Rekayasa Dua Pimpinan Nonaktif KPK Diduga Libatkan Elite Kejagung

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya bersuara soal rekayasa kasus yang menimpa dua pimpinan lembaga itu, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Pernyataan tersebut dikemukakan pimpinan komisi menyusul beredarnya transkrip rekaman yang memperkuat dugaan rekayasa kasus itu.

Plt Pimpinan KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengakui keberadaan rekaman tersebut. Namun, dia tidak mau membeberkan isi transkrip rekaman itu. "Kalau ditanya apakah rekaman itu ada, kami katakan ada sebagai salah satu bukti penyelidikan," ucapnya di gedung komisi kemarin (26/10).

Rekaman tersebut, kata dia, didapatkan dalam penyelidikan dugaan korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) yang melibatkan Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo. Tumpak heran dengan terungkapnya dokumen-dokumen itu ke media massa. Dia menegaskan bahwa dokumen tersebut masih tersimpan di KPK. "Dokumen itu sekarang masih tersimpan dengan baik," jelasnya.

Mantan jaksa tersebut mengatakan akan membuka dokumen itu sepanjang diperlukan untuk kepentingan penyidikan atau persidangan. Dengan begitu, kasus tersebut menjadi lebih terang. "Apabila diminta penegak hukum, kami sebagai pimpinan KPK akan memberikan," ucapnya.

Keterangan soal rekayasa kasus itu, kata Tumpak, bisa juga diberikan oleh yang bersangkutan (Bibit dan Chandra). Meski menjelaskan keberadaan rekaman tersebut, Tumpak tak ingin lebih lanjut mengomentari kasus yang menimpa dua koleganya itu. "Saya kira ini telah bergulir. Kami lihat nanti dari hasil penyelidikan tadi (rekaman penyelidikan SKRT)," jelasnya.

Pernyataan pimpinan KPK tadi malam tersebut merupakan yang pertama sejak mereka dilantik sebagai Plt pimpinan KPK pilihan presiden tiga minggu lalu. Sebab, sejak kriminalisasi menimpa Bibit dan Chandra itu bergulir, para pimpinan tersebut cenderung diam.

Bahkan, mereka sulit dihubungi wartawan. Sejumlah tim pembela hukum Bibit dan Chandra sebelumnya juga meragukan komitmen pimpinan KPK terhadap kasus itu.

Sebelumnya di kalangan wartawan, beredar transkrip rekaman yang berisi percakapan Anggodo Widjojo, adik Anggoro Widjojo, dengan seorang bekas pejabat tinggi Kejaksaan Agung berinisial WS. Ada pula transkrip rekaman pembicaraan antara seorang perempuan yang kerap dipanggil dengan nama Lien. Dia juga menyebut beberapa kali nama pejabat lain di gedung bundar bernama AHR.

Mereka berupaya mengatur skenario agar keterangan para saksi dengan tersangka lain, seperti Ari Muladi, memperkuat tuduhan polisi telah terjadi pemerasan para petinggi KPK. Dengan begitu, kasusnya berbelok ke arah dugaan penyuapan.

Beredarnya rekaman rekayasa kasus yang diduga melibatkan petinggi Kejaksaan Agung direspons Jaksa Agung Hendarman Supandji. Kemarin (26/10) secara khusus Hendarman memanggil Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga untuk meminta klarifikasi. Nama Ritonga memang turut disebut-sebut dalam rekaman pembicaraan yang diduga sebagai Anggodo (adik Anggoro) dan pejabat kejaksaan.

"Tadi saya baru klarifikasi ke wakil JA (wakil jaksa agung, Red)," kata Hendarman sesaat sebelum meninggalkan kantornya. Namun, dia menolak mengungkapkan hasil klarifikasinya itu. "Masak klarifikasi saya kasih tahu jawabannya," kilahnya.

Dia mengatakan belum mengambil langkah lanjutan. "Bagaimana mau melangkah, wong pelanggaran apa yang terjadi belum tahu juga," tuturnya.

Dia juga mengatakan baru mengetahui rekaman itu dari pemberitaan media. Hendarman menegaskan, pihaknya mendukung jika Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri mendalami beredarnya rekaman tersebut. "Setiap perbuatan kejahatan itu kan perlu dibuat terang," jelas mantan ketua Timtastipikor itu.

MK Tolak Transkrip Rekaman

Majelis hakim konstitusi yang menyidangkan uji materi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak transkrip rekaman yang diduga berisi rekayasa kasus penyalahgunaan kewenangan yang membelit dua komisioner KPK nonaktif, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah.

Transkrip itu awalnya akan diserahkan Bibit Samad Riyanto kepada majelis hakim konstitusi sebagai bukti tambahan guna memperkuat gugatan uji materi Pasal 32 Ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Permohonan uji materi tersebut diajukan dua pimpinan nonaktif KPK, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Mereka meminta mahkamah membatalkan Pasal 32 Ayat 1 huruf c UU KPK yang berbunyi, ''Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena: menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan."

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menilai transkrip rekaman itu sebaiknya dilampirkan dalam berkas permohonan uji materi sehingga menjadi salah satu bukti penguat bagi permohonan uji materi dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi, bukan dalam sidang panel yang hanya memeriksa kelengkapan materi uji materi.

Dalam sidang tersebut, pimpinan KPK nonaktif Chandra M. Hamzah menilai pemberhentian pimpinan KPK sebelum mempunyai kekuatan hukum tetap bertentangan dengan asas praduga tak bersalah. Aturan itu juga dapat mengganggu kewenangan KPK karena pemberhentian pimpinan KPK hanya membutuhkan keputusan polisi dan kejaksaan, dua objek supervisi KPK.

''Pemberhentian pimpinan KPK secara tetap melanggar asas proporsionalitas,'' katanya ketika membacakan permohonan uji materi di gedung Mahkamah Konstitusi kemarin (26/10). ''Aturan ini jelas-jelas melanggar praduga tak bersalah dan mengganggu kewenangan KPK,'' tambahnya.

Alexander Lay, kuasa hukum Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, mengatakan, berdasar perbandingan peraturan di berbagai komisi independen di Indonesia, seorang pejabat diberhentikan setelah punya kekuatan hukum tetap dari pengadilan. Ini berbeda dengan pimpinan KPK yang hanya butuh status terdakwa untuk dapat diberhentikan secara tetap.

''Padahal, status terdakwa itu bisa dinyatakan salah di pengadilan, namun juga bisa dinyatakan tidak bersalah. Bagaimana keadilannya bila pimpinan KPK dinyatakan tidak bersalah, sementara dia sudah diberhentikan secara tetap dari jabatannya," paparnya.

Dalam persidangan, kuasa hukum Bibit dan Chandra, Taufik Basari, meminta majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan sela atau provisi. Provisi itu sangat penting. Pasalnya, UU KPK yang sedang diuji ke MK menyatakan, pimpinan KPK bisa diberhentikan karena berstatus tersangka.

Taufik juga meminta mahkamah memerintahkan penundaan pelimpahan kasus pidana Bibit dan Chandra terkait penyalahgunaan kewenangan sebagai pimpinan KPK. ''Kami meminta Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusan provisi. Kami juga ingin perkara ini jangan dilimpahkan dulu ke pengadilan sebelum mendapat putusan dari MK,'' katanya.

Tim kuasa hukum Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah meminta majelis hakim Mahkamah Konstitusi memanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai salah satu pihak yang terkait dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. ''Mohon yang mulia bisa memanggil KPK sebagai pihak terkait sehingga bisa memberikan keterangan,'' pinta Alexander Lay.

Dia menilai keterangan KPK sangat penting, bukan hanya bagi Bibit dan Chandra, namun juga bagi kepentingan KPK secara kelembagaan. Pemanggilan KPK juga terkait argumen masalah independensi KPK dalam menjalankan kewenangannya. Menanggapi permohonan tersebut, Ketua Majelis Hakim Panel Akil Mochtar meminta tim kuasa hukum memikirkan kembali permohonannya.

