Rangkap Jabatan dan Korupsi

EDITORIAL Media Indonesia (13/10/2003) begitu baik mengurai banyaknya pemimpin yang rangkap jabatan di eksekutif dan partai politik (parpol). Akibatnya, pejabat bersangkutan tidak bisa konsentrasi karena perhatian dan tanggung jawab terpecah. Bahkan, kadang sulit dibedakan apa sang pejabat berperan sebagai eksekutif atau sebagai pimpinan parpol saat berkunjung ke daerah. Sangat sedikit pejabat negara yang bisa memisahkan itu, sebut saja Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra saat berkunjung ke daerah menemui kader partainya tidak mau menggunakan fasilitas negara.

Tahun lalu, perangkapan jabatan pimpinan parpol dengan jabatan lembaga publik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) pernah diungkap Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas) dan memberikan dua solusi untuk mengatasinya. Pimpinan parpol nonaktif dan menunjuk kader lainnya sebagai pelaksana tugas pimpinan di parpolnya. Atau, melepaskan jabatannya di parpol dan sepenuhnya mengonsentrasikan pikiran dan perhatiannya pada jabatan publik yang dipercayakan kepadanya.

Tawaran Lemhannas ini memang cukup realistis, tetapi tentunya tetap perlu dikaji sejauh mana sisi positifnya, karena sebagian besar parpol menolak ide tersebut. Parpol-parpol tentu punya pemikiran tersendiri yang perlu dicermati, misalnya karena banyak parpol yang masih bergantung pada elite pimpinan dalam menciptakan kiat-kiat membesarkan partai dan menarik massa pendukung.

Melirik perpolitikan Indonesia saat ini yang tampak belum berpola, tidak bisa dilepaskan dari pengalaman masa lalu. Saat rezim Orde Baru, perangkapan jabatan pimpinan parpol lebih banyak menimbulkan sisi negatif, seperti saat Harmoko sebagai Ketua Umum Golkar yang diduga banyak menggunakan fasilitas negara untuk menemui kader-kadernya yang cukup intensif dengan jumlah rombongan yang besar. Fenomena ini tentu rentan melahirkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Bahkan, rakyat dimobilisasi oleh pejabat daerah menyambut kedatangannya yang ujung-ujungnya juga menggunakan fasilitas pemerintah daerah.
Pada pemerintahan sekarang, sejumlah pimpinan parpol yang merangkap jabatan publik adalah Presiden Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum DPP PDIP), Wakil Presiden Hamzah Has (Ketua Umum DPP PPP). Pada kabinet, ada Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra (Ketua Umum DPP PBB), Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil (Ketua Umum DPP PKB versi Batutulis), Menteri Riset dan Teknologi Hatta Radjasa (Sekjen DPP PAN), Menteri Sosial Alimarwan Hanan (Sekjen DPP PPP), dan Menteri Komunikasi dan Informasi Syamsul Muarif (Wakil Sekjen DPP Partai Golkar). Begitu pula, pada pimpinan penyelenggara negara lainnya, seperti Ketua MPR Amien Rais sebagai Ketua Umum DPP PAN dan Akbar Tandjung sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar.

Banyaknya pimpinan eksekutif dan legislatif yang merangkap pimpinan parpol, tentunya merupakan suatu masalah tersendiri di tengah harapan rakyat agar mereka memusatkan perhatian dan mengefektifkan kinerjanya untuk mengantar rakyat keluar dari krisis multidimensi. Kiranya masalah ini segera diperjelas, sebab jabatan pimpinan parpol merupakan alat tawar-menawar untuk mencapai kekuasaan yang tentu saja rentan KKN. Bahkan, dalam kenyataan lebih banyak dijadikan posisi tawar untuk merebut kekuasaan atau mempertahankan dominasi partai.

Pimpinan parpol yang dipercaya memimpin suatu jabatan publik, tidak boleh hanya dilihat dari segi kemungkinan terganggunya konsentrasi menjalankan tugas-tugas eksekutif, tetapi ada aspek lain yang jauh lebih berbahaya dari itu. Sebut saja, lebih besar kemungkinan terjadi penyalahgunaan kekuasaan dalam menjalankan tugas publik. Atau sulit dipisahkan antara tugas pribadi sebagai pimpinan parpol dan tugas publik, sehingga peluang terjadinya KKN terbuka lebar.

Sebagian besar pejabat negara yang merangkap jabatan pimpinan parpol saat berkunjung ke daerah atas nama jabatannya tentu menggunakan biaya dan fasilitas negara, tetapi acap kali menyempatkan diri mengadakan pertemuan dengan kader-kader partainya di daerah. Apa bisa dikatakan tidak terjadi penyelewengan? Paling tidak telah terjadi penyalahgunaan waktu atau korupsi waktu. Mengacu pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (yang telah diubah dengan UU No 20/2001), bahwa jika penyalahgunaan waktu kunjungan dianggap oleh warga masyarakat sebagai 'perbuatan tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan', maka perbuatan tersebut dapat dipidana sebagai korupsi.

***
Pesona 'jabatan' memang cukup menggiurkan dan begitu banyak orang yang teperdaya oleh tarikan magnetnya, sampai-sampai untuk meraihnya pun menggunakan berbagai macam cara. Ada yang menyerahkan kepada yang berhak memberikan jabatan agar menilai pada kapabilitas dan kredibilitas diri. Tetapi tidak sedikit yang menggunakan cara negatif, seperti menyuap, menekan secara politis (kekuasaan), atau melemparnya ke ruang publik sehingga menimbulkan kerawanan tertib sosial.

Penghapusan pemisahan rangkap jabatan, memang tidak begitu mudah dan langsung bisa dilaksanakan sebelum ada peraturan hukum yang jelas dan tegas. Selain karena aturannya belum ada, juga akan ditolak oleh komunitas parpol, apalagi ketua partai sangat menentukan keberadaan partainya. Ketua umum partai masih ditempatkan sebagai figur sentral yang akan dijadikan jualan untuk meraih dukungan rakyat.

Hampir semua parpol masih mengandalkan figur ketua umumnya. Kendati ada pimpinan parpol yang kemungkinan bersedia melepaskan jabatannya, tetapi belum tentu partainya menerima. Namun, wacana ini harus terus digulirkan sebagai 'pencerdasan demokrasi' yang diharapkan semakin mendewasakan para elite dan kader-kader parpol dalam perannya sebagai figur yang bijak mengakomodasi kepentingan rakyat di masa mendatang.

Melihat praktik di sejumlah negara seperti Inggris, perangkapan jabatan parpol dan jabatan publik justru tidak dipermasalahkan, bahkan merupakan hal yang biasa. Mereka mampu memilah secara konsisten mana kepentingan partai dan kepentingan rakyat. Jika di Indonesia timbul persoalan yang mendasar, tentu sangat terkait dengan pengalaman di masa lalu yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi perpolitikan, kultur masyarakat, dan kepentingan penguasa.

Wacana ini harus terus digulirkan, karena dalam kenyataan lebih banyak dampak negatif ketimbang positifnya. Sangat sulit menyingkirkan benturan kepentingan parpol dengan kepentingan negara (rakyat) dalam mengambil kebijakan. Meskipun parpol punya program yang positif untuk kepentingan bangsa dan negara, tetapi jika pejabat sebagai manusia biasa yang merangkap jabatan dihadapkan pada dua pilihan yang bertabrakan, kadang lebih cenderung subjektif untuk memihak pada parpol yang mengantarnya meraih jabatan.

Sangat disayangkan karena UU No 31/2002 tentang Partai Politik tidak mengatur seorang pimpinan parpol yang terpilih/diangkat sebagai pejabat publik harus melepaskan jabatannya di parpol.(Marwan Mas, Dosen Fakultas Hukum Universitas 45 Makassar)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, Senin, 20 Oktober 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan