Revitalisasi Badan Kehormatan DPR

Pemberhentian KH Aziddin, anggota Fraksi Partai Demokrat, dari keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat oleh Badan Kehormatan DPR seakan memunculkan harapan baru di Senayan. Lembaga internal yang dibentuk dengan mandat menegakkan kode etik DPR ini mulai menunjukkan taringnya terhadap laporan pelanggaran kode etik yang memang jamak dilakukan anggota DPR.

Toh, meski hal ini banyak mendapat apresiasi dan menjadi preseden bagi perbaikan internal di DPR, publik tetap mempertanyakan adanya indikasi tebang pilih di bawah justifikasi jenis pelanggaran: ringan, sedang, dan berat. Beberapa kasus pelanggaran kode etik sebelumnya, seperti pelesiran ke luar negeri tanpa hasil yang jelas, percaloan anggaran, serta ketidakpatuhan dalam pelaporan harta kekayaan pejabat negara, tentu saja tidak bisa dianggap remeh dan mengalami pembiaran tanpa sanksi yang tegas.

Pemimpin dan Badan Kehormatan DPR harus memberikan perhatian yang serius atas sorotan publik ini karena indikasi tebang pilih dalam penjatuhan sanksi telah memunculkan beragam spekulasi. Secara politik, penerapan sanksi yang berbeda antara kasus percaloan pemondokan serta katering haji dan kasus percaloan anggaran dan amplop RUU Pemerintahan Aceh dipandang diskriminatif. Keputusan ini dapat dimaknai sebagai perbedaan perlakuan karena beda partai atau bahkan bisa lebih jauh dari itu, yakni sebagai upaya mendiskreditkan partai tertentu. Secara prosedural, pemrosesan kasus percaloan pemondokan dan katering haji juga terkesan sangat cepat seakan menyambut bola--berbeda dengan pemrosesan kasus lain yang terkesan pasif dan ogah-ogahan meski isunya sudah cukup santer dibicarakan publik. Keaktifan Badan Kehormatan DPR dalam menyikapi isu etis yang ada di DPR secara prosedural masih menjadi hambatan utama.

Badan Kehormatan DPR seharusnya sudah secara aktif menyikapi berbagai laporan justru sebelum hal itu menjadi isu publik dengan mengambil langkah meminta klarifikasi dari anggota yang sedang disoroti berkaitan dengan kasus tersebut. Langkah menunggu bola Badan Kehormatan DPR ini sangat kontraproduktif dalam upaya meningkatkan citra DPR yang kian terpuruk. Ketidakaktifan Badan Kehormatan DPR juga sedikit-banyak berperan dalam ikut membiarkan individu anggota DPR mendapatkan justifikasi kotor di mata publik, meski mungkin saja yang bersangkutan belum tentu melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib atau kode etik DPR.

Ke depan, inisiatif harus lebih sering diambil Badan Kehormatan DPR. Jika perlu, Badan Kehormatan DPR harus memiliki pasukan pencari fakta untuk menggali kasus-kasus etis di DPR. Inisiatif ini dapat diambil karena sebenarnya tidak ada larangan untuk melakukan hal ini di dalam Tata Tertib DPR (pasal 60), tapi sebaliknya kewenangan untuk melakukan klarifikasi cukup jelas (pasal 59). Badan Kehormatan DPR bahkan bisa memberikan masukan untuk perubahan Tata Tertib DPR jika dirasa kurang mendukung kerja-kerjanya, apalagi jelas sekali peran Badan Kehormatan DPR dalam upaya meningkatkan citra DPR di mata publik.

Pengaturan di dalam tata tertib bahwa rapat-rapat Badan Kehormatan DPR bersifat tertutup juga seharusnya tidak diartikan bahwa Badan Kehormatan tidak memiliki wewenang untuk menjelaskan kepada publik hasil proses penelusuran dan persidangan yang dilakukannya, termasuk pertimbangan yang digunakan. Meski bertanggung jawab kepada pemimpin DPR, Badan Kehormatan DPR tetap harus mendampingi pemimpin DPR dalam menjelaskan secara terperinci penilaian yang diberikan atas penjatuhan sanksi.

Hal inilah yang kemudian menyebabkan penilaian yang tidak sepenuhnya positif dari publik atas sanksi yang diberikan Badan Kehormatan DPR terhadap Aziddin. Publik menilai kategorisasi yang dibuat Badan Kehormatan DPR atas berat-ringannya pelanggaran masih belum terjelaskan benar dan menjadi isu menarik ketika kasus Aziddin dibandingkan dengan kasus indikasi pelanggaran etik yang lain. Hal ini menjadi rancu karena terhadap kasus lain, selain tidak memberikan sanksi, Badan Kehormatan DPR tidak memberikan rehabilitasi, padahal ini wajib dilakukannya sesuai dengan ketentuan pasal 63. Karena itulah soal keterbukaan (transparansi) dalam hal ini menjadi isu penting untuk didorong berkaitan dengan hasil-hasil pemeriksaan Badan Kehormatan DPR.

Perubahan Badan Kehormatan DPR ke depan harus difokuskan pada penyingkiran hambatan prosedural ataupun politik dalam pemrosesan indikasi pelanggaran tata tertib dan kode etik DPR. Badan Kehormatan DPR ke depan harus lebih proaktif dalam menyikapi isu yang berkembang di publik ataupun laporan masyarakat mengenai indikasi pelanggaran kode etik anggota DPR. Karena itulah Badan Kehormatan DPR harus menyusun strategi dan sistem pengawasan yang efektif terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi DPR. Bagaimana mencegah dan mengontrol kemungkinan terjadinya percaloan anggaran, misalnya, harus mulai dipikirkan Badan Kehormatan DPR. Demikian juga dalam mengontrol kelakuan anggota DPR di masa reses. Penggunaan anggaran daerah untuk memfasilitasi anggota DPR ketika turun gunung berjumpa dengan konstituen juga seharusnya tidak terjadi lagi dan harus ditemukan mekanisme pencegahan dan pengawasannya. Demikian pula amplop yang kerap beredar di tengah pembahasan rancangan undang-undang di DPR.

Selain memperbaiki sistem penanganan kasus dan pengawasan, Badan Kehormatan DPR harus mulai menjalin kerja sama dengan instansi terkait, misalnya KPK, dalam kaitan dengan tindak lanjut temuan Badan Kehormatan DPR yang berindikasi kuat terjadi tindak pidana korupsi. Akan menjadi soal jika sanksi terhadap tindak penyalahgunaan wewenang untuk mencuri uang rakyat hanya sampai pada sanksi politis. Mekanisme pertanggungjawaban publik atas laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan Badan Kehormatan DPR juga harus dirumuskan formatnya. Ini penting untuk mencegah timbulnya interpretasi publik yang justru akan mengurangi nilai keabsahan keputusan Badan Kehormatan DPR di mata publik. Wacana menjadikan Badan Kehormatan DPR sebagai salah satu sistem perimbangan kekuatan (checks and balances) di DPR juga pantas didorong. Partai yang memposisikan diri sebagai oposisi pemerintah seharusnya merebut posisi penting di Badan Kehormatan DPR. Hal ini penting jika melihat posisi DPR yang sekarang terkesan kurang bergigi di mata pemerintah, bahkan praktek tercela sering diinisiasi oleh pemerintah (misalnya amplop RUU Pemerintahan Aceh). Diharapkan, jika dipegang kalangan oposisi, Badan Kehormatan DPR dapat lebih tegas dan mengubah kemesraan yang selama ini terjadi antara DPR dan pemerintah menjadi sebentuk kemitraan kritis.

Ibrahim Fahmy Badoh,ANGGOTA BADAN PEKERJA INDONESIA CORRUPTION WATCH

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 31 Juli 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan