Risiko Fiskal Kasus Gayus
KEMUNCULAN kasus Gayus di tengah-tengah kasus Bank Century direspons beragam. Ada yang bersifat guyonan, sindiran, bahkan cercaan terhadap Direktorat Jenderal Pajak secara khusus dan pemerintah secara umum. Salah satu di antara bentuk respons itu dikemas dalam sebuah artikel berjudul Terima Kasih Gayus Tambunan yang diterbitkan dalam sebuah web lokal. Penulisnya menyindir, ''kita semua mesti berterima kasih pada pegawai pajak golongan IIIA ini. Gara-gara aksinya terbongkar, semua mata kini memandang ke kasus penggelapan pajak yang menimpanya''.
Kasus Gayus semakin asyik terus diikuti karena terdakwa perkara yang jelas-jelas merugikan negara itu diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Akibatnya, sejak diputus bebas, Gayus ditengarai melarikan diri ke Singapura pada 24 Maret lalu. Hal itu didasarkan pada data Direktorat Jenderal Imigrasi bahwa Gayus Tambunan telah pergi ke Singapura dengan menggunakan Singapore Airlines SQ 967.
Tentu publik semakin bertanya-tanya, ada skenario apa di balik itu semua? Mungkinkah ada yang berhubungan dengan hipotesis sementara bahwa kasus Gayus itu tidak berjalan sendiri atau dengan kata lain melibatkan orang lain? Wallahu a'lam!
Perlu ditegaskan, terungkapnya kasus Gayus tidak terjadi karena kegagalan reformasi birokrasi, tetapi akibat kelemahan sistem dan prosedur. Kasus itu timbul karena adanya kesempatan dan keberanian. Banyak masyarakat yang menyuarakan antikorupsi yang kadang-kadang dibalut dengan baju yang religius. Namun, begitu ada kesempatan, ternyata tak kuasa melawan, bahkan kadang ada yang ikut-ikutan menjerumuskan diri.
Bisa jadi kasus Gayus ini akan semakin menarik kalau dibuat sinetron Kejar Tayang atau dibuat semacam reality show seperti Termehek-mehek atau Realigi. Cerita bisa panjang sehingga keuntungan dari iklan yang akan diraup semakin besar. Berbeda ceritanya kalau aparat penegak hukum mampu menuntaskan kasus tersebut dengan cepat sehingga tidak berdampak ke mana-mana. Tentunya kita semua sangat berharap agar kasus Gayus segera selesai agar dampak yang ditimbulkan dapat diminimalkan.
Langkah penanganan kasus Gayus kini terus berlanjut, Mahkamah Agung tengah memeriksa hakim PN Tangerang yang memproses perkara Gayus. Kejaksaan Agung sekarang juga menurunkan tim eksaminasi untuk kembali mengecek perkara tersebut di Pengadilan Negeri Tangerang. Sementara itu, dari sisi internal, Ditjen Pajak telah memutuskan untuk memberhentikan Gayus secara tidak hormat lantaran terbukti melanggar kode etik dan disiplin PNS.
Dampak Fiskal
Kasus Gayus akan berpotensi membawa dampak kepada risiko fiskal. Setidaknya risiko fiskal tersebut terjadi melalui dua hal. Pertama, penurunan penerimaan negara melalui perpajakan. Berbagai usaha yang dilakukan Ditjen Pajak untuk menyadarkan masyakarakat untuk taat pajak belakangan ini mulai membuahkan hasil. Namun, sejak kasus itu muncul ke permukaan, banyak masyarakat yang mulai galau. Kasus itu, tampaknya, melukai masyarakat yang taat membayar pajak.
Tentu kita sangat mengharapkan moto Ditjen Pajak ''Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya'' tidak akan membuat masyarakat berubah sikap menjadi ''Buat Apa Bayar Pajak kalau Uangnya Disalahgunakan''. Jangan sampai kasus tersebut berpengaruh buruk terhadap citra pemerintah di bidang pajak yang ujung-ujungnya akan berdampak pula kepada kemalasan masyarakat untuk membayar pajak karena uang hasil pajak rawan disalahgunakan. Yang jelas, kita berharap agar kasus Gayus jangan sampai menjadi bumerang bagi institusi Ditjen Pajak yang saat ini tengah gencar menyosialisasikan pentingnya membayar pajak.
Kedua, dampak terhadap risiko fiskal secara tidak langsung, yakni melalui penurunan peringkat utang pemerintah. Sebagaimana diketahui bahwa Standard & Poor's (S&P) telah menaikkan peringkat utang pemerintah Indonesia dari BB- menjadi BB. Peningkatan peringkat utang itu menunjukkan bahwa S&P melihat fundamental ekonomi Indonesia relatif stabil. Sementara itu, kini pemerintah juga tengah berjuang manaikkan peringkat utang ke level yang lebih baik.
Salah satu kendala yang dihadapi dalam meningkatkan peringkat utang pemerintah adalah masalah korupsi. Untuk itu pemerintah kini terus berusaha memberangus kasus korupsi. Sebagaimana diketahui bahwa Transparency International Indonesia merilis peringkat indeks korupsi (IPK) Indonesia pada 2009 berada di posisi ke-111. Posisi Indonesia itu naik dari posisi pada 2008, yakni di peringkat ke-126. Konon, indeks peringkat korupsi 180 negara di dunia tersebut diluncurkan tanpa memperhitungkan faktor merebaknya kasus dugaan korupsi yang melibatkan KPK dan Polri.
Dalam peringkat IPK pada 2009, Indonesia berada di posisi kelima untuk lingkungan ASEAN atau lebih rendah jika dibandingkan dengan Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand yang berturut-turut mengisi posisi 1-4. Indonesia cukup baik dari segi IPK jika dibandingkan dengan Vietnam, Filipina, Kamboja, Laos, dan Myanmar yang menempati posisi 6-10.
Menyikapi permasalahan kasus Gayus dan potensi dampaknya terhadap risiko fiskal tersebut, tidak ada jalan lain kecuali kasus itu harus segera dituntaskan. Pemerintah harus membongkar kasus tersebut mulai awal. Pemberhentian Gayus dari PNS bukan merupakan jawaban yang tepat, tetapi harus juga mengusut siapa saja yang terlibat, baik dari sisi internal Ditjen Pajak, Pengadilan Negeri Tangerang, kepolisian, maupun pihak-pihak lain yang terkait.
Kasus Gayus mungkin saja hanyalah bagian kecil dari kasus yang terjadi di Ditjen Pajak. Kasus serupa, baik di Ditjen Pajak maupun instansi lain, baik pusat maupun daerah, diyakini banyak terjadi.
Tidak mudah tentunya memberangus kasus korupsi. Korupsi terjadi bukan karena moral yang jelek, tapi juga adanya kesempatan. Bahkan, orang baik pun belum tentu lulus ujian dari korupsi karena adanya kesempatan dan pengaruh orang lain. Untuk itu, penanganan masalah korupsi sebaiknya juga melibatkan seluruh warna negara. Masyarakat tidak bersikap leh-leh luweh atau semau gue, bahkan ikut-ikutan berkolusi dengan aparat atau pejabat. Untuk menciptakan aparat pajak yang bersih, mungkin moto Ditjen Pajak perlu ditambah menjadi ''Lunasi Pajaknya, Awasi Penerimanaanya dan Penggunannya''. (*)
Makmun, peneliti Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 29 Maret 2010