Quo Vadis Pendidikan Nasional?

Kontroversi mengawali penunjukan Bambang Sudibyo sebagai Menteri Pendidikan dalam kabinet pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.

Kontroversi mengawali penunjukan Bambang Sudibyo sebagai Menteri Pendidikan dalam kabinet pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Pemerintah dianggap lebih mempertimbangkan kompromi politik daripada kepentingan dunia pendidikan. Mantan Rektor Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Muhammadiyah, Muchtar Buchori, bahkan pernah menganggap Bambang Sudibyo tidak memiliki wawasan komprehensif mengenai pendidikan dan diragukan mampu menyelesaikan berbagai permasalahan pendidikan.

Sayang, jawaban Bambang Sudibyo atas berbagai kritik tersebut mengecewakan. Enam program seratus harinya malah memunculkan kontroversi. Ambil contoh pemisahan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Upaya tersebut langsung ditolak masyarakat karena bertentangan dengan semangat otonomi dan berpotensi mendorong pemborosan.

Program lainnya adalah wajib belajar 12 tahun. Walaupun sangat bagus, program ini dinilai tidak realistis. Apalagi program wajib belajar sembilan tahun yang telah lama dikampanyekan juga tak kunjung bisa direalisasi.

Bambang Sudibyo seperti membenarkan kekhawatiran masyarakat pada awal masa jabatannya, yakni akan mendorong privatisasi di sektor pendidikan. Selama satu tahun, berbagai kebijakan dan aturan yang digulirkan berorientasi pada pelepasan tanggung jawab pemerintah, terutama dalam pendanaan.

Rencana strategis pendidikan yang akan menjadi panduan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional malah mendorong stratifikasi sekolah berdasarkan kemampuan akademis dan finansial. Siswa dikelompokkan menjadi empat bagian: kelompok kaya dan pintar, kaya dan bodoh, miskin dan pintar, serta miskin dan bodoh. Masing-masing kelompok akan diorientasikan dan diberi penanganan yang berbeda-beda.

Begitu pula soal buku pelajaran. Janji melindungi orang tua dari praktek bisnis sekaligus melakukan pembenahan dengan menetapkan masa guna minimal buku pelajaran hingga lima tahun ternyata hanya memindahkan tempat penjualan dari sekolah ke pasar. Bahkan Peraturan Menteri Nomor 11 yang menjadi acuan hukum tidak menyinggung kewajiban pemerintah untuk menyediakan buku pelajaran, terutama bagi siswa tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Pasal 10 ayat 3 hanya menyatakan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dapat membantu pengadaan buku teks pelajaran kepada satuan pendidikan dalam bentuk hibah uang/subsidi.

Manajemen berbasis sekolah pada tingkat sekolah serta badan hukum milik negara pada tingkat perguruan tinggi, yang menjadi cikal bakal privatisasi sektor pendidikan, secara yuridis siap dilegalkan dengan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang saat ini sedang dibahas.

Anehnya, upaya pelepasan tanggung jawab dalam pendanaan tidak secara konsisten diikuti pelepasan kewenangan dalam hal akademis. Contohnya kebijakan ujian nasional. Pemerintah telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit hanya untuk merampas kewenangan pedagogis guru dalam menentukan kelulusan murid. Sayang, walau sudah diingatkan, termasuk oleh para pakar pendidikan, pemerintah berkukuh dengan pendiriannya.

Mahal
Selama satu tahun menakhodai Departemen Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo masih belum menunjukkan tanda-tanda bisa menyelesaikan masalah mendasar, yaitu terbukanya akses bagi semua anggota masyarakat untuk mendapat pendidikan. Ini terbukti dari banyaknya anak yang tidak mampu bersekolah atau drop out karena alasan biaya.

Ia malah semakin membuka ruang bagi sekolah untuk menggenjot pemasukan dari masyarakat. Beragam alasan digunakan, dari meningkatkan mutu hingga mendorong partisipasi. Akibatnya, pungutan di sekolah tidak terkontrol dan biaya yang ditanggung masyarakat semakin besar.

Karena ruang untuk melakukan pungutan terus dibuka, sebesar apa pun dana dari pemerintah untuk sekolah tetap saja tidak bisa menyelesaikan masalah pungutan terhadap masyarakat. Kondisi tersebut bisa dilihat dari maraknya pungutan di sekolah walaupun pemerintah telah menyediakan dana Rp 6,7 triliun untuk program biaya operasional sekolah (BOS) dan bantuan khusus murid.

Selain itu, upaya privatisasi di sektor pendidikan tidak memiliki dampak besar dalam menekan praktek korupsi. Dana yang ditarik dari orang tua murid atau didapat dari pemerintah tidak banyak yang digunakan untuk kepentingan peningkatan kualitas belajar-mengajar, tapi lari ke kantong kepala sekolah atau pejabat dinas pendidikan.

Sayang, Departemen Pendidikan Nasional justru bangga dengan menyatakan steril dari praktek korupsi, terutama untuk dana BOS. Padahal penyimpangan yang terjadi di sekolah bukan semata tanggung jawab para penyelenggaranya. Sebagai pembuat kebijakan, Departemen Pendidikan tidak bisa angkat tangan.

Nilai Menteri Pendidikan
Apabila pendidikan nasional diarahkan seperti sektor ekonomi yang harus diprivatisasi, hasil yang telah dicapai sekarang bisa dianggap mengalami kemajuan pesat. Nilai yang bisa diberikan untuk Menteri Pendidikan Nasional tentunya jauh di atas angka minimal kelulusan ujian nasional (UN). Namun, jika berpatokan pada tujuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, tentu itu jauh dari memuaskan. Nilai yang diberikan pun barangkali di bawah angka kelulusan UN.

Soal penilaian kinerja, semestinya Menteri Pendidikan menyerahkannya kepada masyarakat. Belajar dari siswa yang menjadikan tolak ukur prestasinya bukan atas penilaiannya sendiri, melainkan dari hasil penilaian guru yang dituangkan dalam rapor, tentu sebagai pejabat publik, Menteri Pendidikan mesti siap dinilai dan menerima hasil penilaiannya. Apabila masih ada kesempatan, hal itu dapat diperbaiki pada tahun-tahun berikutnya. Jadi, kalaupun beriklan, daripada menceritakan hasil karya setahun, lebih bagus menggambarkan seperti apa arah dan tujuan pendidikan nasional di bawah kepemimpinannya.

Ade Irawan, Aktivis Indonesia Corruption Watch dan Koalisi Pendidikan

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 25 November 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan