Rekonstruksi Aceh; Indikasi Penyimpangan di BRR Harus Diusut
Indikasi penyimpangan anggaran Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias, seperti diungkap Indonesia Corruption Watch, merisaukan. Penegak hukum harus aktif memproses temuan itu.
Hanya dengan proses hukum yang tuntas, pengungkapan kebenaran, dan penguraian kelemahan, proses rehabilitasi-rekonstruksi Aceh bisa berjalan lebih baik ketimbang selama ini.
Harapan itu disampaikan Ketua Masyarakat Profesional Madani Ismed Hasan Putro di Jakarta dan Koordinator Gerakan Anti Korupsi Aceh Akhiruddin Mahjuddin di Banda Aceh, Sabtu (26/8).
Dukungan agar informasi itu ditindaklanjuti sampai tuntas juga disampaikan anggota DPR Nasir Djamil (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nanggroe Aceh Darussalam I) dan Zainal Abidin Hussein (Fraksi Partai Bintang Reformasi, Nanggroe Aceh Darussalam II) di Banda Aceh yang dihubungi hari Jumat malam.
Seperti diberitakan Kompas (25/8), ICW menyebutkan adanya indikasi penyelewengan anggaran dalam lima bidang pekerjaan BRR yang nilai total proyeknya mencapai Rp 23,96 miliar.
Akhiruddin, Nasir Djamil, dan Zainal Abidin menegaskan, informasi menyangkut penggunaan anggaran BRR harus ditindaklanjuti sampai tuntas oleh para penegak hukum untuk membuktikan benar tidaknya indikasi penyelewengan yang dilansir ICW.
Jangan dipolitisasi
Sekecil apa pun, indikasi penyelewengan sangat memengaruhi citra BRR yang bahkan di masyarakat Aceh pun sudah menurun karena capaian kerjanya yang dianggap tidak memuaskan. Dengan data seperti yang disampaikan ICW, Nasir sekaligus mempertanyakan kinerja Satuan Anti Korupsi di BRR. Nasir juga meminta agar BRR lebih peka dengan masukan dan kritik dari dalam negeri.
Menurut Nasir, jika indikasi penyelewengan itu diambangkan, akibatnya justru akan buruk bagi BRR dan rehabilitasi Aceh secara keseluruhan. Penuntasan temuan itu juga akan memastikan obyektif tidaknya data itu dan menghindarkan kesan adanya persaingan antarlembaga pemantau.
Ismed juga berharap agar kasus itu tidak dipolitisasi atau ditumpangi kelompok yang kecewa buta terhadap BRR. Jangan sampai informasi ICW dijadikan api dan peluru untuk membuat BRR berantakan hanya karena ada kepentingan kelompok tertentu terganggu karena proses ketat yang diterapkan BRR.
Kalau benar ada korupsi di BRR, pukulannya jauh lebih telak ketimbang korupsi di KPU (Komisi Pemilihan Umum). Kepada siapa lagi kita berharap? kata Ismed. (dik)
Sumber: Kompas, 28 Agustus 2006
-----------
berita terkait: