Robohnya Etika Wartawan
Penelisikan dan pemaparan kasus dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan merupakan fenomena menarik.
Di kampus, kabar itu dipergunjingkan karena melibatkan akademisi yang kebetulan menjadi birokrat. Di kalangan awam, berita itu menarik karena ternyata lembaga legislatif dan lembaga swadaya masyarakat menikmati dana secara tidak halal. Pertengahan Juni 2007, terbongkar juga bahwa sejumlah wartawan pernah ikut menikmati uang yang sebagian keharamannya kini sedang dibuktikan di pengadilan itu.
Umumnya rakyat mengadu ke lembaga legislatif jika sudah tidak berdaya menghadapi pihak eksekutif pemerintahan. Apabila lembaga eksekutif dan legislatif sama-sama bobrok, rakyat berharap para penegak hukum (yudikatif) bisa bertindak adil. Jika lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif ternyata brengsek, satu-satunya harapan terakhir adalah meminta media membeberkan hal itu secara jujur kepada khalayak luas. Kasus penyelewengan dana nonbujeter Departemen Kelautan menggambarkan bahwa wartawan dan media sebagai the last resort of democracy pun sudah terbeli.
Ini cuma sebuah contoh kecil tragisnya kehidupan bangsa Indonesia. Lalu kepada siapa lagi rakyat kecil bisa mengadu? Sebetulnya, bobroknya media massa di Indonesia sudah menjadi rahasia umum. Busuknya wartawan Indonesia setara dengan ketenaran tingkat korupsi pejabat pemerintah. Baik pengusaha maupun pejabat Indonesia risi jika didatangi wartawan karena hampir semua wartawan meminta imbalan atas peliputan yang dilakukannya. Seorang teman dari Purworejo di Jawa Tengah pertengahan Mei lalu mengabarkan, pernikahan anaknya yang unik di atas kapal di Teluk Jakarta akan diliput salah satu stasiun televisi. Harus bayar berapa, ya? tanya dia lewat layanan pesan singkat.
Contoh itu membuktikan bahwa masyarakat umum di Indonesia sudah paham sekali bahwa wartawan yang meliput harus diberi imbalan. Paham yang salah atau kesalahpahaman tersebut justru dinikmati oleh sebagian besar orang yang mengaku wartawan Indonesia. Sangat banyak wartawan di Indonesia yang justru menggantungkan nafkahnya pada paham yang keliru itu.
Etika profesi
Ciri khas suatu organisasi profesi adalah eksistensi kode etik profesinya. Semua profesi, terutama yang menyangkut kepentingan atau keselamatan umum, harus memiliki etika profesi. Dokter, hakim, advokat, polisi, jaksa, dan wartawan adalah beberapa dari profesi yang bisa membahayakan kepentingan masyarakat jika tidak dibatasi oleh etika.
Etika adalah ukuran moralitas yang memberi gambaran mengenai layak atau tidaknya suatu tindakan profesional dilakukan. Kode etika profesi bertujuan melindungi kepentingan konsumen (pembaca dan pemirsa), narasumber, dan bahkan wartawan sendiri selaku penyandang profesi. Pelanggaran berat terhadap etika profesi dapat menyebabkan seseorang dinilai tidak layak menyandang profesi tertentu dan dipecat dari organisasi profesinya.
Dewasa ini ada puluhan organisasi profesi kewartawanan di Indonesia. Tiga di antaranya yang cukup besar adalah Persatuan Wartawan Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia. Kode etik ketiga organisasi profesi tersebut melarang anggotanya menerima imbalan dari narasumber. Pasti kode etik organisasi kewartawanan yang lain pun tidak banyak berbeda. Tidak ada kode etik organisasi kewartawanan di Indonesia yang membolehkan anggotanya menerima (apalagi meminta) imbalan dari narasumbernya.
Memang masih ada juga yang mencoba membolehkan wartawan menerima imbalan dari narasumber. Dengan dalih asalkan tetap independen dan tidak terikat. Bahkan ada juga yang tidak tahu malu, menerima undangan serta menerima bingkisan dari pengundang tapi tidak menyiarkan atau mempublikasikan hasil liputannya, dengan berpegang pada dalih tersebut.
Slogan kosong
Kenyataannya, semua kode etika profesi organisasi kewartawanan di Indonesia cuma slogan kosong. Pemecatan dari organisasi profesi tidak berdampak apa-apa. Dipecat dari organisasi profesi yang satu, seorang wartawan bisa menjadi anggota pada organisasi kewartawanan yang lain. Bahkan bisa menjadi pengurus atau pengurus harian di tempatnya yang baru!
Pengumuman sejumlah lembaga penyiaran yang menegaskan wartawan yang bekerja dalam kelompoknya dilarang menerima imbalan menjadi kata-kata yang menghiasi layar televisi atau kalimat yang menggema tanpa makna di radio. Jika mendapat laporan mengenai kebobrokan wartawannya di lapangan, pemimpin media massa selalu bertindak sama seperti pejabat tinggi yang mendapat informasi mengenai bawahannya yang korup. Kasih bukti yang lengkap, dong, nanti pasti kami tindak!
Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, hanya sedikit kasus pelanggaran yang terungkap ke masyarakat. Nyaris tidak pernah terdengar ada wartawan yang dihukum karena memeras atau meminta imbalan dari narasumber. Umumnya para korban takut mengadukan kasusnya, seperti halnya korban-korban pemerasan para penegak hukum dan korban-korban pemerkosaan.
Hentikan
Dekadensi kepercayaan terhadap kaum jurnalis harus dihentikan. Etika kewartawanan harus ditegakkan kembali. Kaum wartawan harus mampu membuktikan bahwa dirinya bukan penerima imbalan (dalam bentuk amplop, cek, ataupun transfer bank) atas jasa peliputan yang dilakukan. Wartawan Indonesia harus bisa membuktikan bahwa mereka tidak pantas menerima uang transpor dari narasumber yang diliputnya.
Upaya menegakkan etika profesi ini tidak bisa sepihak dari kalangan wartawan atau organisasi kewartawanan. Semestinya para praktisi PR (public relation), pejabat hubungan masyarakat, ataupun masyarakat umum juga menghentikan kebiasaan memberikan imbalan kepada para wartawan yang meliput. Jangan takut tidak memberi amplop atau uang transpor kepada wartawan!
Sementara itu, perusahaan media massa pun harus memberikan imbalan gaji yang bisa memenuhi kebutuhan dasar kehidupan wartawannya. Sejauh ini sebagian besar profit dari industri media massa memang hanya dinikmati kaum pengusahanya. Dan wartawan di Indonesia betul-betul menjadi buruh pada suatu industri jasa komunikasi yang kapitalistik!
Momentum terbongkarnya kasus wartawan menerima uang dari dana nonbujeter Departemen Kelautan harus betul-betul kita manfaatkan. Mari kita sama-sama membersihkan nama baik wartawan Indonesia. Dan menegakkan kembali etika profesi kewartawanan.
Albert Kuhon, dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 19 Juni 2007