Rent Seeking Para Pejabat Publik

Sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tinggi adalah suatu hal yang lumrah kalau kita dapat dengan mudah mendapatkan perilaku rent seeking dalam semua lini kehidupan, khususnya ketika kita berinteraksi dengan institusi negara dan aparaturnya, serta dalam proses sosial ekonomi politik di seputarnya.

Terminologi rent seeking dalam institusi negara merujuk pada perilaku pejabat publik dalam memutuskan alokasi anggaran publik (APBN-APBD), atau kebijakan yang ditujukan untuk publik dengan motivasi mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok yang berimplikasi merugikan kepentingan publik, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Mengapa perilaku rent seeking itu begitu mudah hadir dalam keseharian kinerja institusi negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif)? Itu tidak lain karena proses dan mekanisme politik yang menyebabkan seseorang hadir menjadi pejabat publik pada institusi-institusi negara tersebut sarat dengan transaction cost yang tinggi.

Kita mungkin sudah akrab dengan fenomena broker politik di mana suatu parpol atau elite politik mendapatkan uang dengan jalan memberikan dukungan politik kepada seorang tokoh dalam pilkada atau pemilu (uang untuk kepentingan kampanye tidak masuk dalam kategori rent seeking) atau karena mengendorse birokrat tertentu untuk menduduki jabatan-jabatan puncak birokrasi.

Proses politik yang sarat rent seeking tersebut akan melahirkan pejabat-pejabat publik yang rent seeker pula. Sebab, ketika sang tokoh itu menjadi pejabat publik, yang bersangkutan pasti akan menjadikan jabatannya dengan motif privat. Jabatannya itu bukan hanya digunakan untuk menutup biaya politik yang telah dikeluarkan, tetapi juga digunakan untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya.

Itu semua berimplikasi kepada kerugian publik karena pastilah publik/rakyat akan mendapatkan barang-barang publik (pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain) dengan kualitas dan kuantitas yang di bawah dari seharusnya yang bisa mereka dapatkan.

Ada sejumlah bentuk perilaku rent seeking yang biasa dilakukan pejabat publik. Pertama, broker ekonomi/bisnis merupakan suatu fenomena di mana seorang pejabat publik memfasilitasi pelaku bisnis tertentu untuk mendapat kemudahan akses proyek-proyek pembangunan pemerintah. Sebagai imbalan atas jasanya itu, sang pejabat akan mendapatkan komisi dengan jumlah persentase tertentu dari nilai proyek.

Mengapa fenomena broker ekonomi/bisnis itu dikatakan rent seeking? Sebab, perilaku tersebut merugikan publik melalui dua cara. 1). Karena pelaku bisnis tersebut akan memasukkan semua biaya yang dia keluarkan -untuk pejabat tersebut- ke dalam komponen biaya proyek. Akibat lanjutnya, kualitas dan kuantitas proyek itu akan di bawah spesifikasi yang disepakati dalam akad proyek. 2). Publik juga bisa dirugikan karena, bisa jadi, sebenarnya ada pelaku bisnis yang memberikan tawaran lebih menguntungkan bagi publik, tetapi karena pelaku bisnis tersebut tidak mendapatkan back-up dari sang pejabat, dia pun gagal mendapatkan proyek itu.

Kedua, melalui pemberian lisensi kepada para pelaku bisnis (seperti lisensi impor, ekspor, atau perizinan bisnis lainnya). Dari pemberian lisensi tersebut, sang pejabat publik akan membuka privilese bisnis bagi pelaku-pelaku tertentu dengan mendapatkan fee atau komisi dari perusahaan yang dia endorse.

Ketiga, fenomena pembuatan perundang-undangan. Contoh kategori ini adalah bagaimana mengalirnya dana miliaran rupiah dari BI ke Komisi XI DPR periode 1999-2004 untuk memperlancar lahirnya Undang-Undang Bank Sentral. Merupakan fenomena umum, siapa yang ingin terakomodasi kepentingannya untuk mendapatkan dukungan legislasi dan hukum perlu melobi anggota parlemen atau partai politik, yang semua itu harus mengeluarkan transaction cost yang besar.

Keempat, mungkin sudah menjadi rahasia umum pula bahwa APBN-APBD tidak akan mungkin disetujui DPR-DPRD kalau di dalamnya tidak ada transaction cost, yang biasanya masuk ke kantong-kantong pribadi mereka.

Mengapa hal itu merugikan publik? Sebab, biasanya, kesepakatan antara elite legislatif dan eksekutif tersebut berimplikasi kepada bias nonpublik dalam alokasi anggaran. Misalnya, anggaran untuk fasilitas pejabat atau pengeluraan rutin lainnya yang tidak berimplikasi kepada publik menjadi melambung tinggi dan itu disetujui melalui fenomena saling menguntungkan antara pejabat eksekutif dan para anggota legislatif.

Sulit

Memberantas perilaku rent seeking memang sangat sulit. Sebab, bagi para pelaku rent seeking, aktivitas itu sangat menguntungkan dan umum dilakukan. Seruan moral dan kritik kepada para pejabat publik yang telah terlena dengan kenikmatan rent seeking itu tidak lebih dianggap sebagai angin lalu.

Memberantas perilaku rent seeking yang efektif adalah dengan menciptakan kondisi yang menyebabkan risiko atau biaya yang didapat dari perilaku rent seeking itu jauh lebih tinggi daripada manfaat yang diterima pelakunya.

Ada satu cara efektif untuk itu -seperti telah dilakukan Tiongkok- yakni dengan cara menggoreng hiu dan pausnya rent seeker di depan publik dengan jalan menyediakan peti-peti mati untuk mereka setelah terbukti secara hukum melakukan praktik rent seeking.

 Dr Andi Irawan , dosen ekonomi di Universitas Bengkulu

 Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 2 September 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan