Risiko Blunder Partai Demokrat
PARTAI Demokrat akhirnya mengambil keputusan terkait dengan posisi bendahara umumnya, M Nazaruddin. Dewan kehormatan mengumumkan pencopotan dari jabatan struktural kepengurusan DPP (SM, 23/05/11). Keputusan yang diambil oleh jajaran teras partai tersebut berbeda dari kasak-kusuk yang sebelumnya muncul di media. Awalnya, dewan kehormatan hanya mengajukan dua opsi: mundur atau dipecat. Keputusan pencopotan mengundang tanya, apakah partai takut terhadap Nasruddin? Jika takut, apa penyebabnya?
Rekomendasi untuk memecat atau mengeluarkan Nazaruddin santer disuarakan setelah nama dia dihubung-hubungkan dengan Mindo Rosalina Manulang, salah satu tersangka dugaan kasus korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang, yang ditangkap tangan oleh KPK (21/04). Sang mantan bendahara umum itu ditengarai mengetahui sepak terjang Rosa, panggilan wanita itu, yang sebelumnya adalah stafnya.
Rekomendasi memecat atau mengeluarkan Nazaruddin juga menciptakan polemik internal. Anggota tim investigasi Ruhut Sitompul menyatakan, keputusan dewan kehormatan perlu menunggu hasil penyelidikan timnya. Tidak ada kader yang dipecat tanpa ditemukan fakta hukum terlebih dahulu (SM, 19/05/11).
Dalam analisis penulis, sanksi pencopotan Nazaruddin yang diambil dewan kehormatan partai sepertinya agak keliru. Konsekuensi hukum pencopotan melalui pemecatan atau pengeluaran sangat jauh berbeda. Ketika anggota partai dicopot dari jabatannya, kemungkinan dia bisa duduk kembali di posisinya. Tatkala media sudah jarang memberitakan dan publik tak lagi menyoroti kasusnya, boleh jadi Nazaruddin akan dipanggil kembali oleh partainya.
Hal ini yang sebenarnya menjadi akar masalah. Partai seharusnya mengambil tindakan tegas terhadap kadernya yang terjerat dugaan kasus korupsi. Publik tahu kalau partai pimpinan Anas Urbaningrum itu konsisten mengusung isu antikorupsi dalam kampanyenya. Memecat atau mengeluarkan — bukan mencopot— Nazaruddin seharusnya adalah tindakan yang dipilih, untuk mengamankan konsistensi napas antikorupsi partai sekaligus menjaga nama baik partai.
Modal Utama
Kemenangan Partai Demokrat dalam Pemilu 2009 salah satunya didorong oleh kontinuitas kampanye antikorupsi melalui media massa. Artinya, semangat antikorupsi menjadi modal besar untuk menjaring suara pemilih. Roy C Macridis dalam karyanya (Pengantar Sejarah, Fungsi, dan Tipologi Partai: 1996) mengemukakan, partai melaksanakan kegiatan persuasi, yakni kegiatan yang dikaitkan dengan pembangunan dan pengajuan usul kebijakan supaya mendapatkan dukungan luas.
Kegiatan persuasi partai mensyaratkan adanya kondisi partai yang tidak tercemari oleh keadaan atau isu tak sedap. Sedikit saja partai gagal mengamankan nama baiknya, niscaya kegiatan persuasi tidak dapat dijalankan maksimal, yang berisiko partai kalah bersaing dalam pemilu.
Pada bagian tersebut, konsistensi untuk tetap mengusung isu antikorupsi menjadi modal utama bagi Partai Demokrat dalam menjalankan kegiatan persuasi. Bila sedikit saja keliru memilih tindakan tepat maka ancaman tidak diikuti dan tidak diakuinya kebijakan partai oleh masyarakat umum menganga di depan mata.
Jika demikian, pilihan mencopot —bukan memecat atau mengeluarkan— Nazaruddin berisiko menjadi blunder. Pasalnya, masyarakat masih akan mempertanyakan keberanian partai untuk memberantas korupsi. Atau jangan-jangan partai takut memecat atau mengeluarkan karena Nazaruddin tahu banyak kebobrokan internal partai. Semoga tidak.
Artinya, agar langkah yang diambil tidak menjadi blunder maka partai harus memperbarui pilihan tindakannya. Setidaknya ada dua alasan dasar dan penguat. Pertama; Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu 2009 sekaligus partai penguasa, penting menjaga konsistensi sebagai partai yang menyuarakan antikorupsi. Sekaligus konsistensi ini dapat menjaga lumbung suara partai agar tidak dicuri atau susut dalam Pemilu 2014.
Kedua; jika Nazaruddin sudah berada di luar partai maka memudahkan kerja penegak hukum memeriksa. Toh, masih ada mekanisme rehabilitasi sehingga bila terbukti tidak terkait dengan kasus korupsi, nama baiknya pulih dengan sendirinya. (10)
Hifdzil Alim, peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 26 Mei 2011