Revisi UU Komisi Yudisial di Persimpangan Jalan
Berdirinya Komisi Yudisial (KY) pada 2 Agustus 2005 ibarat sebuah tunas muda yang tumbuh di tanah yang gersang. Ditengah maraknya praktek mafia peradilan, dan tidak efektifnya pengawasan internal Mahkamah Agung (MA), maka pengawasan eksternal oleh KY sebagai sistem check and balances pada lembaga yudikatif memberikan harapan besar akan adanya perubahan.
Berdirinya Komisi Yudisial (KY) pada 2 Agustus 2005 ibarat sebuah tunas muda yang tumbuh di tanah yang gersang. Ditengah maraknya praktek mafia peradilan, dan tidak efektifnya pengawasan internal Mahkamah Agung (MA), maka pengawasan eksternal oleh KY sebagai sistem check and balances pada lembaga yudikatif memberikan harapan besar akan adanya perubahan.
Kewenangan pengawasan KY adalah salah satu amanat konstitusi yaitu untuk menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Wewenang konstitusional KY itu kemudian disebutkan dalam pasal 20-23 Undang-Undang KY Nomor 22 Tahun 2004.
Namun sudah dua tahun ini, fungsi, tugas, dan kewenangan pengawasan KY ‘mati suri’. Tepatnya setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memangkas kewenangan tersebut saat memutus permohonan judicial review UU KY pada 23 Agustus 2006. Bahkan dalam putusannya, MK juga menegaskan diri sebagai lembaga ‘untouchable’ di negeri ini dengan memutuskan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk sebagai pihak yang diawasi oleh KY.
Dengan adanya putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 itu, maka harus dilakukan revisi UU KY. Revisi UU ini tidak bisa berjalan sendiri, tetapi harus disinkronkan dengan revisi UU MA dan UU MK. Sayangnya, hingga kini revisi belum selesai dan masih dalam pembahasan di DPR RI.
Putusan MK disatu sisi memang memperlambat laju pembersihan peradilan melalui KY. Ditengah kondisi peradilan yang masih buruk rupa, dihilangkannya fungsi pengawasan eksternal hakim jelas ‘membahagiakan’ mafia peradilan. Tetapi disatu sisi, harus diakui bahwa putusan MK memberikan peluang penguatan UU KY yang mengandung begitu banyak kelemahan.
Pelemahan KY
Harus diakui bahwa KY mempunyai tugas yang berat, namun sayang sejak awal tidak diberi instrumen hukum yang kuat sehingga hasil dari pembersihan korps pengadilan masih jauh dari harapan. Ketentuan-ketentuan dalam UU KY yang mengatur pengawasan posisinya lemah, tumpang tindih dengan UU lain, dan banyak membatasi kewenangan KY. Akibatnya, langkah KY selalu diabaikan atau justru mendapat pertentangan kuat dari MA sebagai pemegang kekuasaan tertinggi kehakiman.
Ketentuan yang lemah misalnya: Pertama, terkait pemeriksaan hakim atas dugaan pelanggaran perilaku (pasal 22 ayat (1) huruf c). Bagaimana akan memeriksa hakim, kalau menghadirkan saja sulitnya minta ampun? Dari sejumlah hakim yang dipanggil KY, terdapat sederet nama hakim (termasuk hakim agung) yang sengaja tidak bersedia datang atau justru diperintahkan tidak hadir oleh pimpinan MA. Bahkan, pucuk pimpinan MA yaitu Bagir Manan memberikan contoh ‘pembangkangan’ atas panggilan pemeriksaan KY terkait kasus suap 5 staf MA dengan pengacara Probosutedjo.
Penolakan pemeriksaan KY jelas mengingkari pasal 22 ayat (3) yang menyatakan bahwa peradilan atau hakim wajib memberikan keterangan yang diminta KY paling lambat 14 sejak permintaan KY diterima.
Terhadap sikap penolakan itu, sebenarnya UU KY juga memberikan celah. Dalam pasal 22 ayat (4) disebutkan “Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta.” Bila masih belum berhasil juga, maka KY merekomendasi sanksi pada pimpinannya. Namun, mekanisme tersebut tidak menjawab persoalan ketika pucuk pimpinannya pun juga dalam posisi menentang KY.
Pengaturan pemberian sanksi oleh KY juga sangat mengkerdilkan peran KY. Hal ini disebabkan penjatuhan sanksi terhadap hakim ‘nakal’, sangat tergantung pimpinan MA atau MK. Rekomendasi KY disampaikan lebih dahulu pada pimpinan MA atau MK, kemudian hakim yang direkomendasi bersalah diberi kesempatan membela diri di depan MKH/Majelis Kehormatan Hakim. Bila pembelaan ditolak MKH, maka usul pemberhentian hakim diajukan ke Presiden paling lama 14 hari sesudah ditolak MKH. (Pasal 23 ayat (4) dan (5)). Sedangkan perlu dicatat, orang-orang yang berada dalam MKH ini berasal dari internal mereka sendiri, maka tidak mustahil semangat esprit de corpsnya sangat kental. Lantas apa yang akan dilakukan bila MA tidak membentuk MKH?
Karena semua keputusan tergantung pada pucuk pimpinan MA dan MK, maka rekomendasi KY seperti hanya sebatas diatas kertas saja. Menurut laporan KY hingga Maret 2008, dari 3500 pengaduan, KY telah memberikan rekomendasi sanksi terhadap 27 hakim kepada MA. Tetapi tidak ada satupun rekomendasi itu yang digubris MA.
[1]
Dalam laporan MA 2007 yang dibacakan Ketua MA Bagir Manan pada 11 April 2008, MA mengklaim telah memberikan sanksi terhadap 18 hakim.
[2]
Tetapi kebenaran pemberian sanksi itu sulit diverifikasi apakah benar atau hanya sebatas angka-angka semata. Hal ini disebabkan karena MA tidak membuka nama hakim bermasalah tersebut, seperti pemberian sanksi di lembaga lain. Di Kepolisian misalnya, pemberian sanksi dilakukan didepan peserta upacara, dan media dapat meliputnya. Ketertutupan MA tidak hanya berlaku bagi masyarakat awam, bahkan KY pun tidak mengetahui apakah 18 hakim yang diberi sanksi MA itu termasuk dalam 27 hakim yang direkomendasikannya.
Beberapa hakim yang direkomendasikan sanksi oleh KY diantaranya adalah: 5 anggota majelis hakim yang membebaskan terdakwa kasus korupsi dan illegal logging Adelin Lis, 3 anggota majelis hakim PN Jakarta Selatan yang membebaskan terdakwa mantan Direktur Bank mandiri ECW Neloe cs, dan 2 hakim di Pengadilan Tipikor yang menolak menghadirkan Bagir Manan sebagai saksi kasus suap 5 staf MA.
Dari semua hakim yang direkomendasi bersalah oleh KY, memang ada yang juga diberi sanksi oleh MA yaitu Ketua PT Jawa Barat Nana Juwana dalam perkara pilkada Depok. Meski demikian, harus digaris bawahi bahwa sanksi oleh MA bukanlah menjalankan rekomendasi KY. Tetapi mereka menjalankan rekomendasi dari majelis kerhomatan buatan MA sendiri, seperti diungkapkan pihak MA. Namun dalam perjalanannya, terlihat bahwa sanksi terhadap Nana Juwana yang ditarik ke MA hanyalah basa-basi belaka. Selang satu tahun penarikan, Nana Juwana justru dipromosikan menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Tengah.
Semangat Pembubaran KY
Dengan segala keterbatasannya, sejak mulai bekerja, KY terlihat berusaha sekuat tenaga menjalankan fungsi pengawasan yang dimiliki meskipun terus mendapat pertentangan. Sikap MA juga terlihat jelas menolak eksistensi KY, atau secara ekstrimnya ingin membubarkan KY. Fase panas MA-KY ini secara umum dapat dibagi menjadi dua jilid yaitu sebelum dan sesudah putusan MK.
Pertentangan MA Jilid I mulai terlihat saat KY menangani pengaduan kasus sengketa Pilkada Depok pertengahan tahun 2005. Sepertinya MA ‘tertampar’ oleh KY sebagai lembaga yang baru lahir sehingga rekomendasi sanksi itu dibiarkan saja dan MA tidak pernah membalas satupun surat KY. Sikap MA kemudian membuat KY melontarkan gagasan melakukan kocok ulang atau seleksi ulang seluruh hakim agung di MA diawal 2006.
MA makin panas ketika 13 nama hakim agung yang diadukan oleh masyarakat ke KY bocor di media pada 24 Januari 2006 Selanjutnya, para hakim agung itu melaporkan pimpinan KY dan sekjen ke Mabes Polri dan Polda Metro Jaya. Pada periode itu, secara mengejutkan muncul “Dokumen Sunter” yang juga bocor pada media. Dokumen itu menunjukkan berlangsungnya rapat 8 hakim agung dengan pengacara di Hotel Danau Sunter Jakarta Utara pada 2 Februari 2006 dan ada pembicaraan mengenai pembubaran KY.
[3]
Konflik terus berlanjut hingga akhirnya awal 2006, 31 hakim agung mengajukan judicial reviuw UU KY. Gayung pun bersambut, MK kemudian menyatakan pasal-pasal pengawasan KY karena bertentangan dengan UUD 1945.
Pertentangan Jilid II mulai terlihat setelah MA melalui juru bicaranya Djoko Sarwoko mengusulkan pencoretan KY dari Bab IX UUD 1945. Alasan yang dikemukakan MA mengenai hal tersebut juga terkesan mengada-ada. Juru bicara MA mengatakan keberadaan KY dalam lingkup kekuasaan kehakiman mengakibatkan hakim menjadi tidak independen dalam melaksanakan tugasnya.
[4]
Sikap penolakan tersebut jelas menunjukkan arogansi MA yang tidak mau diawasi oleh pihak eksternal. Padahal kenyataannya, selama ini hakim selalu berlindung dibalik independensinya meskipun tidak semuanya murni untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Independensi memang dibutuhkan, namun di satu sisi, harus disadari independensi itu sangat rentan dimanfaatkan hakim untuk ‘bermain’ dalam menangani perkara. Kesan yang muncul, dengan independensi, maka hakim bisa melakukan apa saja semaunya.
Reformasi MA dan Mafia Peradilan
Musuh utama KY adalah mafia peradilan yang tidak mustahil mereka duduk di kursi kepemimpinan dan nyaman dalam tirani ketertutupan MA. Sebenarnya MA sudah menyatakan diri berubah untuk terwujudnya transparansi dan akuntabilitas. Hal ini misalnya terlihat dari penyusunan Blue Print/ cetak biru pembaharuan MA yang disusun bersama Bappenas dan lembaga lain.
Di dalam Blue Print itu, ditegaskan visi MA yaitu “mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif, efisien serta mendapatkan kepercayaan publik, profesional dan memberi pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau, dan biaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik.”
Dalam bidang organisasi beberapa perubahan terlihat nyata misalnya terwujudnya system peradilan satu atap di bawah MA. Aturan lain yang muncul dari MA adalah Pedoman Perilaku Hakim yang memperbolehkan hakim menerima parsel dan hadiah maksimal Rp 500 ribu. MA sepertinya terlalu permisif pada hal-hal yang berpotensi menjadi masalah atau menjadi suap.
Untuk mengatasi penyimpangan dalam peradilan, MA berupaya mewujudkan transparansi dan akuntabilitas diantaranya dengan dikeluarkannya SK KMA Nomor 144 Tahun 2007 tentang Keterbukaan Informasi Peradilan. Salah satu poin penting dalam SK KMA adalah publik (bukan hanya pihak berperkara) dapat mengakses putusan pengadilan yang sudah dijatuhkan. Ketentuan itu perlu diapresiasi. Sayangnya, ketika SK KMA tersebut di uji coba baik di Jakarta maupun didaerah, hasilnya mengecewakan. Sementara, pengumuman putusan pengadilan di masing-masing website juga masih sangat jauh dari harapan.
Memang telah banyak perubahan-perubahan yang dilakukan MA paska penyusunan Blue Print. Tapi secara umum dapat dikatakan, perubahan itu masih dilakukan sekedarnya atau setengah-setengah. Bahkan ada kecenderungan para pimpinan mendengungkan reformasi, tetapi di tataran implementasi masih banyak pegawai yang tidak mengethaui atau pura-pura tidak tahu.
Sejak diluncurkan 2003 hingga 2008, dapat dikatakan bahwa Blue Print pembaharuan MA terbukti belum berhasil dalam memberantas mafia peradilan. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari berbagai laporan atau survey terhadap lembaga yang sekarang dibawah pimpinan Bagir Manan ini.
Survey terbaru dari The Political and Economic Risk Consulting (PERC) di Hongkong tahun 2008 menyatakan bahwa peradilan di Indonesia adalah yang terburuk di ASIA Asia.
[5]
Sebelumnya, survey Transparansi Internasional Indonesia (TII) selama 5 tahun berturut-turut sejak 2004 menyatakan lembaga peradilan sebagai 5 lembaga terkorup di Indonesia. Survey Kompas tahun 2006 menyebutkan, 62% responden menilai MA bercitra buruk, 89,1 menyatakan keputusannya beraroma KKN, dan 70 persen menyatakan kinerjanya tidak memuaskan. Dalam laporan tahunan Komisi Ombudsman tahun 2005, lembaga yang paling banyak diadukan adalah pengadilan yaitu sebanyak 35 % dari 3902 pengaduan.
Meski pembaharuan MA telah dimulai sejak 2003, namun praktek dagang keadilan paska Blue Print, masih banyak ditemui. Beberapa yang mencuat misalnya: Pertama, kasus suap senilai Rp 5 miliar antara 5 pegawai MA dengan Harini Wijoso, Kedua, pemerasan oleh hakim PN Jakarta Selatan Herman Allositandi dibantu paniteranya Jimmy Lumanow memeras saksi perkara Jamsostek Walter Sigalingging.Ketiga, pemerasan oleh James Darsan Tony, pegawai litbang MA terhadap pihak berperkara.
Selama ini korps hakim menyangkal adanya praktek mafia peradilan, tetapi hal ini pernah diungkapkan oleh almarhum Ketua Muda Bidang Pengawasan MA, Gunanto Suryono. Menurutnya sekitar 30 persen hakim yang bermasalah di peradilan Indonesia pada umumnya menjabat sebagai ketua pengadilan negeri dan ketua pengadilan tinggi. Beberapa bentuk penyelewangan yang dilakukan para ketua PN/Ketua PT adalah ‘bermain’ perkara, meminta upeti dari hakim, ‘bermain’ dalam pengeluaran penetapan , serta pembagian perkara basah pada ‘hakim anak emas’.
[6]
Dalam perjalanan melakukan reformasi paska Blue Print 2003, seringkali terlihat inkonsistensi sikap MA atau ada pengingkaran terhadap blue print itu sendiri. Pertama, sikap-sikap penentangan atau penolakan terhadap eksistensi KY yang notabene sangat dibutuhkan versi blue print. Kedua, diajukannya judicial review oleh 31 hakim agung karena berpendapat hakim agung bukan termasuk yang diawasi KY. Hal ini ibarat menjilat ludah sendiri, karena dalam Blue Print MA jelas dinyatakan bahwa hakim agung termasuk yang diawasi KY. Ketiga, sikap MA tidak mau diaudit oleh BPK dalam pengelolaan biaya perkara. Keempat, sikap tidak kooperatif terhadap Departemen Keuangan dalam upaya menertibkan rekening liar di MA.
Dengan belum berhasilnya pembaharuan MA, dan masih maraknya praktek mafia peradilan, maka peran KY sangat dibutuhkan. Karena itu, penguatan KY adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Revisi UU KY dengan disinkronkan dengan UU lain juga harus jelas agar tidak ada lagi konflik berkepanjangan seperti yang sudah terjadi.
Meskipun demikian, harus disadari bahwa instrumen hukum yang kuat bukan satu-satunya yang mempengaruhi keberhasilan KY. Lembaga ini juga harus terus meningkatkan profesionalitas SDMnya dan memperkuat pengawasan internal. Kasus komisioner KY Irawady Joenoes yang melakukan tindak pidana korupsi dengan menjadi makelar proyek harus dijadikan tamparan bagi KY untuk dapat lebih baik lagi.
Harapan Revisi UU KY
Dengan melihat UU KY yang mengandung kelemahan substansial, maka sangat diharapkan RUU KY yang saat ini dibahas di DPR tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU KY per 26 Juni 2008 sudah terlihat upaya memperbaiki kelemahan KY. Namun masih terdapat beberapa hal yang kurang atau ada potensi masalah dalam RUU KY, diantaranya:
Pertama, RUU KY tidak memasukkan hakim konstitusi sebagai pihak yang diawasi KY (Pasal 1 ayat 5). Padahal penyimpangan perilaku hakim atau praktek mafia peradilan juga dapat saja terjadi atau dilakukan oleh hakim konstitusi. Sepertinya ada kekhawatiran bila ketentuan itu dimasukkan dalam RUU, maka akan di Judicial Review (JR) lagi. Seharusnya kekhawatiran itu dikesampingkan dan ketentuan itu dimasukkan kembali. Apalagi, dengan komposisi hakim konstitusi yang mayoritas baru/ berbeda, maka bilapun diajukan JR, putusannya dapat berbeda pula.
Kedua, tidak ada penegasan kedudukan KY terhadap MA. Pada pasal 32 ayat (1) draft RUU MA, disebutkan "Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman." Ketentuan tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan intepretasi bahwa MA memegang kewenangan pengawasan tertinggi, sehingga pengawasan KY lebih rendah dari pengawasan MA atau dalam posisi sub ordinat atau supporting organ. Agar pasal ini tidak mengurangi kewenangan konstitusional KY yang dijamin UUD 1945, maka dalam RUU KY atau penjelasan RUU MA harus dijelaskan bahwa kedudukan KY dan MA adalah sejajar sesuai dengan perubahan UUD 1945.
Ketiga, soal pemberian sanksi. Dalam draft versi DPR, masih terlihat bahwa KY tidak mempunyai kekuatan besar karena hasil pemeriksaan KY masih berujung sebagai usul/ rekomendasi. Selain itu usulan sanksi pemberhentian Hakim Agung tidak perlu melibatkan DPR karena prosesnya akan lama dan hasilnya cenderung bersifat politis.
Keempat, RUU KY masih belum bisa menjawab persoalan ketika pimpinan MA menolak melakukan kewajibannya seperti perintah UU. Berkaca pada pengalaman, pimpinan MA dengan sengaja tidak melaksanakan permintaan KY. Menurut pasal 22 ayat (6a) RUU, KY dapat memberikan rekomendasi sanksi. Meski ada mekanisme pemberian rekomendasi bagi hakim agung, tampaknya sanksi tersebut masih sulit diterapkan.
Kelima, pasal-pasal mengenai pengawasan antara RUU KY dan RUU MA masih berpotensi menimbulkan konflik. Salah satu alasan MA mengabaikan rekomendasi KY adalah karena mereka berpendapat KY tidak berwenang memeriksa putusan. Secara inplisit, pasal 32 ayat (1a) RUU MA tidak memperbolehkan KY melakukan pengawasan dengan melakukan pemeriksaan putusan. Padahal, penyimpangan hakim salah satunya dapat terlihat dari putusan
Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa KY tetap bisa memeriksa putusan dan hal ini tidak mengganggu independensi hakim karena tidak bermaksud mempengaruhi proses hukum yang masih berjalan atau dipengadilan tingkat atasnya. Selama ini, kesalahan dalam hal teknis judisial tidak bisa hanya diselesaikan melalui mekanisme banding atau kasasi, dan juga PK. Putusan dapat saja diperbaiki pengadilan di tingkat lebih tinggi, tetapi kenyataannya hakim yang bersalah dalam bidang teknis judisial tidak dikenai sanksi. Meski demikian, pemeriksaan putusan harus ditempatkan sebagai pintu masuk atau pisau analisis.
Kaitan RUU KY dan RUU MA
Pembahasan RUU KY bersama RUU MA dan RUU MK tidak dapat dipisah-pisahkan karena ada keterkaitan. Namun dalam pembahasannya terdapat beberapa hal penting untuk dicermati dan dipersoalkan dalam proses legislasi RUU MA yang saat ini diprioritaskan DPR..
Berdasarkan pengamatan, proses pembahasan oleh Komisi III terkesan ditutup-tutupi. Pada satu sisi, publik tidak pernah mendapatkan informasi jadwal proses pembahasan tiga paket perundangan tersebut. Di sisi lain, Komisi III DPR juga tidak pernah terdengar membuka ruang publik lebih luas untuk memberikan masukan terhadap subtansi yang sedang dibahas.
Selain itu patut dipertanyakan mengenai motif Komisi III DPR yang lebih memprioritaskan pembahasan RUU MA daripada RUU yang lain seperti RUU KY dan RUU MK. Dalam hal ini Komisi III DPR tidak pernah menjelaskan kepada publik mengenai pilihan prioritas pembahasan tersebut. Muncul kekhawatiran pembahasan UU MA lebih diutamakan karena adanya keberpihakan dari Komisi III kepada MA dan selanjutnya RUU KY akan mengikuti UU MA yang dihasilkan lebih dahulu.
Menyangkut substansi RUU MA, ada beberapa hal krusial penting dicermati yaitu:
a.
Usia pensiun hakim agung. Meski dalam RUU MA versi DPR menyebutkan usia pensiun hakim agung 65 tahun, namun pemerintah justru mengusulkan bahwa usia pensiun hakim agung yaitu 70 tahun. Usulan ini sudah selayaknya ditolak dengan beberapa alasan, khususnya menyangkut produktifitas dan regenerasi Hakim Agung.
Upaya memperpanjang usia pensiun hakim agung hingga 70 tahun seperti yang diusulkan berbahaya bagi semangat pembersihan MA dari Mafia Peradilan dari perspektif REGENERASI. Semakin lama kekuatan status quo bertahan di MA, maka semakin sulit melakukan reformasi di MA.
Isu delegitimasi KY pun menjadi relevan dibicarakan. Bila usia diperpanjang menjadi 70 tahun, tentu hingga 3-5 tahun mendatang KY tidak melakukan seleksi hakim agung. Atau, pantas publik khawatir, rencana perpanjangan usia pensiun ini berada dibalik upaya memperpanjang masa jabatan Ketua MA saat ini, mengingat beberapa kali bahkan Bagir Manan telah mencoba memperpanjang usia pensiunnya sendiri. Mengangkat diri sendiri dengan SK sendiri. Dengan demikian, usia pension yang dinilai cukup adalah 67 tahun tanpa perpanjangan sama sekali.
b. Seleksi Hakim Agung. Terdapat beberapa hal penting terkait dengan proses seleksi calon hakim agung. Pertama, prioritas Calon Hakim Agung. Dalam UU MA dan RUU MA, dinyatakan bahwa “Apabila dibutuhkan, Hakim Agung dapat diangkat tidak dari sistem karir”. Ketentuan itu menimbulkan potensi konflik siapa yang menyatakan membutuhkan, apakah KY atau MA? Lantas, tidak ada kejelasan dalam kondisi seperti apa dibutuhkan hakim non karir. Karena itu, perlu dilakukan sistem rekrutmen terbuka bagai yang memenuhi syarat, entah dari karir atau non karir. Meski demikian perlu adanya afirmasi untuk profesi hakim misalnya mengenai kriteria masa pengabdian dan pendidikan.
Kedua, syarat usia calon hakim agung. Pemerintah mengusulkan syarat usia sebagai calon hakim agung adalah minimal 50 tahun dan tanpa adanya batas maksimal. Untuk tujuan regenerasi dilingkungan MA dan efektivitas pelaksanaan tugas sebagai Hakim Agung, maka syarat usia calon hakim agung sebaiknya adalah berusia sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun. Pembatasan usia maksimal diperlukan untuk menghindari tidak efektifnya seleksi. Misalnya terpilih diumur 66 tahun, sehingga masa kerja hanya tinggal 1 tahun (bila pensiun 67).
Ketiga, kebutuhan Hakim Agung. Berdasarkan UU KY , proses seleksi baru dilakukan jika ada posisi yang lowong akibat adanya pensiun hakim agung. Artinya jika tidak ada hakim agung yang pensiun, maka KY tidak melakukan seleksi hakim agung. Oleh karena itu perlu ada perbaikan aturan mengenai proses seleksi calon hakim agung yang dilakukan oleh KY, tidak saja mempertimbangkan untuk mengisi kekosongan akibat adanya hakim agung yang akan pensiun namun yang lebih penting adalah melihat pada kebutuhan hakim agung.
Keempat, jumlah calon hakim agung yang diusulkan dari Komisi Yudisial kepada DPR untuk diseleksi. Pasal 8 ayat (2a) RUU MA Versi DPR menyebutkan "Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih oleh DPR 1 (satu) orang dari 3 nama calon untuk setiap lowongan" Pada prakteknya selama dua tahun terakhir, KY sendiri mengalami kesulitan untuk mendapatkan calon hakim agung yang memenuhi kriterai yang ditetapkan oleh Undang-Undang maupun kriteria bersih,bekualitas dan berintegritas. Oleh karena itu standar perbandingan calon Hakim Agung yang diusulkan oleh KY dengan yang dipilih DPR, idealnya adalah dua kali kebutuhan dari posisi hakim agung yang kosong.
Dengan kondisi peradilan yang pada umumnya tidak berubah (meski telah dicanangkan reformasi birokrasi MA), maka revisi UU KY sangat dibutuhkan segera. Ditambah adanya berbagai persoalan pada proses pembahasan maka ada tiga kemungkinan hasil revisi UU KY. Pertama, KY tetap lemah seperti sebelumnya. Kedua, KY justru makin lemah. Dan ketiga, KY makin kuat seperti yang diharapkan. Posisi revisi UU KY saat ini seperti dipersimpangan jalan, maka wajar muncul pertanyaan “mampukan revisi UU KY nanti memberantas mafia peradilan?”--------
Tulisan ini pernah dimuat di Buletin Komisi Yudisial, Vol III No. 2 - Oktober 2008
[1]
“Komisi Yudisial 2,5 Tahun Hadir Terima Hampir 3.500 Laporan Pengaduan Masyarakat”, http://www.komisiyudisial.go.id/index.php?option=isi&task=view&id=1936
[3]
“Ada Konspirasi Hakim Agung dan Pengacara Bubarkan KY”, http://www.detiknews.com/read/2006/02/10/204723/536923/10/ada-konspirasi-hakim-agung-dan-pengacara-bubarkan-ky
[4]
“MA Minta Komisi Yudisial Keluar.”, http://kormonev.menpan.go.id/ebhtml/joomla/index.php?option=com_content&task=view&id=53&Itemid=2
[5]
“Indonesia’s Judiciary System Rated The Worst in Asia,” The Jakarta Post, Monday, September 15, 2008
[6]
“MA Akui 30 Persen Hakim Bermasalah”, Koran Tempo, 21 Januari 2006, http://transparansi.or.id/?pilih=lihatberita&id=316