Pasalnya, selain dapat memperjelas perkara, keterangan KPK berpotensi mempersulit posisi permohonan Bibit dan Chandra. ''Harap dipertimbangkan permohonan itu,'' katanya. ''Kalau itu, nanti saja di pleno karena ini masih sidang panel,'' tambahnya.

Bambang Widjojanto, kuasa hukum Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, mengaku kliennya memiliki dokumen-dokumen dan informasi yang dapat digunakan untuk membela diri masing-masing di muka sidang terkait dengan dugaan pemerasan dan penyalahgunaan kewenangan pasca pencekalan dua pengusaha, yakni Anggoro Widjojo dan Joko Tjandra. Namun, dia menilai belum saatnya mengeluarkan bukti-bukti tersebut. ''Pada saatnya nanti, akan kami berikan dokumen-dokumen itu,'' tegas Bambang.

Dia menilai saat ini belum tepat untuk membuka kepada publik soal adanya rekayasa yang menjerat kliennya. ''Memang ada rekayasa. Tapi, tuntutan teman pers melebihi dari yang bisa kami jawab,'' katanya.

Dalam transkrip ada nama petinggi Kejaksaan Agung yang diduga berkomunikasi dengan Anggoro? ''Itu pun nanti kami berikan. Saya tidak tahu siapa itu WS,'' kelitnya. (git/fal/noe/iro)

---

Isi Transkip Rekaman

Anggodo ke Wisnu (Jamintel): (22 Juli 2009:12.03)

"... Nanti malam saya rencananya ngajak si EDI sama ARI ketemu TRUNO 3

Wisnu ke Anggodo (23 juli 2009:12.15)

"Bagaimana perkembangannya"

"Ya, masih tetap nambahin BAP, ini saya masih di Mabes"

"Pokoknya berkasnya ini kelihatannya dimasukkan ke tempatnya R (nama salah satu pucuk pimpinan kejaksaan), minggu ini, terus bali ke sini, terus action"

"RI-I belum"

"Udah-udah, aku masih mencocokkan tanggal"

Anggoro ke Anggodo (24 Juli 2009:12.25)

"Yo pokoke saiki berita acarane kene dikompliti"

"Wis gandeng karo Ritonga kok dek'e"

"Janji ambek Ritonga, final gelar iku sama kejaksaan lagi, terakhir Senen"

"... Sambil ngenteni surate RI-1 thok nek?"

"Lha kon takok'o Truno, tho" "Yo, mengko bengi, ngko bengi dek'e"

Hadi Atmoko ke Anggodo (27 Juli 2009, 18.28)

"... Dan ini kronologinya saya sudah di Bang Farman semua,"

"Sebetulnya ada satu saksi lagi si Edi Sumarsono Pak, yang Antasari itu Pak" Sama pembuktian lagi waktu ARI ke sana, ada pertemuan rapat dengan KPK Pak"

"Ada pertemuan di nya di ruang rapat Chandra"

Anggodo ke Kosasih (28 Juli 2009, 12.42)

"Kos, itu kronologis jangan Lu kasih dial oh Kos"

"Jangan dikasihkan soalnya Edi sudah berseberangan"

"Cuman Lu harus ngomong sama dia: 'terpaksa Lu harus jadi saksi', karena Chandra Lu yang perintah, kalao nggak, nggak bisa nggandeng"

Anggodo ke Female (28 Juli 2009, 21.41)

"Besok kon tak ente..., ngomong ke Ritonga, Edi Sumarsono itu bajingan bener, sebenarnya dia mengingkari semua"

"Besok penting ngomong. Edi ngingkari Pak, padahal Antasari bawa Chandra"

Anggodo ke Parman (penyidik) (29 Juli 2009, 13.09)

"Kelihatannya kronologis saya yang benar"

"Iya sudah benar kok, saya lihat, di surat lalu lintas. Saya sudah ngecek ke Imigrasi, sudah benar kok"

Anggodo ke Wisnu (29 Juli 2009, 13.58)

"Terus gimana Pak, mengenai EDI gimana Pak"

"EDI udah tak omongken Irwan apa. Ini bukan sono yang salah, kita-kita ini yang jadi salah"

"Iya, padahal ia saksi kunci Chandra"

"Maksud saya Pak, dia kenalnya dari Bapak dan Pak Wisnu, gak apa-apa kan Pak"

"Nggak apa-apa, kalau dari Wisnu nggak apa-apalah"

"Kalau kita ngikutin, kan berarti saya ngaku Irwan kan. Cuma kalau dia nutupin dia yang perintah... perintahnya Antasari suruh ngaku ke Chandra itu ga ngaku. Terus siapa yang ngaku"

"Ya you sama ARI"

"Nggak bisa dong Pak, wong nggak ada konteksnya dengan Chandra"

"Nggak, saya dengar dari EDI"

"Iya dari EDI, emang perintahnya dia Pak. Lha Edinya nggak mau ngaku, gitu Pak, 'dia nggak kenal Chandra, saya ndak nyuruh ngasihin duit,' gimana bos?"

"Ya nggak apa-apa"

Anggodo ke Wisnu (30 Juli 2009, 19.13)

"Pak tadi jadi ketemu?"

"Udah, akhirnya Kosasih yang tau persis teknis di sana. Suruh dikompromikan di sana, Kosasih juga sudah ketemu Pak Susno, dia juga ketemu Pak Susno lagi si Edi. Yang penting kalo dia tidak mengaku susah kita."

"Yang saya penting, dia menyatakan waktu itu supaya membayar Chandra atas perintah Antasari"

"Nah itu"

"Wong waktu di malam si itu dipeluk anu tak nanya, kok situ bisa ngomong. Si Ari dipeluk karena teriak-teriak, dipeluk sama Chandra itu kejadian"

"Bohong, nggak ada kejadian, kamuflase saja."

"Nggak ada memang. Jadi dia cuma dikasih tahu disuruh Ari gitu. Dia curiga duite dimakan Ari."

"Bukan sial Ari-nya Pak, dia cerita pada waktu ke KPK dia yang minta Ari, kalau ditanya saya bilang Edi ada di situ, diwalik sama-sama doa, Ari yang suruh ngomong dia ngomong dia ada. Kalau itu saya nggak jadi masalah Pak. Itu saya suruh..."

"Pokoknya yang kunci-kuncinya itu saya sudah ngomong sama Kosasih, kalo tidak ada lagi... nyampe... ya berarti ya enggak bisa kasus ini gitu"

"Yang penting buat saya Pak si Ari ini, dia ngurusi Ade Rahardja segala. Ujung-ujungnya dia dapet perintah nyerahkan ke Chandra itu siapa Pak? Kan nggak nyambung, Pak"

"Bukan Pak, dia memerintahkan nyerahken ke Chandra yang Bapak juga tahu kan, karena kalo ga ada yang merintah Chandra Pak, nggak nyambung uang itu lho'

"Memang keseluruhan tetap keterangan itu, kalau edi nggak ngaku, ya biarin yang penting Ari sama Anggodo kan cerita itu"

"Kan saksinya kurang satu"

"Saksinya kan sudah dua, Ari sama Anggodo"

"Saya bukan saksi, saya kan penyandang dana"

Anggodo dengan Female (6 Agustus 2009, 20.14)

"Iyo tapi ditakono tanda tangani teke sopo, iya toh gak iso jawab. Modele bajingan kabeh, Yang. Chandra iku yo, wis blesno ae Yang, ojo ragu-ragu..."

Alex dengan Anggodo dan Robert (10 Agustus 2009:18.07)

"Iya memang dicuplikan. Nggak banyak, tapi intinya kita berkelit, kalau ini bukan penyuapan. Karena di awal itu, beritanya dari Antasari dulu, testimoni itu. Jadi dia cuplik dari Antasari, terus baru disambung ke kita, jadi dijelaskan sama Bonaran, kalo itu bukan penyuapan. Dan permasalahannya, kedatangan Antasari menemui Anggoro itu juga membawa konsekwensi Antasari bisa dipermasalahkan"

Sumber: Jawa Pos, 27 Oktober 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan