Putusan MK Terus Jadi Bahan Diskusi

Putusan Mahkamah Konstitusi terus dijadikan bahan diskusi. Dalam diskusi yang diadakan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, sejumlah kalangan mendesak MK untuk memberikan penjelasan soal pertimbangan putusan itu. Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diminta tidak terpengaruh dengan pertimbangan hukum MK ini karena yang mengikat adalah amar putusan MK.

Demikian sari pati yang muncul dalam diskusi dengan tema Menyoal Putusan MK dalam pengujian UU KPK: Analisa dan Dampaknya terhadap Pemberantasan Korupsi di Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta, Kamis (24/2). Pembicara dalam diskusi ini adalah pakar hukum UI Dr Rudi Satriyo, anggota DPR Benny K Harman, Ketua KRHN Firmansyah Arifin, dan dosen Universitas Indonusa Esa Unggul A Irmanputra Sidin.

Pada awal pembukaan diskusi, Benny Harman mengaku belum membaca putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, mendengar penjelasan dari pembicara sebelumnya, Benny mengatakan pendapat umum soal putusan MK yang menyebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berwenang adalah mengambinghitamkan putusan MK karena tidak ada upaya MK menghalangi pemberantasan korupsi. Namun, saat dijelaskan adanya kalimat yang berulang kali menegaskan bahwa KPK tidak berwenang menangani perkara sebelum 27 Desember 2002, Benny pun terkejut.

Di dalam pertimbangan hukum MK terdapat kalimat, dengan rumusan Pasal 72 tersebut adalah jelas bahwa UU KPK berlaku ke depan (prospektif), yaitu sejak tanggal 27 Desember 2002. Artinya, keseluruhan undang-undang a quo hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti- nya terjadi setelah undang-undang dimaksud diundangkan. Secara argumentum a contrario, undang-undang ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi sebelum undang-undang a quo diundangkan. Siapa sih pembuat drafnya? Pertimbangan hukum MK ini sungguh- sungguh tidak ada logikanya, kata Benny spontan.

Ia melanjutkan, putusan MK atas hak uji UU KPK ini seharusnya dilihat MK sebagai peringatan dari publik terhadap MK untuk berhati-hati dalam membuat putusan.

Dalam diskusi tersebut, Rudi Satriyo juga terkejut dengan pertimbangan hukum MK itu. Semula ia mengatakan, putusan MK itu harus dibaca utuh, bahkan di bagian terakhir sebelum mengadili, MK telah menyebutkan soal pendapat MK yang berpendapat bahwa Pasal 68 UU KPK tidak mengandung asas retroaktif. Namun, saat ia diminta melanjutkan ke anak kalimat yang menyebutkan, walaupun KPK dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah diundangkannya UU KPK, Rudy tercenung. Waduh... ini kok ada kata

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan