Revolusi Itu Mulai Menyala di Padang [12/-6/04]

BARANGKALI tidak ada kata yang tepat untuk melawan korupsi di negeri ini selain revolusi! Ini mengingat di era reformasi yang amanahnya membersihkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, praktik haram itu justru makin merajalela, terutama pascaotonomi daerah. Jika pejabat Orde Baru butuh waktu satu dasawarsa dari 32 tahun rezim Soeharto untuk kaya dari hasil korupsi, di era reformasi ini pejabat negara, aparat hukum/birokrasi, atau politisi bermasalah di legislatif hanya butuh tiga tahun agar bisa hidup mewah dari hasil korupsi. Kalau mau kaya, jadilah politisi, ungkap Mochamad Basuki menuturkan pengalamannya selama ia menjabat sebagai Ketua DPRD Surabaya beberapa waktu lalu.

REPUBLIK ini nyaris hancur digerogoti para penjarah baik yang bercokol di eksekutif maupun legislatif. Virus korupsi juga makin mewabah di lingkungan yudikatif sehingga bangsa ini bingung harus dengan cara apalagi perbuatan melawan hukum yang merusak sendi-sendi ekonomi, sosial, dan politik itu diperangi. Pemberantasan korupsi yang dilakonkan para pelaksana hukum mirip dagelan. Jaksa Agung MA Rachman yang seharusnya menjadi panutan dalam menegakkan hukum di negeri ini malah menimbulkan kontroversi.

Di mana pun di dunia, jika Jaksa Agung berstatus tertuduh, harus dinonaktifkan, bukan dipecat karena belum terbukti bersalah. Sebab, tanpa berbuat apa pun, posisinya sebagai Jaksa Agung sudah menghalangi pemeriksaan, ujar HS Dillon, Direktur Eksekutif Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.

Tidak jelasnya penyelesaian kasus ini menandakan bahwa pemerintah tidak serius dalam memberantas KKN. Padahal, pemerintah harus melaksanakan Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Akhirnya negara yang kaya raya, gemah ripah loh jinawi, ini masuk ke dalam kelompok negara paling korup dengan masa depan yang gelap.

Akan tetapi, di tengah kegelapan itu muncul revolusi dari Sumatera Barat. Pengadilan Negeri (PN) Padang pertengahan Mei lalu memvonis tiga unsur pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumbar, H Arwan Kasri (Ketua), Ny Hj Hasmerti Oktini alias Titi Nazif Lubuk (Wakil Ketua), dan H Masfar Rasyid (Wakil Ketua), masing-masing 27 bulan penjara dan denda Rp 100 juta atau subsider dua bulan. Mereka terbukti melakukan tindak pidana korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2002 sebesar Rp 6,48 miliar.

Dalam persidangan lain yang melibatkan 40 anggota DPRD sebagai terdakwa, majelis hakim memvonis hukuman penjara (bagi mereka semua) masing-masing 24 bulan dan denda Rp 100 juta atau subsider dua bulan penjara serta mengembalikan uang negara sebanyak yang mereka korupsi, masing-masing berkisar Rp 64 juta sampai Rp 120 juta.

Seluruh anggota DPRD Sumbar oleh majelis hakim dinilai terbukti memperbesar pendapatan dari yang seharusnya dengan memasukkan anggaran sekretariat DPRD menjadi penghasilan tetap anggota DPRD. Penambahan penghasilan anggota DPRD di luar mata anggaran yang mencapai Rp 11 miliar lebih itu berasal dari tunjangan kehormatan, panitia musyawarah, panitia khusus, uang bensin, rumah dinas, dan polis asuransi.

Sebelum Padang, sebetulnya sudah ada upaya penegakan hukum di lingkungan legislatif daerah, tetapi masih sporadis. Misalnya vonis terhadap Ketua DPRD Surabaya Mochamad Basuki. Namun, setelah revolusi Padang menyala, pengungkapan kasus korupsi di legislatif terus bermunculan di daerah lainnya. Selain Sumbar, Kota Padang sendiri, dan Kota Payakumbuh, api revolusi menyala di Kabupaten Garut (Jawa Barat), Pontianak (Kalimantan Barat), Bandar Lampung, dan Banda Aceh.

Malah beberapa orang sudah mendekam di penjara, seperti Ketua DPRD Kota Payakumbuh Chin Star dan Ketua DPRD Kota Banda Aceh M Amin Said. Penegak hukum tidak ragu lagi bahwa telah terjadi penyalahgunaan APBD oleh politisi bermasalah yang menamakan dirinya wakil rakyat.

SEANDAINYA peristiwa ini terjadi di Republik Rakyat China dalam kepemimpinan perdana menterinya, Zhu Rongji, barangkali semua anggota DPRD Sumbar sudah dihukum mati. Zhu Rongji terkenal setelah memesan 100 peti mati, satu di antaranya untuk dia sendiri dan 99 lainnya bagi pejabat pemerintah yang terbukti korupsi. Dengan tindakannya, dia berhasil membawa China menjadi negara paling aman dalam berinvestasi.

Kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dilakukan para anggota DPRD Sumbar tidak hanya merugikan rakyat Sumbar dan merusak citra pejabat wakil rakyat, tetapi juga telah merecoki tatanan hukum negeri ini. Mereka telah menyebarkan virus korupsi ke semua daerah dan membuat para penegak hukum kehilangan pijakan setelah mereka mengajukan uji materi (judicial review) terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD.

Setelah Mahkamah Agung mengabulkan uji materi, tidak ada lagi rambu-rambu untuk kontrol publik terhadap sepak terjang para wakil rakyat di legislatif. Anggaran biaya operasional itu bisa dipakai untuk apa saja. Mau dipakai bayar rumah atau apa, terserah, sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota Dewan, demikian komentar Wakil Ketua DPRD Sumatera Selatan Zamzami Ahmad enteng.

Ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo menegaskan, pembatalan PP No 110/2000 yang secara substansi mendorong good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) justru mendorong penyalahgunaan wewenang legislatif dalam menyusun anggaran.

Semestinya anggota dewan menyadari peran dan batasan bertindak sehingga tidak berpandangan masa jabatan sebagai momentum untuk mengeruk uang. Kedudukan sebagai anggota dewan bukan berarti bisa bebas mengajukan anggaran sekehendak hati. Apalagi setelah pembatalan PP itu, para anggota DPRD seolah bebas bertindak mengajukan anggaran tanpa batasan normatif melampaui kewajaran.

PP No 110/2000 secara substantif masuk akal, tetapi karena alasan yuridis formal langsung dimentahkan hanya demi memenuhi asas lex inferiori derogat lex inferior atau produk hukum yang berkedudukan lebih kuat mengalahkan ketentuan hukum yang lebih rendah. Pasalnya, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 memberikan keleluasaan pengajuan anggaran sehingga kedua produk hukum ini saling bertentangan. Akhirnya terjadilah rangkaian kegiatan korupsi di sejumlah DPRD di seluruh Indonesia.

Tindak lanjut terhadap kasus korupsi DPRD seharusnya berwujud hukuman keras karena mereka termasuk pejabat publik yang seharusnya menjadi panutan. Sekarang, apakah hakim mau mengimplementasikan hukum terhadap kasus korupsi pejabat publik secara tegas. Aturan yang ada mengatur hukuman maksimal hingga pidana mati dengan pertimbangan negara berada pada keadaan krisis.

Korupsi merupakan kejahatan luar biasa sehingga memerlukan upaya ekstra atau nonkonvensional. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), peradilan in absentia, dan pembuktian terbalik harus berlangsung secara maksimal.

Seandainya dalam penanganan kasus korupsi tercium adanya pelanggaran oleh penegak hukum, KPK harus langsung bertindak. Sejauh ini belum terdengar aparat penegak hukum yang diperiksa KPK karena penyimpangan dalam penanganan kasus korupsi. Sambil memeriksa aparat, jika ditemukan bukti baru, tentu saja para koruptor itu harus segera diperiksa kembali.

MEREBAKNYA korupsi di DPRD sangat menyedihkan karena ini terjadi di era otonomi daerah yang seharusnya membawa locus decision making lebih dekat dengan rakyat. Dengan kedekatan itu diharapkan membuat keputusan benar-benar berpihak kepada rakyat, ujar HS Dillon. Namun, desentralisasi ini dibuat terburu-buru ketika pusat sedang kolaps sehingga seakan-akan melimpahkan ketidakmampuan pusat kepada daerah. Idealnya, desentralisasi didesain dan dibuat ketika pusat sedang kuat.

Kerawanan dalam penerapan otonomi daerah saat ini karena tidak dilakukan bertahap dengan memperhitungkan kapasitas daerah. Selain itu, provinsi dibuat tidak berdaya, padahal provinsi sepatutnya mengevaluasi dan memonitor pelaksanaan di daerah di bawahnya.

KKN berkembang dan terus meluas ke daerah karena adanya impunitas atau kekebalan hukum. Impunitas terbesar pada Soeharto. Sekitar enam bulan setelah Soeharto jatuh sempat terasa ada ketertiban karena orang takut. Tetapi lewat masa itu Soeharto tidak terbukti dan tidak bisa disentuh, muncul kekecewaan besar. Akibatnya, mengutip pendapat Hasyim Muzadi, setiap orang jadi punya insentif untuk hidup dengan uang haram. Tidak diberikan insentif untuk hidup halal.

Ini juga merupakan kegagalan para pemuka agama. Semua orang yang korupsi itu tidak bertuhan karena mereka pada dasarnya berlaku seperti orang yang tidak percaya pada hari kiamat.

Kecurangan itu pada dasarnya dikarenakan keinginan para pejabat untuk hidup mewah. Sebagai warisan sikap feodal, rakyat terbiasa memberi upeti dan mendukung pejabat hidup mewah. Itulah sebabnya, kolonialis Belanda bisa menjajah Indonesia dengan jumlah sumber daya manusia yang sebenarnya relatif sedikit. Karena itu, yang ada hingga saat ini adalah kawula, bukan warga negara.

Desentralisasi juga semakin mempertegas bukti bahwa bangsa ini belum terbentuk. Negeri ini menjadi semacam soft state. Di negara lunak semacam itu, kerangka berpikir orang tidak bisa melintasi diri, kerabat, keluarga, kelompok, dan mengidentifikasi dirinya dengan bangsa.

Di berbagai daerah, istilah putra daerah yang makin ramai seiring maraknya otonomi membuktikan hal itu. Pada dasarnya itu bukan perkara memperjuangkan putra daerah, tetapi mengejar jabatan. Wewenang itu tidak dimanfaatkan dengan rasa sebangsa.

Sentralisasi di era Orde Baru mengakibatkan terjadinya pembangunan tidak merata. Ini yang menjadi akar korupsi. Penyebab lainnya adalah terus-menerus terjadi impunitas hingga hari ini; tidak ada koruptor atau hakim yang menyeleweng yang dihukum.

Belajarlah dari Korea Selatan yang bisa mengadili dan menghukum mantan presiden dan jenderal-jenderal, kata Dillon menyarankan. Untuk itu butuh pemimpin yang mencintai rakyat. Dengan begitu, penegakan hukum bukan atas dasar dendam, tetapi cinta kepada rakyat.

Bangsa ini tidak hanya butuh reformasi, tetapi butuh revolusi seperti yang dilakukan Sumatera Barat. Jika api revolusi ini terus memanasi hati nurani para penegak hukum di seantero negeri, niscaya bangsa ini akan segera bangkit kembali. Bukankah republik ini terkenal dengan ketidakpastian hukumnya. (ong/day/dmu)

Sumber: Fokus Kompas, 12 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan