Putusan MK dan Legislasi DPR
Membingungkan. Itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materi undang-undang.
Tidak sedikit putusan MK yang menimbulkan dilema antara keadilan dan penegakan hukum, bahkan ada putusan yang tanggung dan terkesan setengah hati.
Di satu sisi melegakan, di sisi lain tidak konsisten karena tidak tegas merekonstruksi nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 1945. Padahal, rakyat mulai memahami kehadiran MK sebagai the guardian of the constitution yang harus konsisten menjaga keluhuran UUD 1945.
Pasal 24C Ayat 1 UUD 1945 menekankan pentingnya check and balances melalui sistem kontrol yudisial yang diperankan MK. Dalam negara hukum, konstitusi harus berfungsi sebagai hukum tertinggi dan simbol ketatanegaraan. Aneka putusan MK dalam menguji materi undang- undang tidak sepatutnya menafikan rasa keadilan masyarakat.
Putusan yang terus disorot publik dan pengamat adalah yang mencabut kewenangan Komisi Yudisial (KY) mengawasi hakim konstitusi. Ini hanya salah satu putusan kontroversial MK. Di sisi lain, banyak materi UU dibatalkan MK karena bertentangan dengan hak-hak konstitusionalitas seseorang yang diatur UUD 1945, merupakan tamparan bagi DPR dan Presiden (pemerintah).
Legislasi DPR
Pasal 20 Ayat 1 UUD 1945 menyebut, DPR memegang kekuasaan membentuk UU, dan Ayat 2 mengatur Setiap rancangan UU dibahas DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Apakah karena fungsi legislasi yang besar membuat DPR kaget sehingga produk UU tak sejalan dengan semangat konstitusi? Selama Orde Baru, fungsi legislasi DPR tidak memberi pengaruh signifikan bagi kepentingan rakyat.
Namun, setelah diberi kesempatan untuk berfungsi secara benar, fungsi itu tidak mendapat kredit yang bisa dibanggakan karena banyak yang dinyatakan tak mengikat oleh MK. Bukan hanya itu, DPR juga kurang jeli menetapkan UU apa yang harus diprioritaskan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Tidak sedikit UU yang dihasilkan DPR tumpang tindih. Fungsi pengawasan KY dalam UU KY yang menurut MK selain bertentangan dengan UUD, juga tak sejalan fungsi pengawasan yang diatur UU MA, adalah bukti ketidakcermatan DPR dalam meramu produk UU dalam sebuah sistem yang komprehensif.
MK juga menjadikan UU sebagai dasar putusan, misalnya UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam pertimbangan putusan pencabutan penjelasan Pasal 2 Ayat 1 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, MK menjadikan pertimbangan UU No 10/2004, dalam penjelasan suatu pasal atau ayat tidak boleh bersifat mengatur, hanya menjelaskan maksud pembuat UU (DPR) dari suatu kata yang dapat bermakna ganda atau multitafsir.
Dari berbagai UU yang dihasilkan pascaberlakunya UU No 10/2004, DPR terkesan tidak memahami secara baik UU yang dibuatnya sendiri, terutama bagaimana meramu substansi konstitusionalitas agar tidak bertentangan dengan UUD.
UU No 10/2004 mengatur tiap rancangan peraturan perundang- undangan harus disosialisasikan kepada masyarakat untuk mendapatkan masukan.
Menuai gugatan
Akhirnya, perlu menyimak kritikan Charles Sampford (1998) dalam teori the disorder theory of law yang memandang hukum tidak identik dengan bangunan yang penuh keteraturan logis-rasional, tetapi sesuatu yang bersifat cair yang perlu dihidupkan oleh pelaksana hukum.
Hukum tidak selalu dimaknakan machine justice sehingga hakim harus menjaga hak-hak komunitas dan konstitusionalitas rakyat. Di dalamnya selalu ada ruang ekstra (leeway) yang dapat digunakan untuk menghidupkan nilai-nilai kehidupan sosial dan rasa keadilan masyarakat.
Kita tidak ingin UU yang dibuat DPR terus menuai gugatan, bahkan menjadi mainan karena tidak menjaga hak-hak konstitusionalitas rakyat yang dilindungi dalam UUD. Berbagai survei menyebutkan, di republik ini produk hukum sering hanya menjadi etalase perundang-undangan. Namun akhir dari tujuan hukum yang hendak dicapai lebih banyak yang salah arah.
Marwan Mas Direktur Pusat Studi Konstitusi (PuSKon) Universitas 45, Makassar
Tulisan ini disalin dari Kompas, 5 September 2006