Riau Masuk Lima Provinsi Terkorup

Provinsi Riau dilaporkan termasuk dalam lima besar urutan penemuan tingkat tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan keuangan negara. Bersama Riau, empat provinsi lainnya adalah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan.

Data tersebut termuat dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), tetapi tidak dijelaskan besaran dan urutannya. Menurut Direktur LHKPN Muhammad Yasin, Selasa (22/3), kebocoran atau penyalahgunaan anggaran di Riau sepanjang tahun 2004 sangat tinggi jika dibandingkan dengan daerah lain.

Dalam paparan data tersebut juga dijelaskan, di Riau terdapat 432 kasus yang sekarang tengah dalam proses penyidikan Komite Pemberantasan Korupsi. Sebanyak 309 kasus di antaranya sudah diproses di tingkat kejaksaan. Sementara 91 kasus lainnya dalam tahap penyidikan di kepolisian, yang sudah menerbitkan Surat Perintah Dimulai Penyidikan. Total kebocoran uang negara ditengarai telah melebihi Rp 2,7 triliun.

Dilaporkan juga, LHKPN di tingkat provinsi hingga kini belum berjalan maksimal karena kurangnya tekanan pengawasan dari masyarakat, seperti terjadi di Provinsi Riau. Padahal, adanya LHKPN dapat menciptakan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan serta menghindari terjadinya praktik KKN sesuai dengan apa yang sudah digariskan melalui TAP MPR/XI/1998 tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN.

LHKPN diharapkan mampu menciptakan transparansi perilaku penyelenggara pemerintahan di tingkat pusat dan daerah. Dengan demikian, masyarakat diharapkan mengetahui besar kekayaan pejabat negara/ pemerintah daerah yang menduduki jabatan strategis dalam mengelola keuangan untuk pembangunan.

Data dalam LHKPN dibuat berdasarkan tolok ukur tertentu, antara lain, membandingkan pengelolaan keuangan serupa di beberapa negara lain. Untuk investasi, misalnya, secara internasional biaya tambahan yang disediakan investor dalam menanam modal maksimal hanya 3 persen dari total jumlah dana yang dikucurkan.

Akan tetapi, di Indonesia besaran biaya tersebut dapat mencapai 5 persen. Tak jarang, besaran dana membengkak akibat adanya penambahan biaya yang tidak jelas alokasinya berdalih pengurusan perizinan usaha. Jelas, kondisi ini tidak akan menguntungkan untuk pengembangan investasi di Indonesia.

Penyalahgunaan
Di Provinsi Riau, kasus penyalahgunaan uang negara sepanjang tahun 2004 berasal dari beberapa sektor, antara lain, izin usaha, pajak, dispensasi usaha, pungutan liar oknum aparat, mark up pengadaan barang, dan teknis pembayaran termin proyek.

Tahun 2005 praktik penyalahgunaan diindikasikan tetap terjadi di Riau. Kekhawatiran ini tampak sejak awal pembentukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Riau tahun 2005. Penetapan APBD yang mencapai Rp 2,5 triliun ini mengundang kritik dan menebarkan kekhawatiran karena terdapat banyak peluang untuk terjadi penggelembungan anggaran.

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Nurdien menunjukkan, dalam Undang-Undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara Pasal 19 Ayat (1) dinyatakan bahwa dalam rangka penyusunan RAPBD, kepala satuan kerja perangkat daerah (kepala daerah dan kepala dinas-Red) adalah selaku pengguna anggaran yang menyusun rancangan kerja dan anggaran satuan kerja (RASK) perangkat daerah tahun berikutnya.

Namun, pemerintah daerah setempat tidak mencantumkan RASK dalam RAPBD. Menurut Nurdien, ini dapat menjadi pemicu kesempatan mark up anggaran. Sejumlah item anggaran, seperti pada bidang administrasi umum, anggaran biaya kepala daerah dan wakil kepala daerah, sekretaris daerah, serta badan informasi, dan kesatuan bangsa, dianggap masih sangat fantastis dan seharusnya dapat diperkecil 25-50 persen. (NEL)

Sumber: Kompas, 23 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan