Revitalisasi Industri Kehutanan di Negeri Pungli, Mungkinkah?

Memasuki hutan-hutan pedalaman Kalimantan Tengah saat musim hujan menjadi mengasyikkan. Di hutan gambut itu belasan kilometer sungai dan kanal-kanal buatan akan dipenuhi kayu log hasil penebangan liar. Untaian kayu bulat berbagai jenis memanjang hingga satu kilometer, ditarik menggunakan perahu kelotok (perahu bermesin) menuju muara sungai. Sesampainya di muara sungai kayu-kayu dirakit ulang dan siap dijual ke penggergajian.

HANYA dengan cara itulah ratusan industri kayu di sekitar Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Kalimantan Selatan (Kalsel) menggantungkan hidup. Di tepi Sungai Barito, misalnya, hampir semua tempat penggergajian kayu bergantung pada pasokan kayu seperti ini. Pasokan kayu itu lambat laun menyusut akibat kebijakan revitalisasi industri. Banyak cukong memilih tiarap dan akibatnya ratusan unit industri terpaksa berhenti total. Sebagian masih beroperasi dengan mengandalkan kayu limbah.

Ketua Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) yang juga Ketua Asosiasi Pengusaha Kayu Gergajian dan Kayu Olahan Indonesia (Indonesian Sawmill and Wood Working Association/ISWA) Soewarni mengakui, industri kehutanan kini memang sedang menjerit dan satu per satu berjatuhan.

Namun, matinya industri kehutanan merupakan seleksi alam, bukan diciptakan. Industri yang bergantung pada bahan baku ilegal akan mati. Hanya industri efisien dengan pasokan legal yang bisa bertahan, inilah revitalisasi industri, katanya. Revitalisasi industri kehutanan telah melahirkan musim gugur bagi industri kehutanan yang selama ini nakal. Kebijakan itu diharapkan mampu menertibkan industri yang tidak jelas.

Zaman dulu tukang bakso itu sampai bisa mengekspor kayu, sekarang tidak bisa lagi. Lontaran Soewarni itu melukiskan betapa semrawutnya kondisi industri kehutanan masa lalu. Ketua Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki) Nana Suparna membenarkan, dari tahun ke tahun jumlah industri kehutanan dan HPH terus turun. Pada rentang 1992- 2004 setiap tahunnya tak kurang dari 25 HPH berguguran.

Tahun 1992 tercatat 567 HPH dan 2004 tinggal 255 HPH. Dari sisi produksi juga terus menurun, tahun 1990/1991 produksi mencapai 23,58 juta meter kubik dan pada 2004 berdasarkan jatah tebang hanya 5,7 juta meter kubik.

Seiring dengan semakin habisnya bahan baku kayu, industri kayu harus mau ditata. Industri yang sebelumnya jumlahnya tidak diketahui kini diwajibkan mendaftarkan diri. Eksportir diwajibkan mengajukan Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK).

Hingga 15 Februari 2005 sudah tercatat 4.218 industri kayu berorientasi ekspor mendaftarkan diri dan telah mendapatkan ETPIK. Jumlah itu di luar dugaan BRIK yang hanya memperkirakan sekitar 2.000 industri. Pertanyaannya, apakah semua industri itu benar-benar menggunakan bahan baku legal?

Soewarni mengatakan, apa yang dilakukan BRIK baru tahap pendataan administrasi. Belum sampai pada verifikasi sehingga belum diketahui legalitas bahan baku.

Kami masih menunggu surat keputusan dari Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian untuk melaksanakan verifikasi, kata Soewarni yang berharap BRIK akan menjadi pusat informasi ekspor industri kehutanan Indonesia.

DATA Departemen Kehutanan menunjukkan, industri masih memiliki banyak cara berkelit dari aturan. Ketentuan soft landing yang mematok jatah produksi tebang (JPT) tiap tahunnya ditabrak.

Terbukti dari data realisasi JPT tiap tahunnya yang rata-rata hanya 37 persen. Kepala Pusat Informasi Kehutanan Departemen Kehutanan Transtoto Handhadari mengatakan tahun 2004 realisasi JPT hanya 23,1 persen dari 5,7 juta meter kubik yang disediakan.

Padahal, kebutuhan industri tak kurang dari 42 juta meter kubik. Transtoto mengakui rendahnya realisasi JPT mengindikasikan banyak industri memanfaatkan kayu ilegal. Biaya produksi kayu ilegal memang murah, hanya Rp 200.000 per meter kubik, sementara kayu legal mencapai Rp 350.000, katanya.

Menteri Kehutanan MS Kaban mengungkapkan realisasi ekspor kayu tahun 2004 ternyata membutuhkan bahan baku mencapai 17 juta meter kubik dengan nilai 7,4 miliar dollar AS. Tak diragukan lagi, berarti masih banyak industri legal yang memanfaatkan kayu ilegal.

Wakil Sekjen Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) yang juga Direktur Eksekutif Wana Aksara Agung Nugraha menilai banyaknya industri yang menggunakan bahan baku ilegal itu bisa dijelaskan. Ketika jatah tebang dibagi ke provinsi dan kemudian dibagi ke masing-masing HPH, banyak perusahaan yang tidak menebang karena jika memaksakan menebang akan merugi, tutur Agung.

Bagi HPH, penebangan dianggap ekonomis jika setiap bulan menghasilkan minimal 3.000 meter kubik atau 36.000 meter kubik per tahun. Karena banyak perusahaan yang menerima JPT di bawah angka ekonomis, banyak yang akhirnya tidak menebang.

Persoalan lainnya terkait dengan banyaknya pungutan yang menjadikan kayu ilegal lebih murah daripada kayu legal. Pos-pos pemeriksaan angkutan kayu bulat tanpa dasar hukum yang jelas masih terus berdiri.

Agung mencontohkan kasus di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng. Kayu bulat yang dilengkapi dokumen sah harus melapor ke enam pos dengan membayar pungutan Rp 100.000 sampai Rp 1 juta.

Angkutan kayu bulat yang melewati Sungai Barito dari Muara Teweh, Kalteng, ke Banjarmasin, Kalsel, juga melewati 13 pos dengan pungutan hingga Rp 5 juta per pos. Karena pungutan itu, wajar jika industri tepi Sungai Barito mulai eksportir hingga perajin jukung (perahu khas Kalsel) tidak bisa membeli kayu legal. Ini benar- benar negeri pungutan, papar Agung.

Tingginya pungutan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Ini bertentangan dengan komitmen Menteri Kehutanan untuk menciptakan kayu legal jauh lebih murah dibanding kayu ilegal, kata Agung.

Pungutan liar (pungli) diperkirakan mencapai 10 persen sampai 12 persen dari biaya produksi per meter kubik kayu legal. Jelas ini akan mendorong konsumen mencari barang murah dan pilihannya jatuh pada kayu ilegal.

Daya saing produk-produk perkayuan nasional juga menurun. Di pasar internasional industri perkayuan dihantam kompetitor produk-produk kehutanan negeri jiran yang jauh lebih murah karena mereka memanfaatkan kayu selundupan dari Indonesia.

PIHAK Persaki mengungkapkan keprihatinan yang sama. Hingga saat ini aparat baru berani mengobok-obok pengusaha legal. Pengusaha ilegal justru mendapat beking karena kegiatan ilegal dianggap lebih bermurah hati memberikan kontribusi pungutan daripada yang legal. Karena itu, Persaki berpendapat, kunci pertama untuk bisa keluar dari psikologi kehutanan yang buruk ini adalah peningkatan kinerja aparat hukum.

Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi mengungkapkan modus kecurangan lainnya. Sekitar 50 persen industri pengolahan kayu selama tiga tahun terakhir bukannya kekurangan bahan baku, melainkan justru berlebih.

Kelebihan pasokan itu merupakan andil dari dinas kehutanan provinsi. Industri dibiarkan mendapatkan bahan baku dan berproduksi sebelum Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) disetujui Departemen Kehutanan.

Ini juga menjadi penjelas mengapa realisasi JPT 2004 hanya 23,1 persen. Elfian mengatakan pemanfaatan kayu dari izin lainnya yang sah (ILS) seperti dari izin pemanfaatan kayu (IPK) yang dikeluarkan daerah mencapai 60 persen per tahun.

Padahal, sejak lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2002 yang diterbitkan Juni 2002, ILS dan HPH 100 hektar telah dianggap sebagai perizinan ilegal.

Agung membenarkan dalam tiga tahun terakhir pemenuhan pasokan bahan baku lebih mengandalkan tebangan 100 hektar. Izin kegiatan tebangan 100 hektar ini dikeluarkan para bupati.

Kayu tebangan 100 hektar tidak membutuhkan biaya perencanaan, biaya pembukaan wilayah hutan (pembuatan jalan), maupun biaya pembangunan sarana prasarana. Dari sisi biaya produksi jelas jauh lebih murah, ujar Agung.

Parahnya, para pengusaha kayu tebangan 100 hektar selalu mengantongi lebih dari satu izin. Beberapa di antaranya dalam satu tahun bisa memperoleh hingga 10 sampai 20 izin yang ekuivalen dengan 1.000 hingga 2.000 hektar.

Tidak hanya itu, pemegang izin tebangan 100 hektar didominasi pemain besar saja. Dengan demikian, secara de facto tebangan 100 hektar merupakan reinkarnasi kegiatan HPH. Hanya secara de jure tanpa kewajiban rehabilitasi, konservasi, dan sosial.

Masa depan industri kehutanan republik ini tidak akan segera cerah selama praktik akal-akalan seperti ini terus berlangsung. Jangan-jangan persoalan revitalisasi kehutanan bukan terletak pada ketersediaan bahan baku, melainkan semata pada penegakan hukum. (Amir Sodikin)

Sumber: Kompas, 5 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan