Quo Vadis Kasus Korupsi KPU

Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap salah seorang anggota Komisi Pemilihan Umum Mulyana Wira Kusumah pada 8 April lalu. Banyak kalangan berkeyakinan bahwa kasus korupsi yang terjadi di lembaga penyelenggara pemilihan umum itu akan segera tersingkap.

Keyakinan itu didasarkan atas langkah-langkah sistematis KPK dalam menelusuri aroma korupsi di KPU. Misalnya, untuk mencari bukti yang terkait dengan kasus penyuapan Mulyana, KPK segera menggeledah kantor KPU. Tidak hanya itu, dalam hitungan hari, KPK memeriksa secara intensif sebagian besar figur kunci sekretariat KPU. Merasa belum cukup dengan itu semua, KPK juga memeriksa beberapa rekanan KPU dan Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin.

Berdasarkan hasil serangkaian penyidikan itu, Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean menyatakan bahwa KPK telah mendapat bukti awal yang cukup kuat tentang adanya oknum tersangka baru dalam kasus korupsi KPU. Sekalipun Panggabean tidak menyebutkan secara tegas, hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah cukup bagi publik untuk menduga oknum yang akan menjadi tersangka baru itu. Setidaknya, menurut Ketua BPK Anwar Nasution, semua anggota KPU yang terlibat lima proyek pengadaan logistik Pemilihan Umum 2004 diduga melakukan korupsi (Koran Tempo, 21/4).

Dari ketiga rangkaian peristiwa di atas, sudah cukup untuk memperjelas kasus korupsi yang melanda KPU. Sayang, setelah berlangsung selama hampir tiga pekan, belum ada perkembangan yang signifikan dalam pengungkapan kasus tersebut. Begitu sulitkah mengungkap kasus korupsi yang melanda lembaga independen penyelenggara pemilihan umum itu? Pertanyaan itu menjadi begitu penting karena hari demi hari optimisme terhadap penyelesaian kasus korupsi KPU semakin berkurang.

Sebetulnya, kalau dilihat ke belakang, publik sudah cukup lama mencium adanya indikasi korupsi di KPU. Kecurigaan itu bermula dari ketidakberesan pengadaan logistik Pemilihan Umum Legislatif 2004. Misalnya, masalah ukuran kotak suara yang tidak sebanding dengan surat suara dan kualitas tinta yang tidak memenuhi standar.

Yang paling mencemaskan adalah keterlambatan pengadaan surat suara yang berujung pada kegagalan memenuhi batas waktu sampainya surat suara di panitia pemungutan suara. Masih segar dalam ingatan kita, karena kekacauan pengadaan logistik, pelaksanaan pemilihan umum legislatif hampir mengalami penundaan massal.

Melihat ketidakberesan itu, beberapa kelompok masyarakat sipil berupaya mendorong aparat penegak hukum membongkar indikasi korupsi yang terjadi di KPU. Misalnya, Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Pemilihan Umum Bersih dan Berkualitas merupakan kelompok yang paling gigih mendorong aparat hukum menindaklanjuti kasus tersebut. Bahkan perkiraan angka korupsi temuan Koalisi LSM jauh lebih besar dibanding hasil audit investigasi KPK. Menurut catatan Kompas (23 April), Koalisi LSM menunjukkan penyelewengan mulai pengadaan kendaraan operasional sampai distribusi logistik, dari penyediaan formulir sampai validasi film surat suara, dan dari pengadaan kartu pemilih sampai pengadaan segel.

Kalau dilihat dalam konteks pemberantasan korupsi, tidak ada lagi alasan yang dapat membenarkan proses pengungkapan kasus korupsi KPU berjalan lambat seperti saat ini. Selama ini banyak kalangan percaya bahwa KPK sudah lama mengetahui adanya indikasi korupsi di KPU. Namun, lembaga yang punya kewenangan super dalam pemberantasan korupsi ini belum punya titik masuk yang cukup kuat untuk membongkar kasus tersebut. Tetapi, ketika KPK menangkap Mulyana sedang menyuap salah seorang auditor BPK, KPK kehilangan alasan untuk tidak membongkar kasus korupsi yang terjadi di KPU.

Sebenarnya, jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang melibatkan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh, pengungkapan kasus korupsi KPU akan menjadi lebih mudah bagi KPK. Dalam kasus Puteh, dukungan kuat lebih banyak datang dari berbagai elemen antikorupsi dan media massa.

Sementara itu, dalam pengungkapan kasus korupsi KPU, dukungan tidak hanya datang dari elemen antikorupsi dan media massa, tetapi dari sejumlah kalangan di Dewan Perwakilan Rakyat. Bahkan, sejauh yang terungkap ke permukaan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla amat mendorong pengungkapan kasus ini.

Barangkali, jika dibandingkan dengan kasus Puteh, kesulitan yang dihadapi KPK adalah menyangkut banyaknya aktor yang terkait dengan kasus korupsi KPU. Sampai sejauh ini, KPK kesulitan mengelola keterangan masing-masing aktor yang cenderung tidak konsisten dan saling bertentangan. Untuk menghadapi persoalan seperti ini, KPK harus mampu menemukan benang merah dari semua keterangan yang ada.

Saya menduga, keterangan yang inkonsisten dan saling bertentangan itu sudah dirancang sedemikian rupa sehingga KPK kehilangan fokus dalam mengungkap kasus ini. Sekiranya KPK tidak mampu keluar dari persoalan ini, penanganan kasus korupsi KPU tidak hanya potensial kehilangan fokus, tetapi juga terancam menguap seiring dengan perjalanan waktu.

Terkait dengan hal di atas, beberapa perkembangan yang memungkinkan kasus korupsi KPU menguap. Misalnya, sejak penangkapan Mulyana, beberapa kalangan mulai mengalihkan fokus pengungkapan korupsi ke isu suap antara Mulyana dan auditor BPK Khairiansyah. Sampai sejauh ini, saya melihat KPK cukup mampu menghadapi opini yang ingin mengalihkan kasus korupsi KPU ke ranah isu suap ini. Meskipun demikian, publik masih menunggu siapa oknum KPU yang akan dijadikan tersangka baru berikutnya.

Masalah lain yang dapat menyulitkan KPK mengungkap kasus korupsi KPU terkait dengan rencana KPU melakukan klarifikasi terhadap hasil audit investigasi KPK. Besar kemungkinan KPU akan menolak sebagian besar (bisa juga semua) temuan BPK.

Gejala ke arah ini sudah dapat dibaca dari tanggapan Mulyana yang menyatakan bahwa hasil audit BPK (terutama dalam pengadaan kotak suara) bias (Koran Tempo, 24/4). Kalau hasil temuan BPK ditolak, ada harapan akan terjadi perang opini antara KPU dan KPK. Sekiranya itu terjadi, pengungkapan kasus korupsi KPU akan masuk ke jalur lambat.

Lalu apa yang harus dilakukan? Jawabnya cukup sederhana, KPK harus segera mengumumkan tersangka baru yang pernah dijanjikan dan menahan mereka. Langkah itu tidak hanya memperjelas fokus pengungkapan kasus ini, tetapi juga mencegah adanya konsolidasi lebih lanjut oknum-oknum yang tersangkut kasus korupsi KPU. Kalau tidak, quo vadis kasus korupsi KPU? (Saldi Isra, Analis dan Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang)

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 27 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan