RAPBN 2005, Pemerintah Berhati-hati [19/08/04]
RENCANA Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2005 yang disampaikan Presiden Megawati Soekarnoputri dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2004 lalu memproyeksikan pendapatan negara dan hibah akan mencapai sebesar Rp 377,9 triliun yang berarti meningkat 8% atau sebesar Rp 28 triliun. Sedangkan dari sisi pembiayaan meningkat secara signifikan terutama pada anggaran belanja aparatur negara (pegawai), belanja modal, dan subsidi.
Hal ini paling tidak mengindikasikan RAPBN 2005 menempuh kebijakan anggaran yang hati-hati mengingat perkiraan pendapatan negara meningkat tetapi subsidi juga meningkat khususnya pengeluaran subsidi untuk BBM yang dianggap kurang memberi jaminan kesinambungan fiskal. Padahal khusus tentang BBM banyak muncul sesuatu yang kontroversial ketika harga minyak mentah melampaui angka 40 dolar AS per barel dengan kurs rupiah yang cenderung belum begitu stabil tetapi pemerintah justru menetapkan asumsi dasar harga minyak hanya sebesar 24 dolar AS per barel. Sementara penerimaan dari privatisasi tidak lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya sebagai indikasi pemberian yang lebih luas bagi pemerintahan baru.
Penerimaan negara secara total disumbangkan dari penerimaan dalam negeri yang terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 297,5 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 79,6 triliun. Tampaknya RAPBN 2005 sangat mengandalkan peran penerimaan pajak yang berarti menunjukkan semakin surutnya penerimaan negara dari penerimaan minyak dan gas. Turunnya penerimaan dari migas ini merupakan bagian yang terkait dengan lambatnya eksplorasi dan investasi di sektor ini. Meskipun tingkat harga minyak mengalami tren peningkatan di pasar internasional bukan berarti penerimaan dari minyak dapat segera meningkatkan pendapatan negara. Sebab kenaikan harga minyak mentah secara otomatis akan menaikkan pembiayaan impor minyak yang siap dikonsumsi yang diimpor dari sentra-sentra pengolahan minyak luar negeri.
Penerimaan pajak yang diproyeksikan akan meningkat terutama disumbangkan oleh Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp 141,9 triliun atau naik 5,9% dibandingkan APBN 2004, pajak pertambahan nilai (PPN) dan PPnBM yang diperkirakan mencapai Rp 98,8 triliun atau naik 14,6% dibandingkan tahun 2004. Sedangkan penerimaan dari cukai diperkirakan mencapai sebesar Rp 28,9 triliun. Naiknya penerimaan pajak menunjukkan betapa tingginya kepercayaan diri untuk merengguk penerimaan dari sektor ini. Tetapi kebijkan di sektor perpajakan ini tetap menjadi pertanyaan penting mengingat kasus pelanggaran dan penghindaran pajak (tax avoidance) masih relatif tinggi dan administrasi perpajakan belum begitu efisien dan efektif.
Namun yang terpenting dalam merespons meningkatnya anggaran negara yang tercermin dalam RAPBN 2005 adalah bagaimana penguatan landasan ekonomi domestik dapat dilakukan mengingat penerimaan pajak domestik hanya akan efektif bilamana ekonomi dalam negeri cukup andal dan merata. Perkembangan rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) dari 11,9% pada tahun 2001 menjadi 13,6% dalam APBN 2004 menunjukkan terdapat sedikit adanya perbaikan dalam perekonomian dalam negeri setidaknya diperlihatkan dengan kurs rupiah yang stabil, tingkat inflasi yang terkendali dengan baik, dan tingkat suku bunga yang semakin kondusif bagi kegiatan perekonomian. Tetapi kalau melihat basis pajak yang luas dalam perekonomian tampaknya rasio pajak seharusnya dapat mencapai 15%-16%.
Kondisi penerimaan pajak agak berbeda dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sebab basis penerimaan sumber daya alam yang bersumber dari minyak bumi dan pertambangan umum mengalami penurunan yang berarti. Tidak dapat dipungkiri kondisi ini searah dengan iklim investasi dan teknologi pertambangan yang masih belum kondusif hingga saat ini. Selain itu PNBP juga dihadapkan kepada masalah masih berlangsungnya proses restrukturisasi BUMN sehingga penerimaan deviden BUMN terbatas. Karena itu perlu menyiasati penerimaan dari sektor-sektor PNBP lainnya seperti usaha kegiatan jasa infromasi dan telekomunikasi dan eksplorasi ladang gas alam lepas pantai.
Sementara itu dari sisi belanja negara sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, maka dalam RAPBN 2005 anggaran rutin (terutama gaji dan belanja barang) dan belanja pembangunan digabung dalam suatu format baru untuk menghindari terjadinya anggaran yang tumpang tindih.
Alokasi anggaran untuk belanja pegawai mencapai Rp 62,2 triliun atau meningkat 8,7% disbanding dengan tahun 2004, dan belanja barang sebesar Rp 31 triliun atau turun 12,9 persen. Peningkatan jumlah pembiayaan pegawai ini dipicu oleh bertambahnya jumlah pegawai baru untuk memenuhi kebutuhan pegawai terutama untuk sektor pendidikan, sektor kesehatan, agama dan pemenuhan ketersediaan pegawai akibat pertambahan provinsi dan pemekaran wilayah/daerah.
Dalam komposisi belanja negara ini terdapat anggaran untuk pembayaran bunga utang negara sekira Rp 64 triliun yang mencakup bunga utang dalam negeri sebesar Rp 38,8 triliun dan bunga utang luar negeri sebesar Rp 25,1 triliun, yang secara keseluruhan mengalami penurunan 2,6% dibandingkan dengan tahun 2004. Penurunan porsi pengeluaran bunga utang ini lebih disebabkan oleh percepatan pembayaran utang luar negeri yang memiliki suku bunga tinggi pada tahun 2004.
Sedangkan belanja pemerintah lainnya adalah pembiayaan pembangunan terdiri dari belanja modal sebesar Rp 43 triliun atau naik 8% dibandingkan dengan anggaran yang sama tahun 2004. Hal ini menunjukkan adanya usaha untuk meningkatkan kondisi dan ketersediaan fasilitas infrastruktur yang selama ini menjadi kendala bagi percepatan proses pembangunan dan hambatan bagi masuknya para investor baru.
Suatu hal yang menarik dalam RAPBN sekali ini adalah meningkatnya jumlah pengeluaran untuk subsidi sebesar 26,3% menjadi Rp 33,6 triliun lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran subsidi tahun 2004. Peningkatan jumlah pengeluaran subsidi ini mengindikasikan semakin besarnya perhatian kepada golongan masyarakat yang berpenghasilan terbatas dan pengusaha usaha mikro dam UKM. Meningkatnya pengeluaran untuk subsidi cenderung bersifat reaktif dan atraktif atas pemenuhan kebutuhan dasar konsumsi bagi sebagian besar masyarakat yang tergolong miskin. Komposisi pengeluaran subsidi mencakup seperti, subsidi harga minyak terutama minyak tanah sebesar Rp 21 triliun, subsidi pupuk Rp 1,3 triliun, subsidi pangan Rp 5,9 triliun atau sekira 8,3 juta keluarga miskin, subsidi listrik Rp 3,4 triliun, pelayanan publik sebesar Rp 0,8 triliun, dan subsidi bunga program sebesar 1,2 triliun.
Sementara itu pengeluaran belanja pemerintah pusat mencapai Rp 264,9 triliun sedikit menurun dibandingkan dengan pengeluaran tahun 2004. Secara eksplisit tampaknya pemerintah pusat lebih memberikan perhatian pada sektor-sektor yang selama ini menjadi potensi kritik masyarakat yakni bidang keamanan dan pertahanan, pendidikan dan infrastruktur wilayah. Empat bidang ini diperkirakan mengeluarkan total pembiayaan sebesar Rp 67,1 triliun atau meningkat 23,8% dibandingkan dengan pengeluaran yang sama pada tahun 2004. Hal ini menunjukkan pengeluaran pembangunan memfokuskan pada keamanan dalam negeri dan pengeluaran infrastruktur yang akan memberi dampak positif jangka panjang terutama dalam usaha meningkatkan kepercayaan pasar baik yang bersumber dari pasar domestik maupun internasional serta peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kebijakan pengeluaran belanja pembangunan perlu diikuti dengan kebijakan moneter yang dapat meredam terjadinya efek crowding-out dengan cara memelihara tingkat bunga yang memadai dan laju inflasi yang kondusif.
Selanjutnya pengeluaran belanja daerah mencapai Rp 129,9 triliun sedikit mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2004. Peningkatan ini menunjukkan adanya usaha untuk mereduksi ketimpangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta daerah dengan daerah.
Meskipun RAPBN disusun berdasarkan kebijakan ekspansif namun defisit anggaran masih relatif besar yakni Rp 16,9 triliun atau 0,8% dari PDB. Akan tetapi defisit anggaran ini lebih rendah dibandingkan dengan sasaran defisit anggaran APBN 2004 yakni sebesar Rp 24,4 triliun atau 1,2% dari PDB. Defisit anggaran dapat diartikan sebagai suatu beban anggaran yang harus ditutupi untuk menjaga kredibilitas pemerintahan. Tetapi penurunan defisit dari 1,2% dari PDB pada tahun 2004 menjadi 0,8% sangatlah sulit untuk dimengerti karena target pertumbuhan dengan defisit 0,8% adalah 5,4%. Sedangkan dengan defisit 1,2% saja pertumbuhan ekonomi yang dicapai adalah 4,5%. Ini adalah pertanyaan besar. Sebab selain defisit, beban kewajiban membayar cicilan pokok utang luar negeri masih relatif besar tidak saja pada tahun 2005 melainkan juga pada tahun 2006 dan 2007. Hal ini setidaknya tercermin dengan masih tingginya rasio utang luar negeri pemerintah terhadap PDB sebesar 55% yang turun dari rasio utang luar negeri pemerintah terhadap PDB tahun 2004 sebesar 60,1%. Penurunan ini seyogianya diarahkan pada penurunan yang lebih tajam menuju 20%-30% sesuai dengan standar PBB untuk kategori negara sedang berkembang.
Suatu hal yang sangat positif dalam RAPBN 2005 ini adalah dijadikannya pinjaman luar negeri sebagai anggaran tambahan yang direncanakan sebesar Rp 26,6 triliun atau sekira 3,1 miliar dolar AS atau turun dari Rp 28 triliun pada tahun sebelumnya. Pinjaman itu pun hanya berupa pinjaman program dan projek terutama yang telah disepakati oleh negara-negara donor.
Penutup
Penyusunan RAPBN 2005 tampaknya hanya sebagai anggaran negara yang kelak akan dijadikan dasar perhitungan bagi pemerintahan baru sehingga banyak perhitungan-perhitungan dasar baik dari sisi penerimaan dan belanja terkesan lebih hati-hati. Sebab dengan begitu RAPBN 2005 memberikan ruang yang lebih luas bagi pemerintahan baru untuk melakukan revisi-revisi. Tetapi apa pun penilaian terhadap RAPBN 2005 hendaknya semua pihak dapat lebih arif untuk menjadikan RAPBN 2005 kelak dapat menjadi stimulus bagi perekonomian dan proses pembangunan dapat berjalan dengan normal.(Coki Ahmad Syahwier, Sekretaris Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Bandung dan Dosen FE USU)
Tulisan ini diambil dari Pikiran Rakyat, 19 Agustus 2004