Rekayasa Pidana Harus Distop

Praktik Rekayasa Tidak Dianggap sebagai Kejahatan

Fenomena rekayasa pidana oleh aparat penegak hukum tak dapat dibiarkan terus-menerus terjadi. Sejak puluhan tahun lalu peristiwa rekayasa pidana berkali-kali terjadi, menimpa berbagai kalangan di masyarakat, menjadi sorotan publik, dan menuai kecaman. Namun, praktik semacam itu hingga kini masih terus terjadi.

Bahkan, akhir-akhir ini, peristiwa rekayasa pidana menimpa rakyat kecil.

Namun, sampai saat ini praktik rekayasa pidana oleh oknum aparat tidak dianggap sebagai suatu kejahatan yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum.

”Padahal, rekayasa itu suatu kejahatan. Sayangnya, selama ini jika peristiwa rekayasa muncul, pertanggungjawabannya paling banter dilakukan di internal, dan itu pun tertutup,” kata Novel Ali, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Minggu (7/3).

Novel meyakini praktik rekayasa pidana oleh polisi dan aparat penegak hukum lainnya pada banyak kasus bermotif materi. Motivasi itu lantas diejawantahkan dengan praktik tidak profesional dan berlindung di balik kewenangan melakukan diskresi.

Menurut Novel, tanpa memberantas habis praktik rekayasa di kepolisian, citra kepolisian yang sudah babak belur akan sulit pulih. Padahal, wajah kepolisian merupakan etalase dari pemerintahan yang tengah berkuasa.

Serius diperhatikan
Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, pekan lalu, mengatakan, Polri menaruh perhatian serius atas masih maraknya rekayasa oleh oknum reserse di sejumlah daerah. Oleh karena itu, Polri dalam waktu dekat akan mengumpulkan 5.000 kepala unit reserse di tingkat kepolisian sektor, 500 kepala satuan reserse di tingkat kepolisian resor, dan 31 direktur reserse di tingkat kepolisian daerah di seluruh Indonesia.

”Istilahnya kita keroyok reserse. Ini, kan, faktor budaya, mungkin dulu terbiasa, tetapi tidak bisa dibiarkan. Harus berubah,” ujar Bambang.

Kepala Polri mengatakan, evaluasi menyeluruh terhadap reserse tersebut akan dilakukan secepat mungkin untuk mendeteksi problem yang mendasar di bidang reserse. Bambang mencontohkan polisi bidang lalu lintas yang sudah lebih baik dibandingkan dengan pada masa lalu, kini reserse juga harus turut berubah secara signifikan.

Sebelumnya, pada awal masa jabatannya, Kepala Polri menerapkan sistem pengawasan penyidikan dalam setiap perkara yang disidik oleh penyidik. Namun, cara itu diakui belum benar-benar efektif. ”Maka dari itu, kami akan petakan masalahnya. Masyarakat juga harus melapor kalau direkayasa, tetapi jangan fitnah,” kata Bambang.

Kepercayaan rendah
Novel Ali mengakui, banyak dari masyarakat yang melapor ke Kompolnas soal polisi adalah terkait dugaan rekayasa pidana. Namun, masih ada keseganan yang besar di kalangan masyarakat untuk membuat pengaduan resmi ke kepolisian dengan alasan hal itu tidak berguna.

Menurut Novel, pengaduan yang masuk ke Kompolnas terkait upaya rekayasa oleh oknum polisi sudah teramat sering terjadi. Banyak dari kasus yang direkayasa itu juga terkait masalah narkoba. Namun, karena sebagian besar pengadu enggan melaporkan secara resmi, menjadi sulit pula jika kasus itu hendak diproses. Kepercayaan masyarakat bahwa pengaduan dugaan rekayasa dapat diproses secara adil masih rendah.

”Karena itu, penting sekali praktik seperti itu ditindak setegas mungkin, diantisipasi jangan terjadi lagi, dan diperlukan sidang internal menyangkut kasus rekayasa oleh oknum polisi dilangsungkan secara terbuka. Upaya serius harus ditunjukkan, bukan sekadar kosmetik,” ujar Novel.

Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Oegroseno (kini Kepala Polda Sumatera Utara) mengakui, salah satu modus yang kerap digunakan oknum polisi dalam praktik rekayasa pidana adalah menjebak warga dengan narkoba. Jeratan hukum yang digunakan terhadap korban rekayasa itu biasanya adalah kepemilikan narkoba.

Belum lama Divisi Profesi dan Pengamanan menyidik soal dugaan rekayasa pidana yang menimpa seorang warga, Aan Susandhi (30). Aan dijerat perkara kepemilikan 0,1467 gram narkoba bubuk jenis ekstasi. Dari hasil tes urine, Aan negatif mengonsumsi narkoba. Dari berbagai keganjilan dalam perkara itu, Divisi Profesi dan Pengamanan mengindikasi perkara Aan diduga hasil rekayasa oknum polisi.

Perkara Aan yang kini tengah berjalan di pengadilan itu menjadi perhatian khusus Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.

Mas Achmad Santosa dan Denny Indrayana dari Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mengendus perkara ”kecil” Aan diduga merupakan salah satu bentuk praktik mafia hukum yang kerap terjadi, tetapi luput dari kepedulian publik.

Novel mengatakan, praktik rekayasa yang dilakukan oknum polisi (aparat penegak hukum) pada masa lalu hingga kini masih menorehkan luka di masyarakat. Sebut saja kasus Sengkon dan Karta serta pemerkosaan Sum Kuning. Luka itu sulit sembuh sebab tidak pernah ada pertanggungjawaban yang jelas secara hukum.

Karena itu, praktik tersebut masih terjadi hingga kini. ”Sayang sekali sebab prestasi cemerlang polisi yang lain, seperti di bidang pemberantasan terorisme, menjadi tenggelam oleh fenomena rekayasa yang kronis itu,” tutur Novel.

Bandar bebas
Dalam praktik, rekayasa umumnya terjadi pada kasus narkoba. Tersangka dan terpidana kasus narkoba didominasi para kurir atau orang biasa yang mengaku kasusnya direkayasa oknum polisi.

”Suami saya dihukum lima tahun sebagai kurir. Bandarnya masih bebas di kampung sini dan tak ditangkap polisi,” kata Amalia, istri Abidin, pedagang voucher telepon yang menjadi terdakwa dan dihukum lima tahun penjara, saat ditemui di Gang Hemat, Sumur Batu, Jakarta Pusat, Sabtu.

Menurut Direktur Indonesia Police Watch Neta S Pane, isu-isu tentang bandar memberikan setoran dan membantu menjebak orang untuk memenuhi kuota penanganan perkara oleh polisi adalah rahasia umum. ”Pendapat itu seolah bisa dibenarkan karena yang ditangkap dalam kasus narkoba adalah yang kecil-kecil dan orang biasa,” ujar Neta.

Persoalan rekayasa sudah lama terjadi, tetapi baru sekarang ramai lagi. ”Ini tidak sejalan dengan program Kapolri dan Presiden dalam memberantas narkoba,” kata Neta. Ia menerima laporan adanya dugaan rekayasa oleh oknum polisi yang meletakkan narkoba ke dalam mobil warga.

Fenomena ini terjadi karena oknum polisi mau mencari keuntungan dan rendahnya pengawasan dari atasan. Polisi yang merekayasa kasus itu harus dipecat. (SF/ONG)
Sumber: Kompas, 8 Maret 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan