Rantai Belenggu Mafia Peradilan

Mavia peradilan bukanlah barang baru yang telah terjadi dalam sistem peradilan di Indonesia. Para pembela keadilan dalam hal ini malah mencoreng sistem peradilan seperti melakukan tindak pidana korupsi.

Dalam catatan ICW, setidaknya ada 9 advokat yang pernah terseret kasus suap terkait dengan profesi mereka yaitu pengacara. Dari tahun 2005 mereka terlibat suap terkait dengan perkara yang mereka bela. Seharusnya mereka adalah pembela keadilan, namun mereka melakukan tindakan penyuapan untuk memenangkan perkara yang dibelanya. Ulahnya tentu saja mencoreng dunia peradilan Indonesia yang sebenarnya telah hancur.


Nama

Keterangan

Tengku SyaifuddinPopon (2005)

  • Menyuap pegawai pengadilan tinggi tipikor sebesar Rp 250 juta terkait dengan kasus yang sedang ditanganinya (saat itu sedang menangani kasus korupsi yang melibatkan Abdullah Puteh)

  • Divonis Pengadilan Tinggi tipikor 2 tahun 8 bulan

HariniWijoso (2005)

  • Menyuap pegawai MA dan hakim agung terkait dengan kasus yang melibatkan Probosutejo

  • Divonis MA tigatahunpenjaradandendaRp 100 juta

ManatapAmbarita (2008)

  • Menghalang-halangi proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Kejaksaan terhadap tersangkatindakpidanakorupsipenyalahgunaansisaanggaranTahun 2005 padaDinasKimpraswilKabupatenKepulauan Mentawai, AfnerAmbarita.

  • Tahun 2008, Pengadilan Negeri Padang menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara dan diperkuat Pengadilan Banding Sumbar. Pada tahun 2010, MA menjatuhkan vonis 3 tahun penjara. Menyatakan ManatapAmbaritatelahterbuktisecarasahdanmeyakinkanbersalahmelakukantindakpidana ‘DenganSengajaMencegah, MerintangiSecaraLangsungPenyidikanTerhadapTersangkadalamPerkaraKorupsi’,”

  • Tahun 2012, masuk dalam Daftar Pencarian Orang dan dinyatakan buron oleh Kejaksaan Negeri Mentawai. Perkembangan proses selanjutnya tidak jelas.

 

Adner Sirait (2010)

  • menyuap Ibrahim, Hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta terkait perkarasengketatanahseluas 9,9 hektar di Cengkareng, Jakarta Barat, melawanPemerintahProvinsi DKI Jakarta

  • divonis Pengadilan Tipikor 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 150 juta

HaposanHutagalung (2011)

  • Dugaan keterlibatandalam mafia kasusGayusHalomoanTambunandansuapkepada pejabat di BareskrimPolri.

  • Divonis MA 12 tahunpenjaraditambahdendaRp 500 juta

 

Susi Tur Andayani (2014)

  •  
  • Susi didugamenjadiperantarasuapmantanKetuaMahkamahKonstitusi (MK) M AkilMochtardalamsejumlahsengketaPilkada.

  • divonis lima tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.  Namun Melaluiputusankasasibenomor 2262/K/Pid.Sus/2015 tertanggal 23 Februari, Susi divonis 7 tahunpenjara

M. YagariBhastara Guntur alias Gerry (2015)

  •  
  • Dugaan suap kepada Hakim dan Panitera PTUN Medan

  • Tertangkap tangan oleh KPK, ditetapkan sebagai tersangka dan masih dalam proses penyidikan  dan ditahan

OC Kaligis  (2015)

  • Dugaan suap kepada Hakim dan Panitera PTUN Medan

  • Ditetapkan sebagai tersangka dan masih dalam proses penyidikan dan ditahan


 

Menurut Staf Divisi Hukum, Monitoring dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter, praktek mafia peradilan merupakan kebobrokan peradilan di Indonesia. Dalam rantai praktek mafia peradilan, bukan hanya dilakukan oleh advokat melainkan juga oleh kalangan penegak hokum sperti jaksa, hakim, panitera bahkan penyidik.

Ada kasus suap yang melibatkan panitera yang sifatnya hanya administrator. Hal ini menunjukan, bukan hanya yang ‘kuat’ yang dapat mempermainkan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa sistem yang ada memungkinkan terjadinya sebuah praktek korupsi (suap) di tubuh peradilan.

Dalam prakteknya suap bisa terjadi, misalnya dengan cara seorang panitera ikut andil dalam praktek korupsi. Bisa saja dirinya diminta oleh hakim tertentu untuk menjadi kolektor atau tidak sedikit yang menggunakan wewenangnya untuk menerima suap atau melakukan pemerasan dalam konteks ‘UU Tipikor’.

Tidak hanya panitra, advokat yang memiliki tugas membela dan memenagkan kasus yang dialami klienya tidak jarang melakukan ‘jalan pintas’ untuk kepentingan membayar suap atau mengambil pungutan ‘wajar’.

Oleh karena itu sebaiknya pemerintah melakukan pembenahan hukum mulai dari merevisi undang-undang Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-undangan hukum Pidana (KUHP) agar celah permainan hukum dapat diminimalisir

Memang, bukan jaminan bahwa masih akan ada celah hukum yang terjadi nantinya. Melakukan pengawasan mulai dari pemberian sangsi (Reward dan punishment) sampai pada sistem perekrutan sumberdaya manusia harus diperhatikan. Implikasi dari praktek koruptif yang terjadi dapat mengakibatkan vonis kortingan yang dipenuhi hakim, tuntutan dan dakwaan oleh jaksa atau bahkan penyidik yang bisa mengada-ada atau meniadakan barang bukti.

Saat ini memang belum semua aturan hukum terbilang sempurna. Namun jika setiap lembaga pengampu dapat menjalankan fungsi pengawasan dapat diatur dengan teknis, tidak hanya di tataran undang-undang melainkan dapat dibuat standar operasional prosedur (sop), pemberian sanksi(Reward dan punishment), dan memperhatikan proses rekuitmen untuk memilih sumberdaya manusia yang berintegritas.

ICW berharap, lembaga pengampu tidak memainkan isu mafia peradilan sebagai masalah yang hanya diselesaikan di tataran etik saja. Dikhawatirkan ada lembaga pengampu yang hanya membawa kasus pelanggaran hukum oleh orang dari lembaga peradilan ke dalam dataran penyelesaian pelanggaran hukum.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan