Rezim Pemberantas Korupsi
KITA masih ingat, dengan latar belakang militer yang disandangnya, sebagian masyarakat menolak naiknya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke kursi presiden. Tak kurang almarhum Munir merelakan diri menjadi salah satu 'ikon' iklan yang mendukung calon presiden Megawati, dengan satu tujuan, menghadang pencalonan SBY.
Namun, setelah melihat kinerjanya hingga saat ini, bisa jadi sikap antipati masyarakat terhadap SBY kian surut. Terhadap usahanya memberantas korupsi, dukungan terus mengalir. Secara pribadi, tanpa harus menjadi 'tim pembela' SBY pun saya berani mengatakan, beruntung SBY yang jadi presiden. Langkahnya memberantas korupsi, paling kurang hingga saat ini, cukup menjanjikan. Bahkan prestasi dan kinerjanya memberantas korupsi, tidak pernah ditunjukkan oleh presiden terdahulu.
Meski masih diliputi oleh ketidakpastian, usaha yang sudah dimulai untuk memberantas korupsi perlu didukung.
Dalam tiga bulan terakhir ini, gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia memasuki babak baru. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memimpin sendiri secara langsung pemberantasan korupsi, sehingga kemajuan cukup terasa secara signifikan.
Satu demi satu, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi terdakwa. Setelah Mulyana W Kusumah, kemudian Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin yang ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Usaha pengungkapan korupsi di KPU diikuti dengan pengungkapan dugaan korupsi dalam kasus kredit macet di Bank Mandiri, bank terbesar di Indonesia yang pada tahun 2004 memiliki total aset sebesar Rp235,542 triliun. Dalam kasus Bank Mandiri para mantan direktur telah dijadikan tersangka. Mereka adalah Edward Cornelis William Neloe yang ketika ditetapkan sebagai tersangka masih menjabat sebagai Direktur Utama Bank Mandiri, I Wayan Pugeg (wakil direktur utama) dan M Sholeh Tasripan (direktur {corporate banking]).
Pengungkapan dugaan penyuapan dan korupsi di KPU dan kredit macet di Bank Mandiri menjadi simbol dari gerakan pemberantasan korupsi.
Sebenarnya, gerakan pemberantasan korupsi telah dimulai pada tahun 2003, ketika dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, di bawah pemerintahan Presiden Megawati yang tampaknya tidak begitu berminat memberantas korupsi, lembaga tersebut tidak mampu berbuat banyak. Padahal, lembaga ini memiliki kewenangan yang sangat besar dan didukung oleh undang-undang. Baru di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lembaga ini tampak bekerja keras memberantas korupsi.
Salah satu kasus yang ditangani oleh KPK adalah indikasi korupsi oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Abdullah Puteh, dalam kasus pembelian helikopter Mi-17 dari Rusia. Sekarang ini, KPK sedang sangat giat mengungkap indikasi korupsi di KPU.
Selain KPK, pada pertengahan Mei 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk tim baru pemberantasan korupsi. Tujuan utamanya adalah mempercepat proses pemberantasan korupsi di Indonesia. Melalui Keputusan Presiden No 11/2005 dibentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ketua Hendarman Supandji yang sebelumnya menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Bersamaan dengan dibentuknya tim baru ini, presiden juga menyerahkan berkas-berkas yang berisi dugaan korupsi di BUMN untuk ditindaklanjuti oleh tim tersebut. Menurut Presiden, dari 158 BUMN dengan total aset sebesar Rp1.313 triliun, laba yang dihasilkan sangatlah kecil, yaitu hanya sebesar Rp25 triliun saja. Bahkan ada 13 BUMN yang mengalami kerugian dari tahun ke tahun. BUMN yang dianggap memiliki kinerja buruk di antaranya adalah Pertamina, Garuda Indonesia, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan Perhutani.
Sebenarnya selama ini laporan terjadinya indikasi korupsi sudah dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Menurut Ketua BPKP, terdapat 6.757 kasus penyimpangan senilai Rp3,9 triliun di instansi pemerintah, termasuk BUMN, tetapi yang ditindaklanjuti hanya 1.327 kasus dengan nilai Rp310 miliar. Sementara sisanya, sebanyak Rp3,6 triliun tidak pernah diproses secara hukum.
Mengenai indikasi penyimpangan penggunaan uang negara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melaporkan bahwa selama 1999-2004 telah terjadi penyimpangan uang negara sebesar Rp167 triliun. Selama ini, temuan-temuan oleh BPK dan BPKP lebih banyak diabaikan daripada ditindaklanjuti oleh kejaksaan dan kepolisian.
Salah satu tugas Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru saja terbentuk adalah menindaklanjuti indikasi korupsi di pemerintahan, terutama BUMN.
Situasi terkini dalam hal pemberantasan korupsi menunjukkan bahwa pemerintah terlihat sangat serius dalam memberantas korupsi. Kenyataan ini menimbulkan optimisme tentang prospek pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, kenyataan lain menunjukkan betapa institusi formal pemberantas korupsi yang sudah terbentuk selama ini sama sekali tidak mampu melakukan tugasnya.
Bahkan, lembaga-lembaga peradilan di Indonesia sudah menjadi bagian dari korupsi itu sendiri. Dengan demikian, usaha untuk memberantas korupsi memerlukan pembentukan komisi-komisi dan lembaga baru yang belum teruji kemampuannya.
Tampaknya, berbagai terobosan untuk memberantas korupsi terus dilakukan. Ke depan, kita ingin agenda pemberantasan korupsi terus dilanjutkan pada jantung persoalan di masa lalu. Ada dua perkara penting, yaitu penyaluran BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional).
Kita masih ingat rumor seputar indikasi korupsi di tubuh BPPN. Hingga kini, lembaga yang sangat berkuasa di masa lalu tersebut tidak pernah disentuh sedikit pun.
Boleh dibilang, carut-marut kredit macet di Bank Mandiri sebagian adalah masalah yang diwariskan dari masa lalu, di mana BPPN sangat berperan. Belum lagi kasus pencairan bilyet deposito oleh PT Timor Putra Nusantara yang menghebohkan itu.
Pendek kata, dalam sebuah rezim pemberantasan korupsi, tumpukan masalah yang bersarang di tubuh BPPN terlalu penting untuk dilewatkan. Ujian bagi pemerintah SBY justru berada pada jantung-jantung persoalan masa lalu yang nyatanya menjadi sumber masalah di masa kini.
Setelah BUMN dan KPU, kini BPPN dan BLBI sedang menanti untuk diteliti. Jika Presiden SBY berani membongkar dua masalah tersebut, selayaknya kita menjuluki pemerintahannya sebagai 'rezim pemberantas korupsi'. Dan jika melakukannya dengan benar, Presiden SBY akan dikenang sebagai 'bapak bangsa' di masa depan. (A Prasetyantoko: Kandidat doktor ENS, Prancis)
Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 31 Mei 2005