Revisi UU Tindak Pidana Korupsi; Terapkan Pembuktian Terbalik

Pemerintah dan DPR didesak segera mengadopsi pasal pencucian uang ke dalam draf revisi Undang-undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Dengan pasal tersebut, mekanisme pembuktian terbalik dapat dipraktikkan di Pengadilan Tipikor.

Dalam pembuktian terbalik, bukan jaksa yang membuktikan terdakwa bersalah, melainkan terdakwa sendiri yang harus membuktikan bahwa kekayaannya diperoleh dari hasil yang sah. Langkah itu diperlukan untuk memberantas korupsi yang modus operandinya semakin rapi.

Hal itu dikatakan Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah dalam diskusi ”Modernisasi Kejahatan Korupsi dan Upaya Pemberantasannya”, di Jakarta, Minggu (13/11).

Febri mencontohkan, pembuktian terbalik terbukti sukses menjerat terpidana korupsi pajak Bahasyim Assifiie saat diadili di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan akhir tahun lalu. Awalnya, Bahasyim hanya dijerat pasal pemerasan senilai Rp 1 miliar terhadap wajib pajak Kartini Muljadi.

”Namun dalam dakwaan jaksa, diketahui lalu lintas rekening Bahasyim tidak wajar. Jumlah hartanya Rp 64 miliar dengan gaji pejabat pajak sekitar Rp 20-an juta. Hakim memerintahkan Bahasyim membuktikan uangnya legal, tetapi Bahasyim tidak bisa. Ini kasus unik,” jelasnya.

Bahasyim akhirnya dihukum 10 tahun penjara oleh PN Jaksel dan saat ini masih dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung (MA). Tak hanya itu, seluruh harta Bahasyim disita untuk negara.

”Ini yang ditakuti koruptor, pemiskinan dengan merampas hartanya. Bisa untuk membiayai pelayanan publik, fasilitas umum, atau untuk negara. Sebab, koruptor tidak takut dipenjara. Koruptor hanya takut miskin. Itu sesuai dengan ungkapan uang adalah darah kejahatan,” tandas Febri.

Ia menambahkan, dengan penerapan pasal pencucian uang, tidak hanya sumber dan aktor korup yang yang dijerat, melainkan juga para penikmat uang panas tersebut.

”Kenapa pencucian uang harus diterapkan, karena harus mengubah pendekatan (dalam UU Tipikor) dari follow the suspect menjadi follow the money. Cari siapa yang menikmati uang hasil korupsi,’’ kata Febri.

Selain itu, dengan pasal pencucian uang dapat menjerat aktor korup selain pejabat negara dan pegawai negeri.

”UU Tipikor belum menyasar pejabat nonpegawai negeri dan nonpejabat negara. Seperti korupsi di parpol, apakah bisa diusut dengan UU Tipikor? Susah, panjang. Kalau dengan UU Pencucian Uang, itu bisa,’’ tandasnya.

Cara Wajar

Pendapat senada dikatakan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Laode Ida. Menurutnya, jika mau benar-benar bersih dan membebaskan Indonesia dari koruptor, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya meminta penegak hukum segera menerapkan pembuktian terbalik.

”Terapkan pembuktian terbalik itu segera, untuk memastikan harta milik mereka (orang yang dituduh korupsi) diperoleh secara wajar,” tandasnya.

Ia mencontohkan, apa yang dituduhkan tersangka korupsi wisma atlet M Nazaruddin harus ditindaklanjuti, yakni mengenai keterlibatan nama-nama elite partai binaan SBY. Apalagi, tindak pidana korupsi, termasuk suap, tidak mungkin berlangsung hanya karena perbuatan Nazaruddin sendiri.

Karena itu, dia mengingatkan, hanya dengan langkah-langkah terobosan khusus, termasuk penerapan pembuktian terbalik, dimulai dari lingkup politikus dan pejabat binaan presiden, barulah kita memperoleh hasil konkret yang diharapkan.

”Dengan langkah-langkah konvensional sekarang, apalagi hukum nyatanya bisa direkayasa berdasarkan kepentingan politikus dan elite kekuasaan tertentu, membuat lembaga-lembaga penegakan hukum sulit membongkar tuntas berbagai tindak pidana korupsi,” katanya.

Di Surabaya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, polemik pembubaran Pengadilan Tipikor daerah tidak perlu dikhawatirkan.

”Saya menilai wacana pembubaran itu mengarah pada situasi yang baik, sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Tidak apa-apa itu, ada yang tidak setuju, yang setuju juga banyak,” tegas Mahfud di sela-sela acara bedah buku ’’Negara Paripurna’’ di kantor DPD PDIP Jatim.

Menurut Mahfud, kemungkinan menarik dan memusatkan Pengadilan Tipikor di Jakarta sangat mungkin dilakukan. Ia tidak sependapat dengan sebagian pihak yang khawatir keberadaan Pengadilan Tipikor hanya di Jakarta akan membuat penanganan korupsi di daerah menelan biaya tinggi. (G14,dtc,ant-59)
Sumber: Suara Merdeka, 14 November 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan