Remisi Pelaku Korupsi

Rancangan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan sudah hampir mencapai tahap akhir. Muatan revisi ini dianggap sangat menguntungkan narapidana kasus korupsi. Sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), rasanya kurang tepat untuk memberikan keleluasaan pengampunan kepada pelaku korupsi.
 
Sebelumnya, persyaratan remisi dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 untuk narapidana kasus korupsi antara lain adalah bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (justice collaborator), mendapatkan rekomendasi dari lembaga yang menangani perkara narapidana tersebut, dan telah membayar lunas denda serta uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.
 
Penerapan persyaratan justice collaborator dalam PP yang lalu dianggap sejalan dengan upaya pemberantasan korupsi. Sederhananya, jika terdakwa kasus korupsi ingin mendapatkan remisi maka ia harus turut serta bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar kejahatan yang dilakukannya.
 
Sementara revisi kali ini justru menghapus ketentuan justice collaborator sebagai persyaratan mendapatkan remisi. Pasal 32 ayat (1) hanya mensyaratkan narapidana kasus korupsi untuk berkelakuan baik dan menjalani sepertiga masa pidananya jika ingin mendapatkan remisi. Ini berarti pelaku tindak pidana korupsi mendapatkan perlakuan yang sama dengan pelaku tindak pidana umum lainnya.
 
Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) jumlah narapidana kasus korupsi pada semester I tahun 2015 mencapai 2.786 orang. Dari total tersebut sebanyak 517 orang mendapat remisi dengan ketentuan PP Nomor 28 Tahun 2006 dan 1.421 orang mendapat remisi dengan ketentuan PP Nomor 99 tahun 2012. Total keseluruhan yang mendapatkan remisi pada tahun 2015 sebanyak 1.938 orang.
 
Bisa dibayangkan jika permohonan untuk mengajukan remisi dipermudah maka jumlah narapidana kasus korupsi yang mendapatkan pengampunan dari pemerintah pasti akan semakin bertambah. Tentu ini semakin membuat pelaku tindak pidana korupsi tidak jera untuk melakukan kejahatan.
 
Usaha untuk merevisi PP ini pun mengindikasikan ketidakseriusan pemerintah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Isi dari revisi tersebut juga secara nyata telah melanggar Pasal 37 ayat (2) Konvensi PBB Antikorupsi (United Nation Convention Against Corruption) tahun 2003. Pasal ini mewajibkan setiap negara (termasuk Indonesia) untuk tidak memberi kemudahan hukuman kepada pelaku tindak pidana korupsi kecuali apabila pelaku kejahatan beritikad baik bekerja sama dalam penyelidikan dan penuntutan.
 
Ide yang berulang
Wacana untuk mempermudah pengampunan koruptor bukan kali ini saja diusulkan Menteri Hukum dan HAM. Pasca kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tanjung Gusta Medan tahun lalu ide untuk merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012 juga sempat menguak ke publik. Isu yang selalu menjadi alasan pemerintah untuk merevisi peraturan ini selalu sama, yaitu soal lapas yang sudah terlalu penuh, sehingga diperlukan pengurangan narapidana melalui remisi.
 
Tentu alasan itu menimbulkan perdebatan di masyarakat. Memberikan kemudahan remisi kepada narapidana korupsi bukan menjadi solusi yang terbaik. Berdasarkan data dari Direkorat Jendral Pemasyarakatan (Ditjen PAS) per Juli tahun 2016 menyebutkan jumlah tahanan dan narapidana seluruh Indonesia mencapai 197.670 orang dan 3.801 orang di antaranya adalah narapidana kasus korupsi.
 
Artinya dari total jumlah narapidana di Indonesia, narapidana korupsi hanya menempati angka 1,92 persen. Dengan minimnya jumlah narapidana korupsi, maka alasan pemerintah yang mengatakan bahwa remisi diperlukan karena kondisi lapas sudah penuh bisa dibantah.
 
Setidaknya ada tig) permasalahan yang akan muncul jika upaya revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tetap dilanjutkan.Pertama, melemahkan upaya penindakan yang sudah dilakukan oleh aparat penegak hukum. Sistem peradilan pidana yang mengatur bagaimana penegakan hukum dijalankan mengharuskan suatu proses yang baik dan terintegrasi antara penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai ke pemasyarakatan. Pemberian remisi yang cenderung longgar dikhawatirkan akan membuat usaha-usaha yang sudah dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan pengadilan untuk menghukum pelaku tindak pidana korupsi menjadi sia-sia.
 
Kedua, menimbulkan celah potensi korupsi yang baru. Pasal 39 dalam rancangan revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 menyebutkan bahwa remisi bagi narapidana kasus korupsi diberikan oleh Menteri Hukum dan HAM dengan mendapatkan pertimbangan dari Direktur Jendral Pemasyarakatan. Mekanisme ini dikhawatirkan akan menimbulkan potensi korupsi baru di Kementerian Hukum dan HAM, praktik-praktik suap untuk mendapatkan remisi disinyalir akan terjadi jika aturan remisi ini diberlakukan. Seharusnya lembaga penegak hukum lain diberikan ruang untuk memberikan rekomendasi, agar penilaian pemberian remisi benar-benar objektif.
 
Ketiga, pemberian remisi dipastikan akan mengurangi efek jera terhadap pelaku kasus korupsi. Dari penelitian ICW pada semester I tahun 2016 (Januari – Juni), terdapat 325 perkara korupsi dengan 384 terdakwa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan. Dari 384 terdakwa, sebanyak 275 terdakwa (71,6%) divonis di bawah empat tahun. Sedangkan rata-rata vonis untuk koruptor adalah 2 tahun 1 bulan penjara. Maka dengan adanya remisi dan pembebasan bersyarat dapat dipastikan tidak akan memberikan efek jera karena narapidana kasus korupsi akan lebih cepat bebas dari waktu yang telah diputuskan oleh hakim di pengadilan.
 
Tolak remisi
Pemerintah dalam hal ini presiden harus bisa mengambil sikap yang tegas terkait revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 ini. Jika Presiden tidak menolak rencana ini, maka komitmen pemerintah dalam hal pemberantasan korupsi patut untuk dipertanyakan. Pemberian remisi yang cenderung longgar ini akan bertolak belakang dengan janji Presiden yang tertuang di Nawa Cita.
Dalam sembilan agenda prioritas (poin 4) Nawa Cita, Presiden Jokowi mengatakan “Kami berkomitmen untuk membangun politik legislasi yang jelas, terbuka, dan berpihak pada pemberantasan korupsi, penegakan hak asasi manusia, perlindungan lingkungan hidup, dan reformasi lembaga penegak hukum”. Ini berarti presiden berjanji untuk menolak segala upaya-upaya pelemahan pemberantasan korupsi.
 
Pemerintah juga tidak melibatkan KPK dalam pembahasan rancangan revisi PP untuk narapidana kasus korupsi. Dalam hal ini pemerintah terkesan tergesa-gesa dan menunjukkan tidak adanya pola koordinasi yang baik dengan lembaga penegak hukum pada saat pengambilan sebuah keputusan. KPK sebagai institusi pemberantasan korupsi seharusnya diberikan ruang untuk menyatakan pendapat terkait remisi ini, upaya-upaya penindakan maupun pencegahan yang selama ini sudah dikerjakan KPK menjadi tak berarti jika pemerintah tetap mengesahkan revisi ini.
 
Pemberantasan korupsi mutlak harus didukung dengan regulasi-regulasi yang menyulitkan pergerakan para koruptor. Jika revisi tentang pengampunan narapidana kasus korupsi ini tetap disahkan, maka masa depan pemberantasan korupsi akan semakin terpuruk.
 
Kurnia Ramadhana, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW)
 
Tulisan ini disalin dari Pikiran Rakyat, 5 September 2016

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan