Reformasi Birokrasi Jokowi

Dalam sebuah pidato di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Presiden Joko Widodo mengingatkan para menteri, gubernur, dan wali kota/bupati agar memperbaiki anggaran yang tidak masuk akal.

Presiden mencontohkan ada anggaran pemulangan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang jumlahnya Rp 3 miliar. Dana yang digunakan untuk pemulangan TKI ternyata hanya Rp 500 juta, sedangkan yang Rp 2,5 miliar justru untuk rapat dalam kantor, rapat di luar kantor, rapat koordinasi, kunjungan daerah, dan alat tulis kantor.

Apa yang dikatakan oleh Presiden memang terjadi di beberapa kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah (K/L/pemda). Sebagai contoh, di sebuah kabupaten ada anggaran untuk penanganan anak kekurangan gizi sebesar Rp 500 juta. Ironisnya, anggaran untuk pemberian makanan tambahan anak hanya sebesar Rp 100 juta. Selebihnya
Rp 400 juta untuk anggaran rapat dan perjalanan dinas.

Apa yang terjadi di atas adalah penyakit lama yang tidak kunjung sembuh. Walaupun reformasi birokrasi sudah berjalan lama, penyakit tersebut sama sekali belum terobati. Sebenarnya, semua birokrasi di berbagai tingkatan selalu sibuk untuk membenahi diri. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) sudah membuat peta jalan dan berbagai turunannya.

Namun, sayangnya, perbaikan yang sudah dijalankan belum menjawab persoalan mendasar seperti yang dikatakan Presiden.

Presiden Jokowi mencoba melakukan perubahan dengan cara sederhana dan konkret. Apa persoalan yang dihadapi, itulah yang langsung ”ditembak”. Alokasi anggaran yang selama ini tidak masuk akal harus dibongkar. Porsi penggunaan anggaran yang selama ini banyak untuk kepentingan birokrasi diubah untuk kepentingan publik. Dana untuk kegiatan inti yang terkait dengan pelayanan masyarakat harus lebih besar dibandingkan dengan dana untuk kegiatan pendukung yang digunakan oleh birokrasi.

Hal yang sama dilakukan Jokowi pada awal pemerintahan ketika ditemukan banyak peraturan daerah (perda) yang menghambat kegiatan investasi. Presiden langsung meminta agar perda di beberapa daerah dikaji ulang dan apabila terbukti menghambat, perda harus dihapus. Birokrasi pun langsung bergerak cepat.

Selama ini, undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan lain-lain sudah cukup banyak. Hal yang sangat dibutuhkan adalah tindakan konkret yang benar-benar menjawab permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, kehadiran birokrasi pemerintah benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, dan bukan justru menjadi benalu pembangunan.

Reformasi 1998
Adakah yang harus diluruskan dengan reformasi birokrasi yang sudah kita jalankan? Jawabannya sederhana: kita kembalikan ke semangat reformasi tahun 1998. Salah satu yang mendorong perubahan saat itu adalah kegundahan masyarakat terhadap pemerintahan yang sudah sarat korupsi, kolusi dan nepotisme.

Sejauh mana reformasi yang kita jalankan di tubuh birokrasi benar-benar mengurangi korupsi di dalam berbagai organ pemerintahan? Kementerian PAN-RB sudah mencanangkan delapan area perubahan: (1) manajemen perubahan; (2) penataan dan penguatan  organisasi; (3) penataan peraturan perundang-undangan; (4) penataan SDM; (5) penataan tata laksana; (6) penguatan pengawasan; (7) penguatan akuntabilitas kinerja; dan (8) peningkatan kualitas pelayanan publik.

Dalam pengamatan saya di banyak diskusi, saya melihat bahwa banyak yang tidak fokus. Mereka sibuk melakukan perubahan, tetapi sebenarnya perubahan untuk menjawab kebutuhan apa? Lebih-lebih lagi, banyak yang menginterpretasikan bahwa reformasi birokrasi sebagai peningkatan remunerasi.

Mereka menyusun dokumen dan berharap segera ada peningkatan pendapatan. Mereka berasumsi bahwa pendapatan tinggi akan mengurangi korupsi dan meniru cara Singapura. Padahal, Singapura menggunakan instrumen gaji tinggi untuk mencegah brain drain orang terbaiknya ke swasta. Sementara korupsi dicegah dengan membangun sistem birokrasinya.

Dalam pandangan penulis, reformasi bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, kita fokuskan seluruh perubahan agar menjawab persoalan korupsi dan inefisiensi anggaran. Selama ini, reformasi birokrasi kurang fokus dan terkesan menginginkan K/L/pemda melakukan semuanya dan seragam. Kedua, reformasi harus berangkat dari kebutuhan yang dirasakan oleh warga (demand side). Reformasi birokrasi tak cukup hanya dirumuskan atas dasar kebutuhan internal birokrasi (supply side).

Untuk cara pertama, Presiden bisa memerintahkan semua institusi pemerintahan agar dalam dua tahun ini fokus melakukan perubahan di dalam unit-unitnya yang bisa mencegah korupsi dan inefisiensi anggaran. Beberapa contoh, misalnya: untuk alokasi anggaran, pastikan reformasi yang dilakukan bisa mengurangi biaya rapat dan perjalanan dinas yang tidak terlalu penting; untuk reformasi di pengadaan barang dan jasa, pastikan menutup semua kemungkinan korupsi dan inefisiensi anggaran; untuk reformasi SDM, pastikan perekrutan dan promosi jabatan bisa lebih efisien dan tidak ada lagi praktik suap.

Kalau semua unit melakukan itu, akan terbangun sistem yang bisa mencegah korupsi dan mengurangi inefisiensi anggaran. Unit-unit pemerintahan tak perlu melakukan semua hal secara seragam, tetapi cukup hal-hal yang masih menimbulkan masalah korupsi dan inefisiensi. Langkah perbaikan sistem pencegahan korupsi ini tak perlu dikhawatirkan bertabrakan dengan KPK yang memang tugas utamanya penindakan.

Untuk yang kedua, Presiden bisa memberi instruksi kepada menteri agar semua unit melakukan evaluasi dengan mengundang pemangku kepentingan untuk mendengarkan keluhan mereka dan melakukan perbaikan dalam birokrasi. Semua perubahan itu akan bisa terwujud jika Presiden terus-menerus menyentil secara langsung pokok persoalan yang dihadapi.

AGUS PRAMUSINTO, Guru Besar dan Ketua Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fisipol UGM

Tulisan ini disalin dari Kompas, 28 Desember 2017

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan