Putusan MK dan Kelanjutan Perkara Puteh

Perkara korupsi pembelian helikopter Mi-2 buatan Rusia dengan terdakwa Abdullah Puteh sudah disidangkan beberapa kali di pengadilan ad hoc korupsi. Sementara itu Bram Manoppo, salah satu tersangka dalam kasus yang sama mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Intinya, Bram mempersoalkan kewenangan KPK mengadili kasus korupsi pembelian helikopter Mi-2 buatan Rusia.

Karena kasus ini terjadi sebelum UU Korupsi disahkan. Dengan kata lain tempus delicti kasus ini terjadi sebelum KPK lahir. Adakah kedua kasus ini berhubungan, sehingga keputusan terhadap salah satunya akan berdampak kepada yang lainnya?

Diskusi yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, pekan lalu di Jakarta, memang memunculkan dua sudut pandang yang bertolak belakang. Satu pendapat menyatakan, KPK berwenang mengadili perkara ini, pendapat lain, senada dengan apa yang diajukan oleh Bram Manoppo ke Mahkamah Konstitusi, yakni KPK tidak berwenang.

Mereka yang berpandangan KPK tidak berwenang mengadili kasus korupsi ini menyatakan bahwa kasus ini terjadi pada Juli 2002, sementara UU mengenai Pemberantasan Korupsi (UU No 30/2002), baru lahir 27 Desember 2002. KPK baru lahir setahun kemudian.

Prinsip ex post facto law yang merupakan justifikasi bahwa pada dasarnya hukum itu berlaku ke depan atau prospective law mengikat segala sistem hukum, baik hukum perdata, pidana, administrasi negara, hukum formil, maupun materiil. Perspektif hukum ini pula yang menjadi landasan dalam produk perundang-undangan Indonesia.

Dalam hal pemberantasan korupsi, prinsip ini tercermin pada pasal 72 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang berbunyi: Undang-undang ini berlaku sejak tanggal diundangkan. Dengan kata lain tidak berlaku surut. Kenyataan bahwa KPK tetap mengadili kasus Abdullah Puteh --terbukti bahwa sidangnya masih berlangsung di pengadilan ad hoc-- dapat diartikan bahwa KPK menganut prinsip retroaktif atau berlaku surut.

Prinsip itu pula yang kemudian diyakini sebagai melanggar Pasal 28 huruf I ayat (1) perubahan kedua UUD 45 yang berbunyi: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Dengan logika ini, maka seharusnya persidangan perkara Abdullah Puteh baru dapat dilakukan setelah Mahkamah Konstitusi memutus permohonan judicial review Bram Manoppo. Yang terjadi sekarang ini adalah perkara Puteh tetap disidangkan di pengadilan ad hoc korupsi, sementara judicial review Bram Manoppo di Mahkamah Konstitusi belum disidangkan. Tentu saja, penolakan diadili KPK tidak berarti bahwa perkara ini tidak bisa diadili. Kasus korupsi lain yang disangkakan melibatkan Abdullah Puteh sebagai Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, seperti pengadaan genset sekarang diperiksa Mabes Polri, sementara kasus anggaran ada di Kejaksaan Agung. Jadi Abdullah Puteh menghadapi tiga kasus korupsi di tiga lembaga berbeda.
***
Sementara itu, mereka yang berpandangan KPK berwenang mengadili perkara korupsi Abdullah Puteh bersandar pada Pasal 68 UU No 30/2002, yang menyatakan: Semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai saat terbentuknya KPK dapat diambil alih oleh KPK, berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 9.

Masalahnya adalah, bila pasal ini ditafsirkan secara buta, tentu akan muncul pertanyaan, apakah semua perkara korupsi yang sekarang berkasnya menumpuk di Kejaksaan Agung akan diambil alih KPK? Mengapa kasus pembobolan BNI senilai Rp1 triliun lebih, atau kasus-kasus korupsi lain yang lebih spektakuler dari itu tidak diambil alih saja oleh KPK.

Argumen lain yang dipakai adalah keyakinan bahwa korupsi sudah harus dipandang sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa yang tidak bisa lagi ditangani dengan cara-cara dan oleh lembaga-lembaga biasa. Ada kemauan politik besar di belakang itu yang mendorong pemberantasan korupsi harus segara dilakukan, karena sudah merusak sendi-sendi kehidupan.

Persepsi seperti ini mungkin tercermin pula pada inpres yang dikeluarkan pemerintah pertengahan Desember tahun lalu --sepekan setelah Abdullah Puteh ditahan-- tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Dengan inpres ini presiden memberi arahan yang jelas bahwa pihaknya tidak akan melindungi aparat negara yang melakukan atau berindikasi melakukan tindak korupsi.

Maka setelah itu, sejumlah gubernur dan kepala daerah lainnya yang diajukan izin pemeriksaannya oleh penegak hukum kepada presiden, dengan mudah diberikan. Tapi baru Abdullah Puteh yang menjadi pesakitan di KPK. Kepala daerah lain masih di Mabes Polri atau Kejaksaan Agung. Sampai saat ini kita mencatat, di antaranya Gubernur Banten yang sedang disidik oleh aparat kejaksaan. Sedangkan untuk tingkat bupati/wali kota, presiden telah mengeluarkan puluhan izin bagi diperiksanya para pejabat tersebut. Hal yang sama juga dialami oleh para anggota Dewan, terutama anggota Dewan tingkat kota/kabupaten, baik yang sudah mantan maupun yang masih menjabat.

Kembali ke soal kewenangan mengadili perkara Abdullah Puteh, saat ini bola ada di tangan Mahkamah Konstitusi yang harus memutus permohonan judicial review Bram Manoppo. Sebagai pemutus akhir sengketa UU dan kewenangan lembaga hukum. Akankah MK menerima judicial review Bram Manoppo itu atau menolaknya? Bila menolak, artinya KPK berhak meneruskan mengadili perkara Abdullah Puteh dan artinya KPK dapat bertindak retroaktif.

Bila menerima, artinya kasus Abdullah Puteh harus berpindah ke pengadilan umum. Kita tentu saja harus menunggu apa yang akan diputuskan MK, yang kabarnya akan bersidang pekan ini. Sambil menunggu keputusan MK, Abdullah Puteh tentu dapat pula mengadukan kasus ini kepada Komisi Ombudsman Nasional, terutama bila ia berkeyakinan kasusnya lebih banyak mengandung aspek pelanggaran administrasi Negara.

Tapi kalau melihat keputusan MK yang menolak pemberlakuan asas retroaktif bagi pelaku Bom Bali, maka kasus Abdullah Puteh bukanlah sesuatu yang lebih besar daripada itu. Dan sebagai kasus pertama yang ditangani KPK, Abdullah Puteh layak mendapat sorotan karena ini akan menjadi pintu gerbang memberantas korupsi. Sembari menunggu keputusan tersebut, ada baiknya kita kembali kepada sikap semula, yaitu teguh pada upaya pemberantasan korupsi karena hal itu sudah menjadi ancaman keberlanjutan kehidupan bangsa ini. Namun demikian, kita juga harus menempatkan hak asasi manusia sebagai paradigma dalam penanganan setiap kasus hukum.(Lodewijk Gultom, Dosen Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 10 Januari 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan