Rekrutmen Deputi Penindakan dan Direktur Penyidikan KPK Harus Transparan
Pada awal Maret 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka rekrutmen untuk posisi Deputi Penindakan dan Direktur Penyidikan. Rekrutmen posisi Deputi Penindakan untuk menggantikan Irjen Pol Heru Winarko yang kini menjabat sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN). Sedangkan rekrutmen posisi Direktur Penyidikan untuk menggantikan Brigjen Aris Budiman yang kembali ke Mabes Polri.
Posisi Deputi Penindakan dan Direktur Penyidikan adalah posisi yang cukup sentral. Dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kelola KPK, kedua posisi ini mempunyai tugas menyiapkan rumusan kebijakan dan melaksanakan kebijakan di Bidang Penindakan Tindak Pidana Korupsi. Penentuan kelanjutan suatu kasus tindak pidana korupsi ke tahap berikutnya atau bahkan melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) serta bersinergi dengan penegak hukum lain diputuskan oleh pejabat dalam posisi ini.
Dalam proses rekrutmen posisi Direktur Penyidikan dan Deputi Penindakan, KPK menggunakan jasa pihak ketiga, konsultan independen eksternal, seperti yang selama ini telah dilakukan. Dan pada saat ini masih berlangsung proses lelang terbuka untuk diikuti para konsultan. Setelah konsultan pemenang ditetapkan, maka proses seleksi dimulai dari aspek administrasi, potensi, bahasa, kompetensi, kesehatan, hingga integritas. Seleksi paling akhir adalah wawancara yang akan dilakukan dengan pimpinan KPK.
Sejauh ini telah ada 13 orang yang melamar untuk posisi tersebut. Enam orang berasal dari Kepolisian, masing-masing 3 orang untuk posisi deputi penindakan yakni Brigadir Jenderal Toni Harmanto, Brigjen Firli, dan Brigjen Abdul Hasyim Gani; dan direktur penyidikan yakni Komisaris Besar Edy Supriyadi, Kombes Andy Hartoyo, dan Kombes Djoko Poerwanto. Tujuh orang dari Kejaksaan yang melamar untuk posisi deputi penindakan yaitu Feri Wibisono, Fadil Zumhana, Heffinur, Wisnu Baroto, Oktovianus, Tua Rinkes Silalahi, dan Witono.
Temuan awal Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan ada beberapa calon yang belum melaporkan hartanya dan juga tidak tertib dalam memperbaharui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Adapun salah satu calon dari Kepolisian, Brigjen Toni Harmanto, diduga pernah ikut dalam penjemputan paksa 5 anggota Kepolisian yang memilih menjadi pegawai tetap KPK dan menangkap seorang penyidik yang menangani kasus korupsi simulator SIM, pada Oktober 2012.
Meski KPK telah bekerjasama dengan BNN dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), laporan-laporan rekam jejak para calon harus ditanggapi secara serius. Mengingat pentingnya posisi ini, KPK tidak bisa mengisinya dengan sembarang orang. Integritas, kejujuran, kepatuhan, loyalitas dan masukan masyarakat harus diutamakan dalam melihat dan menilai rekam jejak para calon yang telah lulus tahapan seleksi. Jangan sampai kasus Aris Budiman yang menghadiri pemanggilan Panitia Khusus (Pansus) Angket KPK tanpa seijin pimpinan KPK terjadi lagi di tahun mendatang.
Perlu juga diingat bahwa jabatan yang sedang diincar banyak orang ini bukanlah milik lembaga tertentu. Oleh karena itu, KPK juga harus membuka kesempatan lebih luas agar orang dengan kriteria yang paling lengkap adalah pejabat yang dipilih, bukan akibat desakan/tekanan dari lembaga lain, ataupun karena ada kebiasaan karena posisi itu adalah ‘jatah’ milik organisasi penegak hukum di luar KPK. Terakhir, proses rekrutmen diharapkan bisa dilakukan secara terbuka dan akuntabel demi mendapatkan orang-orang terbaik. *** (Dewi/Adnan)