Refleksi Peringatan Hari Adhiyaksa

Kejaksaan Perlu Obat Kuat Independensi

Hari ini, korps kejaksaan memperingati Hari Adhiyaksa. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, perayaan Hari Adhiyaksa kali ini dilaksanakan dalam suasana amat prihatin. Yakni, ketika kepercayaaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum itu sudah sampai ambang batas paling bawah. Ketika kredibilitas dan akuntabilitas kejaksaan sudah berada pada titik nadir.

Makin terpuruknya tingkat kepercayaan institusi kejaksaan tersebut diakui dan disadari betul oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji. Dia mengungkapkan hal itu saat acara silaturahmi jaksa agung dan seluruh jaksa agung muda dengan pemimpin redaksi media massa di Kejaksaan Agung belum lama ini. Hendarman mengaku terus terang sangat malu atas berbagai berita terkait dengan praktik-praktik tidak terpuji yang dilakukan anak buahnya belakangan ini.

Liputan mengenai borok dan kebobrokan moral beberapa pimpinan di Kejaksaan Agung itu dimuat dan ditayangkan dengan blow up oleh media massa selama berhari-hari. Ibarat gelombang tsunami, menurut Hendarman, berita-berita buruk itu terus-menerus menghantam institusi Kejaksaan Agung secara bertubi-tubi.

''Saya sampai merasa malu dan ingin menyembunyikan wajah ketika bertemu orang lain di bandara,'' kata Hendarman di depan pimpinan media massa kala itu.

Hal tersebut bermula dari tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan saat menerima uang suap dari Artalyta Suryani oleh KPK. Peristiwa itu menjadi pintu masuk terbongkarnya keterlibatan aktor-aktor lain dalam skandal suap tersebut. Kemudian, disusul barang bukti rekaman telepon antara terdakwa Artalyta dengan beberapa jaksa agung muda yang diperdengarkan dalam Pengadilan Tipikor. Fakta persidangan itu pun langsung menampar wajah korps kejaksaan yang sudah bopeng menjadi semakin buruk.

Kepada jaksa agung, saya sampaikan bahwa media massa itu ibarat mirror (cermin). Seperti cermin, baik atau buruknya berita di media massa bergantung pada objek beritanya. Bergantung pada orang yang berdiri di depan cermin. Jika dia berwajah bersih dan rapi, otomatis yang terlihat di cermin yang seperti itu. Sebaliknya, jika wajahnya memang kumuh dan awut-awutan, yang terlihat di cermin juga seperti itu. Tugas media massa hanya melaporkan dan mereportase peristiwa. Tidak menambahi dan tidak mengurangi.

Karena itu, mau tidak mau, kejaksaan sendiri yang harus berubah dan mengubah diri jika ingin diberitakan baik. Kejaksaan Agung harus mencuci dirinya sampai bersih jika ingin diberitakan bersih di media massa. Saat inilah momentum paling tepat untuk melakukannya.

Pilihannya hanya dua, berubah dan berubah. Tidak ada pilihan lain. Karena kredibilitasnya sudah berada pada titik paling bawah (nadir), tidak mungkin Kejaksaan Agung turun lagi, tapi harus naik, meski setingkat demi setingkat.

Anggap saja kasus-kasus yang sudah terjadi sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit yang sudah kronik dan akut ini. Obat memang sering terasa pahit dan menyakitkan. Tapi, kalau ingin sembuh, ya harus diminum, dimakan, atau disuntikkan ke dalam tubuh. Selain itu, kejaksaan perlu obat kuat untuk melakukan reformasi menuju ke arah yang lebih baik. Obat kuat itu bukan semacam viagra. Obat kuat yang dibutuhkan kejaksaan adalah independensi.

***

Dalam sistem peradilan, peran kejaksaan sangat sentral karena merupakan lembaga yang menentukan apakah seseorang harus diperiksa oleh pengadilan atau tidak. Jaksa pula yang menentukan apakah seorang tersangka akan dijatuhi hukuman atau tidak melalui kualitas surat dakwaan dan tuntutan yang dibuat. Sedemikian penting posisi jaksa bagi penegakan hukum, sehingga lembaga itu harus diisi oleh orang-orang yang profesional serta berintegritas tinggi.

Lembaga kejaksaan di Indonesia diatur dalam UU No 16/2004 tentang Kejaksaan. UU itu menyatakan, kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dilakukan oleh kejaksaan.

Selain berperan dalam peradilan pidana, kejaksaan mempunyai peran dalam hukum perdata dan tata usaha negara. Yaitu, bisa mewakili negara dan pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan melaksanakan putusan pengadilan serta wewenang lain berdasar UU. Ditinjau dari sisi tugas dan wewenang, pada hakikatnya kejaksaan melaksanakan fungsi yudikatif yang merupakan pelaksanaan kekuasaan badan kehakiman.

Karena berperan sangat penting itu, sejak setahun lalu, sesungguhnya Jaksa Agung Hendarman Supandji mencanangkan dimulainya gerakan reformasi kejaksaan. Hanya, karena kendala faktor internal dan eksternal, gaungnya tidak terdengar. Malahan terkesan berjalan di tempat. Ironisnya lagi, ketika gerakan reformasi kejaksaan tersebut sedang berproses, publik tiba-tiba disuguhi berita skandal suap dan korupsi yang dilakukan para pejabat di Gedung Bundar.

Namun, di balik peristiwa itu, ternyata ada ''hikmah'' yang bisa membuka mata kita. Kejaksaan yang mempunyai peran dan tugas besar menegakkan hukum ternyata tidak bisa independen. Di satu sisi, kejaksaan dituntut sebagai man of law. Tapi, di sisi lain, kejaksaan masih merupakan bagian dari pemerintah dengan segala keterbatasannya.

Jaksa agung sebagai orang nomor satu di kejaksaan ternyata tidak bisa mengganti secara langsung pejabat sekelas jaksa agung muda yang terbukti melanggar. Jaksa agung hanya bisa mengusulkan kepada pemerintah. Seperti departemen lain di pemerintahan, usul jaksa agung itu masih harus dibahas oleh TPA (tim penilai akhir) yang anggotanya terdiri atas lintas departemen. Itu juga berlaku untuk seluruh pejabat eselon I di pemerintahan.

Masalahnya, bagaimana jika TPA tidak menyetujui calon yang diusulkan jaksa agung dan punya calon sendiri? Jika alasannya rasional, misalnya calon harus profesional dan punya integritas, tidak menjadi soal. Akan menjadi masalah jika TPA sendiri tidak profesional dan tidak punya integritas. Misalnya, hanya mempertimbangkan sisi politis atau kepentingan masing-masing anggota TPA.

Jika demikian, bisa gawat. Sebab, penegakan hukum tidak seharusnya dicampur aduk dengan masalah politis. Keadilan dan kepastian hukum jangan sampai dikalahkan oleh pertimbangan untung dan rugi secara politis. Apalagi jika celah itu kemudian dimanfaatkan oleh mafia serta bandit-bandit peradilan yang terus bergentayangan untuk membujuk dan mencari pejabat lemah iman dan doyan materi. Hukum harus tetap ditegakkan, meski langit runtuh.

Contohnya, penggantian JAM Datun (Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Untung Uji Santoso) pascakasus Artalyta. Meski sudah berhari-hari dicopot dari jabatannya, hingga kini, belum ada gantinya sebagai JAM Datun. Prosesnya mandek di tangan TPA.

Sesungguhnya, kejaksaan tidak memerlukan kewenangan sebesar KPK, yang tidak mengenal SP3 dan langsung melimpahkan berkasnya ke Pengadilan Tipikor (tindak pidana korupsi). Kejaksaan setidaknya diberi independensi seperti Polri dan Mahkamah Agung dalam mengatur personelnya. Tidak seperti jaksa agung, ketua MA mempunyai otoritas mengangkat ketua muda.

Kita beruntung saat ini memiliki jaksa agung seperti Hendarman Supandji yang dikenal sebagai sosok bersih. Karena itu, alangkah bijaknya jika dia diberi kesempatan untuk memilih jaksa-jaksa yang profesional dan berintegritas mendampinginya menegakkan hukum yang sudah loyo di negeri ini. Selamat merayakan ulang tahun Adhiyaksa. (*)

Imam Syafi'i, wartawa Jawa Pos-Indo Pos

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 22 Juli 2008 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan