinas Perikanan dan Kelautan se-Indonesia sebesar Rp 14,6 miliar itu tak dimakan sendiri oleh Rokhmin.
Untuk kasus pungutan, Rokhmin dinyatakan melanggar pasal 12 huruf (e) UU No 31/1999. Dana Rp 14,6 miliar itu dikumpulkan pada 2002-2004. Dana itulah yang kemudian mengalir ke nelayan, LSM, ormas, tokoh politik, anggota DPR, dan calon presiden (serta timnya).
Untuk kasus suap yang diterima Rokhmin sejak menjabat Dirjen Pesisir DKP akhir 2001 hingga 2004 (saat menjabat menteri) Rp 24 miliar, dipakai untuk biaya kegiatan Rokhmin ketika menjadi menteri. Dia juga dinyatakan terbukti. Yang menarik dalam kasus ini justru dana yang mengalir keluar DKP.
Dana nonbujeter untuk kepentingan di luar DKP pada 2 Januari hingga 3 Oktober 2004 itu sebesar Rp 1,9 miliar. Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW) Ibrahim Fahmi Badoh mengungkapkan, penerima dana itu antara lain tim sukses pasangan calon presiden-wakil presiden pada 2004.
Mereka masing-masing menerima Rp 225 juta. Sedangkan yang diterima parpol sekitar Rp 220 juta. Yang mengejutkan, PKS yang selama ini menjunjung tinggi moralitas juga menerima dana nonbujeter DKP Rp 300 juta. Selain itu, lima anggota DPR ternyata telah pula menerima aliran dana serupa.
Lebih mengejutkan, dana itu juga mengalir ke LSM-LSM serta pribadi-pribadi tokoh politik dan agama. Memalukan, bukan? Untuk memperoleh dana itu mereka mengajukan proposal kegiatan yang kemudian disetujui DKP. Tapi, sebagian dari mereka membantah pengakuan Rokhmin itu.
Mantan Presiden PKS Hidayat Nurwahid yang juga ketua MPR membantah jika PKS telah menerima Rp 300 juta. Alasan klasik yang selalu dipakai para politisi, dana bantuan itu tak mengalir ke partai, tapi biasanya diterima anggota partai secara pribadi. Tak ada kaitannya dengan kepentingan partai.
Ketua DPR Agung Laksono sami mawon. Wakil ketua umum DPP Partai Golkar itu juga membantah adanya anggota DPR yang menerima dana tersebut. Akbar Tandjung, mantan ketua umum DPP Partai Golkar pun menyatakan, Golkar tak pernah menerima dana seperti yang disebutkan Rokhmin.
Wakil Presiden M. Jusuf Kalla yang menggantikan Akbar juga membantah tudingan itu. Bantahan serupa datang dari Mega Center. Tjahjo Kumolo dari PDIP menolak pernyataan Rokhmin. Mereka sepakat mengaku tidak pernah ada dana nonbujeter DKP yang mengalir ke partainya.
Hanya sebagian kecil yang mengakui menerima dana hasil korupsi itu. Mantan Ketua MPR Amien Rais yang kala itu menjabat ketua umum DPP PAN yang pertama mengakui adanya aliran dana Rp 225 juta tersebut. Amien sempat memeriksakan diri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menyusul kemudian pengakuan KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) dan staf khusus mantan capres Susilo Bambang Yudhoyono, Munawar Fuad Nuh. Dia mengaku menerima dana Rp 150 juta -pasca pemilihan presiden 2004. Sedangkan Gus Solah mengaku, Betul saya terima, tetapi melalui tim saya.
Berapa jumlah dana yang diterima, Gus Solah tak tahu. Menurut dia, pemberian itu tak ada kaitannya dengan pemilihan presiden. Dana yang diberikan pada 25 Mei 2004 itu untuk berbagai kegiatan sebagai pribadi, seperti untuk biaya penulisan buku. Dia memiliki kedekatan dengan Rokhmin sejak 1999.
Selama kurun waktu tersebut, Gus Solah mengaku sering menerima bantuan dari Rokhmin. Dia itu teman dekat saya yang sering membantu bila saya melakukan kegiatan yang memerlukan dana, dalihnya. Pengakuan menarik datang dari Munawar. Dalihnya, aliran dana DKP itu bukan dalam kapasitasnya sebagai orang dekat SBY.
Uang yang diterimanya pada 11 Oktober 2004 itu dipakai untuk mengerjakan proyek pemetaan tentang pesantren dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir. Itu juga atas permintaan Rokhmin. Jadi, bagaimana mungkin itu dikaitkan dengan tim sukses SBY, katanya. Dia juga tak mau jika disebut sebagai tim sukses SBY.
Kendati dana nonbujeter DKP yang mengalir keluar itu sudah terungkap di pengadilan, toh hingga kini KPK tak juga menetapkan para penerimanya sebagai tersangka. Padahal, sebagian dari mereka seperti anggota dewan terhormat mengakui adanya aliran dana itu ke kocek-nya.
Seperti yang dilakukan Slamet Effendi Yusuf dari Partai Golkar dan Fachri Hamzah dari PKS. Keduanya mengakui menerima dana dari Rokhmin. Fachri menerimanya sebelum menjadi anggota DPR. Di antara para penerima dana itu, hanya Amien Rais yang menyatakan siap masuk penjara.
Amien mengaku khilaf telah menerima dana nonbujeter DKP dan menyatakan siap dipenjara sebagai konsekuensi sehubungan dengan penerimaan dana tersebut. Yang lain nyaris tak terdengar suaranya. Mereka hanya menyatakan siap mengembalikan dana itu. Konsekuensi hukumnya tak disentuh KPK.
Tidak Adil
Jika melihat kenyataan tersebut, dosa bersama yang hanya ditanggung Rokhmin dan tiga anak buahnya di DKP -Sekjen Andin Taryoto, Kepala Biro Keuangan Sumali, dan stafnya Bambang- sangat tidak adil. Mengapa? Orang luar DKP yang telah mengakui dan menikmati aliran dana itu masih bebas.
Tak salah jika kemudian Rokhmin membuat surat terbuka kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seusai vonis atas dirinya itu. Di dalam suratnya, Rokhmin bersikukuh bahwa dirinya tak bersalah. Tidak ada kerugian negara dalam hal ini. Negara justru diuntungkan, ujarnya.
Alasannya, dana nonbujeter yang dikumpulkan itu dipakai untuk berbagai kegiatan yang tak dianggarkan dalam APBN. Menurut dia, sistem APBN tak bisa mengakomodasi banyak kegiatan departemen dan instansi pemerintah yang sifatnya emergensi, bantuan sosial, penyusunan undang-undang, dan kegiatan terobosan.
Rokhmin menunjukkan, pengumpulan dana seperti itu hingga kini juga dilakukan Menteri DKP Freddy Numberi hingga November 2006. Rokhmin rela menjadi tumbal dengan syarat pemerintah menjamin pemberantasan korupsi tidak diskriminatif. Harapan Rokhmin tersebut juga sama dengan masyarakat.
Tegakkan keadilan hukum demi amanat rakyat, tulis Rokhmin. Sekarang ini tinggal keseriusan KPK memproses para penerima dana nonbujeter itu Jangan sampai ada anggapan, KPK hanya berani mengusut orang-orang yang sudah tak berdaya (tak ada kekuasaan) lagi seperti Rokhmin cs.
Kasus dana nonbujeter yang melibatkan banyak pihak itu bisa menjadi tolok ukur penegakan hukum kita. Apalagi, di luar peradilan sempat terjadi perang terbuka antara Amien Rais dan Presiden Yudhoyono, kendati berakhir dengan saling memaafkan di Bandara Halim Perdanakusuma.*
Mochamad Toha, wartawan Majalah FORUM Keadilan
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 1 Agustus 2007