Rekening Gendut Gubernur dan Bupati

Belum lagi rekening gendut perwira polisi tuntas diusut, kini muncul laporan rekening gendut pejabat daerah. Yang pertama adalah sejumlah jenderal polisi yang dilaporkan memiliki rekening dalam jumlah tak wajar. Yang kedua, kisah tentang sejumlah gubernur dan bupati yang ditengarai juga menyimpan celengan buncit.

Statistiknya fantastis. Hingga Mei 2011, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan--lembaga yang berwenang memeriksa transaksi perbankan--menemukan 2.392 laporan transaksi keuangan mencurigakan yang dilakukan pejabat pemerintah. Sebanyak 308 di antaranya bermasalah. Laporan Hasil Analisis, dokumen yang memaparkan dengan terperinci transaksi mencurigakan itu, telah diserahkan PPATK ke kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Kementerian Dalam Negeri.

Macam-macam cara pejabat menggemukkan pundi mereka. Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang, misalnya, menerima setoran Rp 2,1 miliar dari perusahaan tambang PT Kapuas Prima Coal. Teras juga menerima empat cek dari PT Sampit senilai Rp 2 miliar. Dicurigai Teras menerima setoran untuk mempermudah para pengusaha beroperasi di wilayahnya.

Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin pada 2010 mendapat kiriman Rp 322 juta dari seseorang yang diduga terkait dengan pembebasan hak guna bangunan pabrik kertas PT Golden Martapura. Ketika uang itu disetorkan, Rudy adalah Bupati Banjar. Setoran dilakukan hampir bersamaan dengan periode sengketa. Menurut Rudy Ariffin, uang itu murni hasil tabungan--keterangan yang sulit diterima tanpa mengernyitkan dahi.

Rekening bermasalah bisa diendus dengan cara lain. Di Karawang, Jawa Barat, bekas bupati Dadang S. Muchtar diketahui membayar premi asuransi Rp 500 juta per tahun. Ini sebetulnya bukan modus baru. Dalam kasus rekening gendut perwira polisi, "pencucian uang" dengan cara ini pernah pula dipakai.

Dokumen PPATK memang baru laporan sepihak. Aspek pidana dalam transaksi itu bukan lagi kewenangan Pusat Pelaporan. Polisi, jaksa, dan Komisi Pemberantasan Korupsilah yang punya hak menelusurinya lebih jauh. Karena itu, sungguh sangat disesalkan, berbulan-bulan setelah laporan tersebut disetor ke penegak hukum, belum banyak pemilik rekening yang diperiksa.

Peran PPATK perlu dioptimalkan. Gagasan memperkuat Pusat Pelaporan dengan hak penyidikan perlu dipikirkan kembali. Agar semua transaksi haram bisa diendus, Dewan Perwakilan Rakyat perlu membuat aturan tentang pelarangan transaksi tunai dalam jumlah tertentu.

Di luar itu, sistem pembiayaan politik harus dibenahi. Sudah jadi pengetahuan umum, banyak gubernur dan bupati menghabiskan uang miliaran rupiah dalam pemilihan kepala daerah untuk kemudian menggangsir uang publik agar bisa balik modal. Setelah itu, alih-alih menyejahterakan rakyatnya, kepala daerah sibuk mencari pemasukan tambahan--memperkaya diri seraya bersiap untuk pemilihan berikutnya. Pemilu daerah, sebagaimana pemilu nasional, menjadi lingkaran setan korupsi yang berlangsung lima tahunan.

Sumber: Koran Tempo, 25 Juli 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan