Quo Vadis 20 Persen Anggaran Pendidikan

Tahun 2005 merupakan berkah bagi sekolah di seluruh Indonesia. Betapa tidak, mulai tahun itu, pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan bantuan operasional sekolah yang bersumber dari pencabutan subsidi bahan bakar minyak.

Walau berlebihan jika bantuan operasional sekolah dianggap mampu mengatasi biaya pendidikan yang semakin tinggi, kebijakan ini cukup membawa kegairahan bagi unit pendidikan terkecil tersebut.

Kegairahan ini semakin memuncak ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan tuntutan judicial review masyarakat agar pemerintah merealisasi anggaran pendidikan 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara pada 2007.

Harapan akan terjadinya peningkatan kualitas pelayanan publik di sektor pendidikan, khususnya penuntasan wajib belajar, tampaknya semakin nyata. Apalagi beberapa pemerintah daerah juga mengalokasikan dana operasional sekolah, seperti DKI Jakarta dalam bentuk bantuan operasional pendidikan.

Namun, harapan sepertinya tinggal harapan. Resistensi terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi menunjukkan komitmen setengah hati pemerintah terhadap dunia pendidikan. Indikasi ini terlihat jelas dalam rapat kerja pembahasan Rancangan APBN 2007. Dari sekitar Rp 495,9 triliun rencana alokasi, pendidikan hanya mendapatkan porsi 10,3 persen atau sekitar Rp 51,3 triliun. Memang secara keseluruhan anggaran pendidikan mengalami kenaikan dari tahun 2006, yang sekitar Rp 43,3 triliun. Tapi kenaikannya sangat kecil, kurang dari 2 persen saja.

Sebuah preseden tentunya, penegasian konstitusi yang dilakukan pemerintah pusat akan diduplikasi oleh pemerintah daerah di kabupaten atau kota. Dampaknya, peningkatan kualitas pelayanan pendidikan di level wajib belajar akan tersendat.

Quo vadis
Sebagai sebuah amanat konstitusi, kenaikan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN memang tidak terlepas dari perdebatan yang panjang. Seperti diketahui, kenaikan anggaran selalu mengandung risiko, misalnya masalah efisiensi, efektivitas, bahkan korupsi dalam berbagai modusnya.

Sejauh ini, kapasitas kelembagaan Departemen Pendidikan Nasional sendiri masih diragukan untuk mengelola jumlah anggaran yang sedemikian besar. Apalagi Badan Pemeriksa Keuangan beberapa tahun terakhir terus menemukan berbagai penyimpangan dalam birokrasi departemen itu. Karena itulah mutlak kiranya kenaikan anggaran diikuti dengan sistem anggaran yang berpihak pada kepentingan publik, misalnya prinsip alokasi, distribusi, pengawasan, dan akuntabilitas yang tinggi.

Sejauh ini, perdebatan masyarakat masih sebatas bahwa anggaran pendidikan harus naik, belum pada kalkulasi kegunaan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, untuk apa saja, dan bagaimana skala prioritasnya. Di luar konstitusi, kelemahan inilah yang menyebabkan perjuangan menaikkan anggaran 20 persen selalu dinegasikan oleh pemerintah karena tak ada dasar yang kuat untuk menekannya. Akhirnya kesepakatan 20 persen anggaran pendidikan kehilangan arah.

Tentu ketidakjelasan arah 20 persen anggaran pendidikan tidak kita inginkan bersama. Karena itulah diperlukan solusi atas sistem anggaran pendidikan yang bisa dijadikan alasan kuat kenapa anggaran pendidikan 20 persen harus segera direalisasi. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu dikaji bersama.

Pertama, masalah alokasi pembiayaan (unit cost) bagi operasional unit-unit pendidikan, termasuk rehabilitasi infrastruktur pendidikan yang rusak. Pemerintah sampai saat ini belum menetapkan standar minimal pembiayaan yang diperlukan siswa untuk menyelesaikan jenjang pendidikannya. Termasuk standar minimal biaya untuk kebutuhan operasional sekolah, pemenuhan fasilitas, dan rehabilitasi gedung sekolah yang rusak. Padahal kalkulasi biaya tersebut sangat penting untuk menuntaskan jenjang wajib belajar, mengurangi beban biaya orang tua siswa, dan menghindarkan pencaplokan anggaran oleh birokrasi pendidikan, termasuk korupsi.

Bagaimana dengan kebijakan bantuan operasional sekolah? Kebijakan ini boleh dibilang sangat bombastis, bahkan cenderung menjadi ekstase bagi masyarakat karena pencitraannya bisa menjadikan sekolah gratis. Padahal, layaknya kebijakan bantuan langsung tunai, program ini merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk mereduksi kepanikan massa akibat pencabutan subsidi bahan bakar minyak.

Ini terlihat dari kecilnya dana yang dialokasikan, hanya Rp 235 ribu per tahun untuk tiap siswa sekolah dasar atau sederajat. Dari hasil penelitian Indonesia Corruption Watch pada 2005 di Jakarta, Garut, dan Kupang, setidaknya biaya yang harus dikeluarkan orang tua siswa yang terkait langsung dengan kegiatan belajar-mengajar rata-rata Rp 1,5 juta per siswa tiap tahunnya. Artinya, dana bantuan operasional sekolah bisa dibilang jauh panggang dari api apabila digunakan untuk menyelesaikan masalah biaya pendidikan di sekolah.

Kedua, penguatan kapasitas. Di era desentralisasi pendidikan, sudah sewajibnya sekolah diberi otonomi, termasuk dalam pengelolaan dana, khususnya yang terkait dengan operasionalisasi sekolah. Peran tradisional birokrasi pendidikan yang ikut serta mengelola dan mendistribusikan dana bagi sekolah harus ditinggalkan. Hal ini bertujuan untuk menghindari alih fungsi birokrasi pendidikan di setiap daerah sebagai pemburu rente. Dinas-dinas pendidikan lebih difungsikan untuk mengawasi penggunaan dana dan mendorong peningkatan kualitas kegiatan belajar-mengajar.

Memang, pemberian keleluasaan kepada sekolah tetap mengandung kerawanan. Soalnya, saat ini dominasi kepala sekolah demikian besar, sehingga fakta penyimpangan dana oleh kepala sekolah yang bekerja sama dengan komite menjadi sesuatu yang tidak bisa ditutup-tutupi. Karena itulah diperlukan peningkatan kapasitas komite sekolah, misalnya pelatihan akuntansi keuangan, pengawasan, dan manajemen sekolah.

Seperti diketahui bersama, komite sekolah punya tugas yang sangat berat, melakukan pengawasan, menjadi penyeimbang, dan memberikan masukan agar kualitas sekolah meningkat. Namun, mengingat posisinya di luar struktur kedinasan, komite sekolah mengalami kegamangan dalam menjalankan tugasnya. Apalagi pemerintah tidak memberikan insentif, sehingga akhirnya komite sekolah larut dalam penyimpangan yang dilakukan kepala sekolah.

Ketiga, revisi peraturan. Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang mempertegas undang-undang tentang kewajiban pemerintah mengalokasikan 20 persen anggaran untuk pendidikan harus dikawal dengan merevisi peraturan yang masih memberikan celah pungutan di masyarakat, misalnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang komite sekolah dan peraturan daerah yang mengadopsinya.

Revisi ini penting dilakukan mengingat banyak penyimpangan yang berkaitan dengan eksploitasi dana masyarakat akibat berlindung di balik pasal-pasal peraturan tentang komite sekolah tersebut. Jika revisi ini tidak dilakukan, kita tidak akan tahu seberapa efektif anggaran pendidikan kita. Sederhananya, sebesar apa pun anggaran pendidikan, selama komite masih diberi ruang untuk mengambil dana, masyarakat tetap akan terbebani.

Keempat, perluasan partisipasi. Secara obyektif, kelembagaan komite sekolah tidak berperan sebagaimana mestinya, sehingga keterwakilan komite sekolah sebagai penyambung aspirasi dan partisipasi masyarakat pun dipertanyakan. Karena itu, selama komite sekolah masih mandul, masyarakat sebagai konsumen pendidikan memiliki hak ikut serta secara langsung melakukan pengawasan.

Saat ini ruang partisipasi orang tua terbuka lebar. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen memberikan hak bagi orang tua untuk menuntut pelayanan pendidikan yang berkualitas. Apalagi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 54 tentang perlindungan anak secara tegas menyatakan anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan oleh guru dan pengelola sekolah. Artinya, orang tua yang kritis terhadap sekolah tidak perlu khawatir lagi anaknya mengalami tindakan diskriminasi dan kekerasan dari pihak sekolah.

Realisasi 20 persen anggaran pendidikan adalah untuk menyukseskan program wajib belajar secara gratis dan berkualitas. Karena itulah pembenahan sistem dan good governance pada level ini menjadi sangat penting, sehingga fokus anggaran 20 persen bisa terealisasi dan lebih terarah.

Agus Sunaryanto, Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 8 September 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan