REDD, Ladang Baru Korupsi

Upaya mereduksi emisi karbon melalui pelestarian hutan atau REDD+ bisa jadi adalah peluang terbaik untuk menyelamatkan hutan yang tersisa sekaligus memperlambat laju pemanasan global. Namun, mekanisme ini juga bisa jadi ladang baru korupsi.

Pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD+) menjadi kontroversi sejak awal kemunculannya. Bagi penentangnya, mekanisme ini dinilai sebagai siasat negara maju, yang merupakan emiter karbon terbesar, untuk lari dari tanggung jawab. Daripada mengubah gaya hidup agar lebih ramah lingkungan, mereka justru menawarkan uang kepada negara berkembang asalkan mau melestarikan hutan yang tersisa.

Di tengah kontroversi itu, negosiasi REDD+ ternyata paling cepat kemajuannya dibandingkan proyek perubahan iklim lainnya, seperti transfer teknologi dan bantuan dana untuk adaptasi. Negara-negara berkembang yang memiliki hutan, seperti Indonesia, dengan gembira menyambut REDD+, lebih karena melihat besaran dana yang akan didapat. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Indonesia memiliki 94 juta hektar hutan dari total 214 hutan tropis di 10 negara Asia Tenggara sehingga berkepentingan besar terhadap REDD+.

Penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR) menyebutkan, jika Indonesia sukses mengurangi deforestasi sebesar 5 persen saja, kita bisa memperoleh 765 juta dollar AS dalam setahun melalui mekanisme REDD+. Jika berhasil mereduksi deforestasi hingga 30 persen, bisa memperoleh pendapatan hingga 4,5 miliar dollar AS setahun.

Dalam diskusi panel di International Anti-Corruption Conference (IACC) Ke-14 di Bangkok, Tim Clairs, penasihat senior UN-REDD Programme, mengatakan, dana yang telah siap untuk mekanisme REDD+ melalui lembaganya mencapai 4 miliar dollar AS dalam kurun 2009-2012. Dana ini di luar kerja sama langsung antarnegara, seperti komitmen bantuan 1 miliar dollar AS yang diperoleh Indonesia dari Norwegia yang ditandatangani tahun ini.

Rentan korupsi
Namun, di tengah antusiasme negara donor dan juga negara penerima, Bernd Markus Liss, penasihat kebijakan hutan dari Kerja Sama Teknis Jerman di Filipina, mengatakan, REDD+ rentan menumbuhsuburkan korupsi. Potensi korupsi dari REDD+ bisa terjadi sejak proses penentuan lahan, penghitungan nilai karbon yang rentan dimanipulasi, munculnya broker karbon, hingga penghilangan akses komunitas lokal terhadap hutan.

Menurut kajian UNDP (Tackling Corruption Risk in Climate Change, 2010), celah korupsi dalam penentuan lahan sangat mungkin terjadi dengan menyuap petugas mengeluarkan terlebih dulu kayu-kayu bernilai tinggi di area konsesi. Selain itu, perusahaan multinasional ataupun industri agrobisnis juga bisa menyuap pejabat untuk memasukkan lahan yang mereka punyai dalam proyek REDD+.

Liss menyarankan pemberian lisensi, audit, dan investasi REDD+ dilakukan secara transparan. Bahkan, transparansi saja tidak cukup jika hal itu tidak memasukkan aspek kemanfaatan bagi masyarakat tempatan. Jika masyarakat sekitar hutan justru bertambah sengsara setelah hutan mereka dimasukkan dalam proyek REDD+, konflik pasti akan terjadi.

Kekhawatiran tentang pembajakan oleh koruptor juga disampaikan Peter Larmour dari The Australian National University. Menurut dia, jika program REDD+ dikorup, masyarakat lokal sekitar hutan akan tambah sengsara. Sebab, di satu sisi, REDD+ membuat mereka kehilangan akses untuk memanfaatkan hutan secara langsung.

Karena itu, parameter antikorupsi telah disepakati sebagai kunci bagi kesuksesan program REDD+ sehingga PBB mewajibkan negara yang ikut program ini membuat sistem yang terukur, dapat dilaporkan, dan dapat diverifikasi. Pemerintah Indonesia meresponsnya dengan membuat Strategi Nasional (Stranas) REDD+.

Namun, kesangsian masih tinggi mengingat sektor kehutanan selama ini merupakan ladang subur korupsi. Dan korupsi pula yang menggagalkan program konservasi dan rehabilitasi hutan. Bahkan, dalam Stranas REDD+ 2010 disebutkan, sektor hutan lekat dengan praktik mafia hukum.

Ahmad Dermawan, peneliti dari CIFOR, mengatakan, negara-negara yang berpeluang mendapatkan dana REDD+ adalah negara yang memiliki reputasi buruk dalam pemberantasan korupsi, salah satunya adalah Indonesia.

Ditetapkannya salah satu negosiator REDD+ Indonesia dalam Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim di Kopenhagen, Wandojo Siswanto, sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menguatkan kesangsian tentang integritas para pihak, terutama dari kalangan pemerintah. Mantan Direktur Perencanaan dan Keuangan Kementerian Kehutanan ini diduga menerima suap dari Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo dalam perkara pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu.

Selain potensi korupsi dari kalangan pengelola negara, Dermawan juga mengingatkan, beberapa perusahaan (baik skala nasional maupun internasional), yang sebelumnya terlibat penghancuran hutan dan lingkungan, kini ramai-ramai mengajukan proposal REDD+. Karena itu, semestinya ada upaya untuk melacak rekam jejak sektor swasta agar program REDD+ tidak menjadi area korupsi dan pencucian uang.

Julie Walters dari Australian Institute of Criminology mengatakan, korupsi kehutanan sangat dekat dengan kejahatan pencucian uang. Karena itu, untuk mengungkap kasus ini salah satunya adalah dengan melacak uang hasil kejahatan sektor kehutanan ini.

Namun, menurut Ajit Joy, Country Manager UN Office on Drugs and Crime (UNODC) Indonesia, upaya mengungkap pencucian uang ini tidak mudah dilakukan. Apalagi hal ini juga melibatkan sindikat kejahatan transnasional.

Dalam kasus di Indonesia, menurut Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia Todung Mulya Lubis, masalahnya menjadi lebih rumit lagi karena sejumlah perusahaan kayu juga memiliki bank sendiri sehingga uang hasil dari korupsi di sektor kehutanan bisa dengan mudah dicuci.

Tanpa memperbaiki komitmen antikorupsi para pihak, REDD+ tampaknya akan menjadi ladang baru bagi korupsi baru. Dan rakyat sekitar hutan menjadi pihak yang paling rentan terdampak dan secara global mitigasi perubahan iklim bisa gagal....[Ahmad Arif]
Sumber: Kompas, 20 November 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan