"Quo Vadis" Kasus Bibit-Chandra?
Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah kembali menjadi tersangka menyusul putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menerima permohonan praperadilan Anggodo Widjojo. Putusan tersebut menyatakan bahwa surat ketetapan penghentian penuntutan yang dikeluarkan kejaksaan tidak sah dan memerintahkan agar perkara Bibit-Chandra dilimpahkan ke pengadilan.
Dasar pertimbangan hakim hanya merujuk pada KUHAP dan keterangan ahli yang dihadirkan oleh Anggodo Widjojo. Kendatipun secara etis salah seorang ahli yang keterangannya banyak dijadikan dasar pertimbangan semestinya diabaikan oleh hakim karena yang bersangkutan pernah mengajukan gugatan praperadilan terhadap surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) tersebut, tetapi ditolak. Artinya, pendapat ahli tersebut tidak lagi obyektif dan ahli yang bersangkutan termasuk pihak yang berkepentingan.
Secara yuridis formal dan dengan menggunakan kacamata kuda, tidak ada yang salah dengan putusan praperadilan tersebut. Sejak awal, penerbitan SKPP telah menimbulkan pertentangan logika berpikir hukum. Di satu sisi, dalam kasus Bibit-Chandra kejaksaan telah mengeluarkan P-21, yang berarti perkara telah lengkap, termasuk bukti-buktinya, dan siap dilimpahkan ke pengadilan. Adapun di sisi lain, kejaksaan menerbitkan SKPP. Berdasarkan ketentuan Pasal 140 Ayat (2) a KUHAP, SKPP diterbitkan jika perkara tersebut tidak cukup bukti, perkara tersebut bukan merupakan tindak pidana, atau perkara ditutup demi hukum. Sementara itu, perkara ditutup demi hukum bila perkara tersebut nebis in idem (seseorang tidak dapat dituntut lebih dari satu kali di depan pengadilan dengan perkara yang sama), kedaluwarsa, atau terdakwa meninggal dunia.
Penuh rekayasa
Pertanyaan kemudian, apakah dalam penganan kasus Bibit-Chandra hakim hanya cukup mempertimbangkan yuridis formal semata? Sudah menjadi rahasia umum bahwa penetapan Bibit-Chandra sebagai tersangka dugaan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang dalam kasus Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo penuh dengan rekayasa. Indikasi ini diperkuat dengan adanya rekaman pembicaraan yang telah diperdengarkan dalam sidang MK, 3 November 2009. Selain itu, juga pengakuan yang disampaikan oleh mantan Kabareskrim Polri Komjen Susno Duadji bahwa ada dugaan kriminalisasi terhadap kedua pimpinan KPK tersebut.
Rekayasa kriminalisasi terhadap kedua pimpinan KPK yang diduga dilakukan oleh Anggodo Widjojo bersama-sama oknum aparat pengegak hukum, baik di kepolisian maupun kejaksaan, adalah suatu bentuk kejahatan serius di tengah darurat mafia hukum yang sedang dialami bangsa ini. Semakin serius suatu kejahatan, semakin besar nilai keadilan yang harus diperoleh daripada kepastian hukum. Artinya, hal-hal yang bersifat yuridis formal harus dikesampingakan bila berhadapan dengan keadilan. Apa yang diduga dilakukan oleh mereka dalam rekayasa kriminalisasi Bibit-Chandra dikualifikasikan sebagai obstruction of justice atau tindakan menghalang-halangi proses penegakan hukum.
Selain terdapat dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia, secara eksplisit ketentuan obstruction of justice juga terdapat dalam Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, ”Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa atau para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).”
Berdasarkan UNCAC, obstruction of justice adalah salah satu bentuk korupsi yang tidak hanya menjadi kejahatan luar biasa, tetapi juga merupakan kejahatan internasional. Oleh karena itu, dalam mengadili perkara yang ada kaitannya dengan korupsi, hakim harus bertindak lebih hati-hati dan tidak hanya berkutat pada formal legalistik, tetapi juga harus memerhatikan kasus tersebut dari berbagai aspek, termasuk aspek sosiologis. Terlebih dalam hukum pidana yang dicari adalah kebenaran materiil dan bukan kebenaran formal.
Ada dua langkah yang dapat ditempuh atas putusan praperadilan. Pertama, dengan melakukan banding atas putusan tersebut sesuai mekanisme Pasal 83 Ayat (2) KUHAP. Akan tetapi, jika hakim yang mengadili mempunyai pemikiran yang sama dalam pengertian hanya formal yuridis semata, putusan pengadilan tinggi akan memperkuat putusan pengadilan negeri. Kedua, dengan menggunakan hak pengesampingan perkara (deponeer) oleh Jaksa Agung melalui mekanisme Pasal 35 huruf c Undang-Undang Kejaksaan RI yang berbunyi, ”Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.” Hal ini merupakan asas oportunitas Jaksa Agung untuk tidak melakukan penuntutan suatu perkara pidana demi kepentingan umum.
Ada lima alasan mengapa Jaksa Agung harus mendeponir perkara Bibit-Chandra. Pertama, memperlihatkan kepada publik bahwa kejaksaan tidak setengah hati untuk menghentikan kasus tersebut. Kedua, menunjukkan bahwa kejaksaan memiliki komitmen yang kuat untuk memberantas korupsi, termasuk menjaga institusi KPK. Sebab, jika Bibit-Chandra dinyatakan sebagai terdakwa, mereka berdua harus dinonaktifkan dan hal ini akan mengganggu kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.
Ketiga, alasan oportunitas adalah demi kepentingan umum. Di sini Jaksa Agung tidak hanya memerhatikan alasan yuridis semata, tetapi juga dapat menggunakan alasan sosiologis dan hal ini sesuai dengan arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika menganjurkan agar kasus Bibit-Chandra dihentikan. Keempat, tidak ada upaya hukum apa pun, termasuk gugatan praperadilan jika Jaksa Agung mendeponir perkara Bibit-Chandra dengan menggunakan asas oportunitas. Kelima, perkara Bibit-Chandra tidak mungkin dibuka kembali dengan alasan apa pun jika perkara tersebut telah dikesampingkan oleh Jaksa Agung.
Eddy OS Hiariej Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Kompas, 28 April 2010