Rencana Penjualan Tangker Raksasa Pertamina Akal-akalan? [07/06/04]

Direksi Pertamina berencana menjual dua kapal tangker VLCC (very large crude carrier) yang kini masih dalam proses pembuatan di Korea Selatan. Masalah yang sensitif ini terang saja memunculkan kabar tidak sedap bahwa penjualan tangker itu hanya akal-akalan.

Aroma penjualan dua tangker seharga triliunan itu hanya sebagai akal-akalan itu telah dicium anggota DPR. Karena itulah, pekan lalu Komisi VIII DPR telah membentuk panitia kerja (Panja) untuk mengorek lebih jauh tentang rencana penjualan tangker ini.

Maklum saja bila kecurigaan terhadap penjualan tangker itu berhembus kencang. Pasalnya, rencana pembelian dua tangker ini telah dirancang sangat matang oleh direksi sebelumnya, Baihaki Hakim. Bahkan, DPR telah menyetujui pembelian dua tangker raksasa ini setelah melakukan pembahasan yang lama. Pemerintah selaku komisaris Pertamina juga menyatakan persetujuannya. Bahkan, pada 2003 lalu, Presiden Megawati juga telah meneken persetujuan atas pembelian dua tangker tersebut.

Karena itu, bila kemudian direksi Pertamina saat ini yang dikomandani Ariffi Nawawi tiba-tiba tidak meneruskan pembelian kapal ini dan berniat akan menjualnya, tentu ada sesuatu di balik itu. Alasan Ariffi Nawawi bahwa penjualan tangker itu karena cash flow Pertamina terganggu, dirasa belum cukup.

Untuk diketahui, pembelian tangker ini dilakukan Baihaki Hakim, demi memajukan Pertamina. Soalnya, sampai sekarang, yang menjadi kendala bagi Pertamina adalah masalah pengangkutan. Dari 100 tangker yang digunakan untuk mengangkut minyak, hanya 33 tangker yang dimiliki Pertamina. Lainnya, disewa Pertamina. Inilah yang membuat biaya produksi makin tinggi.

Karena itu, direksi semasa Baihaki Hakim sepakat untuk membeli 12 tangker berbagai jenis di tahun 2002/2003. Namun, pemerintah selaku pemegang saham tidak setuju. Pemerintah memangkas proposal direksi Pertamina itu dan hanya menyetujui pembelian enam kapal tangker. Rinciannya, dua tangker berbobot 260.000 DWT seharga USD 130 juta dibuat Hyundai, Korea Selatan. Sedangkan empat tangker berukuran lebih kecil dibuat di dalam negeri, yaitu di PT PAL dan PT DOK.

Namun, proyek ini belum tuntas, Baihaki Hakim sudah dilengserkan. Proyek ini pun terhambat. Apalagi, Ariffi sebagai direktur utama yang baru kemudian menilai bahwa proyek pembelian dua tangker dari Hyundai tidak layak diteruskan. Alasannya, proyek ini mengganggu cash flow perusahaan.

Akhirnya, direksi Pertamina memutuskan untuk berencana menjual dua kapal yang belum jadi itu. Direksi berkilah, penjualan dua tangker ini sudah akan menguntungkan Pertamina. Yang dulunya dibeli dengan harga USD 130 juta, kalau dijual bisa laku USD 180 juta. Langkah penjualan itu juga kabarnya untuk efisiensi perusahaan plat merah itu.

Akhirnya, diam-diam Pertamina menggelar tender penjualan dua kapal itu. Sayangnya, rencana dan tender penjualan ini tidak dilaporkan ke DPR, selaku mitra pemerintah dan BUMN. Padahal, saat memutuskan pembelian dua tangker raksasa ini, Pertamina meminta pertimbangan DPR.

Salah seorang anggota Komisi VIII DPR RI Zulkifli Halim saat berbincang-bincang dengan detikcom, Senin (7/6/2004) mempertanyakan rencana penjualan dua tangker raksasa itu. Dia juga mengaku mendapat informasi tentang hal-hal janggal dalam penjualan dua tangker itu.

“Yang saya dengar, tender penjualan sudah dilakukan. Yang mengejutkan saya, ada informasi bahwa tender dilakukan di Singapura. Ini patut dipertanyakan. Karena itulah, Komisi VIII telah membentuk Panja untuk mengorek masalah ini benar atau tidak,” kata Zulkifli yang juga menjadi anggota panja tersebut.

Zulkifli mengaku rencana penjualan tangker itu tidak pernah dikonsultasikan ke DPR. “Kita hanya mendapatkan informasi danhal ini kita telah kita tanyakan kepada direksi Pertamina saat dengar pendapat. Mereka mengaku penjualan ini karena kesulitan cash flow dan demi efisiensi,” kata anggota DPR dari PAN ini.

Alasan direksi Pertamina itu, kata Zulkifli, masih perlu dipertanyakan. Soalnya, salah satu alasan mengapa dulu direksi lama membeli dua tangker itu juga untuk efisiensi. “Contohlah Petronas. Mereka bisa besar, karena memiliki instrumen angkutan kapal tangker yang kuat. Dan Pertamina saat di bawah Pak Baihaki menginginkan seperti ini. Jadi, direksi yang lama itu sudah on the track,” jelasnya.

Menurut Zulkifli, dengan memiliki tangker raksasa sendiri, Pertamina akan lebih efisien dibanding menyewa tangker perusahaan lain. Selain itu, kata Zulkifli, ada suara-suara minor yang menyatakan bahwa perusahaan yang akan menang tender ini adalah komplotan yang sering menjual aset negara berkongsi dengan perusahaan asing.

“Kabarnya, komplotan ini akan menguasai kapal tangker tersebut dan nanti akan menyewakan dua tangker raksasa ini kepada Pertamina. Mau tak mau Pertamina harus menyewa tangker ini, karena memang sangat memerlukan. Memangnya, tangker seperti truk yang bisa disewakan ke mana-mana. Kalau pemilik tangker tidak menyewakan ke Pertamina, memang ke mana lagi? Memangnya ada perusahaan yang mau menyewa,” tandas Zulkifli.

Jika ini terjadi, kata Zulkifli, bisa saja nanti harga sewa tangker dinaikkan setiap tahun oleh si empunya. Dalam hal ini, Pertamina mau tak mau harus menerimanya juga, karena tidak ada pilihan lain. “Kalau itu yang terjadi, maka tentu ongkos yang dikeluarkan Pertamina akan lebih besar. Dan ini tentu hanya akal-akalan orang kuat yang memiliki kepentingan. Saya lebih setuju, apabila pembelian kapal itu terus dilanjutkan Pertamina,” kata Zulkifli.

Karena itu, Zulkifli mengharapkan Panja bisa benar-benar objektif dalam mengungkap kasus ini. Bisakah? Tentu harus didorong terus, karena saat ini sudah ada ‘pendekatan-pendekatan’ pihak tertentu kepada panja untuk tidak meneruskan kasus kapal tangker yang kabarnya sudah diberi nama 'Soekarno' ini. (asy)

Sumber: Detik, Senin, 07/06/2004 14:58 WIB
http://www.detikfinance.com/index.php/detik.read/tahun/2004/bulan/06/tgl...

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan